Kisah Nyata Kehidupan Seorang Pengemis Tua
Minta sedekahnya den, seikhlasnya saja buat makan den…”lirih suara itu terdengar diantara lalulalang jama’ah Masjid Kampus yang baru saja usai menunaikan sholat Jum’at. Dua anak kecil kembar siam bertubuh kurus kering menatapku dengan pandangan sayup.
Dengan ekspresi memelas keduanya kompak menyodorkan sebuah gelas air mineral bekas kepadaku. “Minta sedekahnya buat makan den…”, dengan kompak mereka ulangi kata-kata sakti itu.
Atas dasar kemanusiaan hatiku tergugah dan memberi mereka beberapa rupiah uang sepantasnya. Walau kutahu sebenarnya Perda setempat dengan tegas melarang masyarakat memberi uang kepada pengemis ataupun kaum gelandangan jalanan.
Namun hati kecilku seperti berbisik, “Bukankah sebagai sesama makhluk Tuhan kita memang harus saling tolong-menolong dan menyayangi?”. Setelah kukasih sedekah sepantasnya nampak kebahagiaan terpancar dari wajah polos mereka. Dengan wajah berseri-seri sepasang anak kembar siam itu berlari menghampiri seorang nenek tua yang juga sedang mengemis di sudut tangga luar masjid. Perlahan diam-diam kubuntuti langkah mereka.
“Nenek … nenek …. dik Safira sama dik Sahira dapet uang banyak nek …”, cerita mereka kepada sang nenek renta itu. “Alhamdulillah ya nak, jangan lupa syukur sama Gusti Allah. Karena Dia-lah yang menggerakkan hati orang-orang agar bersedekah kepada kita”. “Gusti Allah itu siapa nek?”, Tanya sepasang anak kembar siam itu dengan polosnya
. “Gusti Allah itu zat yang telah menciptakan kita semua. Zat yang mengatur hidup mati kita. Termasuk rejeki untuk nenek, dik Safira juga dik Sahira. Nenek yakin suatu saat nanti kalian pasti akan mengerti…”, dengan penuh kasih sayang nenek tua itu menjelaskan. Diam-diam di salah satu anak tangga itu aku duduk termenung mendengarkan percakapan mereka bertiga yang nampak begitu hangat. Agar mereka tidak tersinggung aku pura-pura saja memainkan Handphone jadul kesayanganku.
Seminggu berlalu begitu cepat. Lagi-lagi aku berjumpa kembali dengan tiga pengemis itu. Begitu seterusnya, setiap hari Jumat aku selalu berjumpa dengan nenek tua dan sepasang pengemis kecil itu. Rasa penasaran terus menghantui pikiranku. “Siapa nenek tua renta yang rutin mengemis di Masjid Kampus itu?
Lalu siapa pula kedua anak kecil kembar siam yang sering menemaninya?”, pikiranku terus melayang. Akhirnya kuputuskan untuk mengenal lebih dekat ketiga pengemis itu. Bagaimana keluarganya dan apa alasan mereka mengemis. Suatu hari Jumat masih di masjid yang sama .. Usai sholat Jumat seperti biasa lagi-lagi aku berjumpa dengan nenek tua dan kedua anak kecil itu sedang mengemis.
Momen yang tepat untuk memperoleh jawaban atas rasa penasaranku. “Maaf sebelumnya nek …, saya lancang mengganggu sebentar. Kalau berkenan saya ingin ngobrol-ngobrol santai dengan nenek”. “Oh ya silahkan saja mas, dengan senang hati…” “Bisakah nenek ceritakan kepada saya apa alasan nenek memilih profesi sebagai pengemis?” Lalu nenek tua itupun mencurahkan kisah hidupnya, “Dari dalam hati nenek paling dalam sebenarnya nenek malu ngemis gini mas, tapi ya mau gimana lagi mas. Nggak ada pekerjaan lain yang bisa nenek lakuin. Nenek sudah lama ditinggal suami.
Sekarang cuma sepasang mutiara itu yang nenek punyai.”, tutur nenek tua itu mengisahkan hidupnya. “Wow sepasang mutiara?, itu mahal sekali kan nek”, cetusku. “Ya, sepasang mutiara itu adalah dua anak kecil kembar ini. Safira dan Sahira namanya”, tutur sang nenek sambil mengelus rambut kedua putri kecil itu. Aku agak bingung bercampur penasaran.
Nenek tua itu melanjutkan kisahnya. “Jadi begini ceritanya mas … kira-kira enam tahun yang lalu nenek menolong persalinan seorang mahasiswi yang hamil di luar nikah. Ia mahasiswi perantau dari Pulau sebrang yang terjebak dalam pergaulan bebas.
Lelaki yang telah menghamilinya kabur entah kemana. Karena takut diketahui orangtuanya, ia berikan bayinya kepada nenek untuk selanjutnya dirawat. Dan bayi itu kini telah menjelma menjadi sepasang mutiara ini”, lanjut nenek menjelaskan. “Demi merawat dan membesarkan kedua anak kembar ini nenek rela lakukan apa saja, termasuk mengemis dari masjid ke masjid, dari tempat ke tempat. Nenek ikhlas
. Karena nenek yakin suatu saat nanti sepasang mutiara nenek ini akan menjadikan negeri ini bersinar lebih terang”, tutur nenek mengakhiri kisahnya. Terjawab sudah rasa penasaranku. Banyak pelajaran yang aku petik dari kisah pengemis tua dan sepasang mutiaranya itu …Semoga bermanfaat Kisah Nyata Seorang Pengemis Tua ini buat anda semua
Komentar