Cerita / Kisah Tentang Para Petani Cabe Yang Sukses :
Adi Sumantri Menanam Cabe Merah di Tengah Kota Sekali Petik, Raup Rp52 Juta
CABAI, buah dan tumbuhan anggota genus capsicum ini seperti pisau bermata dua. Sangat disukai karena bisa menambah gairah makan dan melezatkan makanan, tapi juga dibenci karena pedas, panas, dan memerihkan makanan.
Tanaman satu ini biasanya tumbuh subur jika ditanam di daerah sejuk dengan kapasitas air yang tinggi. Tapi tidak bagi Adi Sumantri yang mampu menanam pohon cabai di tengah kota, tepatnya di lahan milik Universitas Amir Hamzah di Jalan Pancing Pasar V Barat Medan. Lahan seluas 13 rante (4 hektyar) seluruhnya ditanami pohon cabai. “Sekali panen pada periode pertama yakni tiga bulan sekali bisa mencapai 8 ton,” ujar Adi Sumantri yang ditemui wartawan koran ini kemarin.
Menurut Adi, menanam cabai sangat menguntungkan. Alasannya, tanaman cabai bukan tanaman musiman. Apalagi, harga cabai terus melonjak naik di pasar. Harga cabai akan melonjak tinggi jika petani cabai mengalami kegagalan panen. “Kebutuhan cabai tidak pernah ada matinya. Jadi, meski harga cabai mahal tapi tetap dibeli orang,” tambahnya.
Dipaparkan Adi, hasil panen cabainya sebanyak 8 ton dipasarkan kepada distributor atau grosir cabai. Harga per kilonya ia patok Rp6.500. Namun, harga tersebut bukan merupakan harga menetap untuk penjualan panen berikutnya. Ini karena harga cabai tidak menentu di pasar. “Saya masih pemula sebagai petani cabai dan baru kali pertama panen cabai. Panen berikutnya mungkin Agustus ini,” bilangnya.
Sampai saat ini, kata Adi, pemasaran cabainya belum seluas pemasaran petani yang berada di daerah pegunungan. Sebab, Adi hanya memasarkan cabainya ke pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jalan Pancing Medan. “Kami menjual tidak menggunakan sistem mengecer, tapi langsung ke grosir yang mau menjadi langganan,” ungkap Adi.
Untuk modal pembibitan cabai, Adi mengeluarkan biaya Rp550 ribu. Tiap satu bungkus bibit cabai harganya Rp110 ribu. Dalam hal ini, Adi hanya membutuhkan lima bungkus bibit cabai untuk ditanam di lahan seluas 13 rante. Dari lima bungkus bibit capai itu, menghasilkan 8.000 pohon yang bisa dipanen untuk dua kali.
Selain itu, Adi juga mengeluarkan modal untuk menyewa lahan tersebut sebesar Rp2 juta untuk luas lahan satu hektar selama satu tahun. Sedangkan lahan yang disewanya seluas empat hektar. Artinya, Adi dalam satu tahun Adi mengeluarkan dana sewa lahan sebesar Rp8 juta. Ditambah lagi biaya pemupukan dan perawatan yang nilainya tidak terlalu besar. “Bisa bayangkan, sekali panen saya bisa menghasilkan Rp52 juta. Sedangkan uang pengeluarannya tidak banyak. Cukup menguntungkan,” akunya.
Untuk panen kedua nantinya, Adi memperkirakan bisa memetik hasil panen pada Agustus ini. Panen kedua nantinya dia perkirakan bisa mencapai 10 hingga 12 ton. Adi yakin, targetnya bakal tercapai. “Intinya harus kerja keras dan kerjasama yang baik dibarengi semangat,” pungkasnya. (mag-6)
Kisah Sukses Petani Cabai Lampung Bernama Jumakir
Jumakir (48) Bandarjaya, benar-benar puas panen cabenya kali ini. Betapa tidak, dari seperempat hektare (ha) lahan yang dimanfaatkannya untuk menanam cabe varieatas TM99 (tahan air) dan Lado (tidak tahan air), terhitung 10 kali petik sudah menghasilkan 3 ton 2 kwintal cabe.
Padahal, biasanya dengan lahan yang sama, panen hanya mampu menghasilkan 1,5-2 ton cabe.
Dikatakan Jumakir, keberhasilan panen cabe yang dicapainnya tidak lain adalah berkat usahanya terus belajar bagaimana budidaya cabe. Ia pun tidak ingin melewatkan setiap kesempatan belajar dengan petugas penyuluh pertanian. Terlebih-lebih saat ia diberikan kesempatan studi banding ke Binjai, Sumatera Utara. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkannya untuk mengetahui budidaya cabe.
Pun demikian dengan penyuluhan dari Petugas Penyuluh Lapangan Kecamatan Terbanggibesar.
Dikatakan Jumakir, menanam cabe di lahan seperempat ha menghabiskan dana sebesar Rp9 juta. Dan saat ditemui Radar Lamteng Sabtu (21/2), Jumakir mengaku sudah 10 kali memetik cabe. Dari awal panen sudah terjual sekitar 3 ton 2 kwintal cabe. Dan diperkirakan buah cabe yang masih di pohon, masih bisa dipetik berkisar 10-20 kali lagi.
’’Bila buah pertama habis selanjutnya batang cabe kembali berbunga dengan normal, maka tidak menutup kemungkinan masih bisa dilakukan panen kedua,’’ terangnya.
Selain hasil produksi cabe yang bagus, rasa senang yang tak terhingga dirasakan Jumakir, karena harga jual cabe cukup baik. Sehingga keuntungan yang diperolehnya mencapai 100 persen dari modal yang dikeluarkan.
Katanya, harga jual cabe di awal bulan Februari atau awal panen mencapai Rp15 ribu per kilogram. Meskipun saat ini sudah turun Rp8 ribu per kilogram.
Dijelaskannya lagi, tidak ada kendala yang berarti untuk budidaya cabe tahun ini. Hanya dirinya mengakui tahun ini kelebihan air. Selain karena hujan yang sering kali turun, area yang dipakainya untuk menanam cabe adalah area sawah. Di mana, kebun cabenya dikelilingi tanaman padi.
’’Meskipun area cabe tidak saya aliri dengan air, namun karena disekitarnya tanaman padi yang masih membutuhkan banyak air, mau tidak mau air yang ada di sawah merembas ke lahan cabe,’’ ujarnya.
’’Sebenarnya saya ini menanam cabe menentang musim. Yang semestinya petani saat ini menanam padi. Namun saya menyisihkan sebagian lahan untuk ditanam cabe. Walaupun demikian, saya sangat bersyukur cabe bisa tumbuh dengan baik dengan hasil panen yang sangat memuaskan,” akunya.
Dengan keberhasilan yang diraihnya tersebut, Jumakir yang tergabung dalam kelompok tani Kaliandra Yukumjaya ingin mengajak petani di kelompoknya menanam cabe. Kalau produksi cabe banyak, penjualan akan lebih mudah. Dan permintaan cabe dari pasar serta daerah lain cukup banyak.
‘’Sementara ini, saya baru memenuhi permintaan cabe dari pedagang terdekat seperti dari Bandarjaya,’’ katanya seraya menambahkan bahwa dirinya sudah menyosialisasikan dan mengajak petani lain untuk ikut menanam cabe.
Sementara itu, Margono, tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluh (THL TB PP) untuk daerah Yukumjaya, Kecamatan Terbanggibesar mengatakan, petani sebaiknya tidak monoton. Artinya, saat musim tanam padi atau musim tanam komuditas lain, sebaiknya petani tidak hanya menanam satu komuditas saja. Tidak ada salahnya menyisihkan lahan untuk menanam komuditas lain seperti halnya cabe. Seperti yang dilakukan Jumakir.
’’Sebagai penyuluh, kami akan terus memberikan motivasi kepada para petani untuk menjadi petani yang berhasil,” ungkap dia…..
Muhammad Yahya, Petani Cabe Berprestasi Nasional
Meretas Emas dengan Si Pedas
Rasa pedas dan hawa panas yang ditimbulkan si pedas tidak hanya bisa dikecap. Panasnya membuat dapur ratusan petani di Maros, Sulsel, mengepul berbarengan.
Di Kabupaten Maros, siapa tidak mengenal Muhammad Yahya, petani cabai berprestasi tingkat nasional 2007 yang telah mengubah 30 hektar (ha) lahan terung menjadi lahan cabai. Karena ulahnya, petani di Maros dan sekitarnya berbondong-bondong menanam cabai. Apa pasal? Apalagi kalau bukan harga cabai yang diyakini lebih baik daripada harga terung.
Tergiur Sukses
Muhammad Yahya tergiur mengembangkan usaha cabai setelah melihat kesuksesan petani cabai di Batu, Jatim. Para petani di sana mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi dari hasil tanam cabai.
Kejadian pada tahun 2000 itu membuat Yahya terpikir mengembangkan cabai di Maros. “Akhirnya muncul motivasi saya, lahan seluas ini kenapa kita tidak dapat seperti itu,” paparnya saat ditemui AGRINA beberapa waktu lalu. Kemudian, pria kelahiran Maros, 1 Juli 1968 ini bersama tiga rekannya memutuskan menanam cabai di lahan terung mulai dengan luasan setengah are (50 m2). ”Tanamannya luar biasa, produksinya luar biasa,” Ketua Kelompok Sumber Rejeki ini bertutur bahagia. Hanya saja, saat itu pasar menjadi kendala lantaran belum mengetahui pasar cabai di Maros.
Setahun berjalan, petani terung dan labu di wilayahnya masih enggan beralih komoditas karena harga labu masih tinggi, sedangkan harga cabai hanya Rp250/kg. Walau demikian, Yahya tetap teguh pendirian menanam si biang pedas itu.
Memetik Emas
Dua tahun kemudian, luas pertanaman cabai menjadi 1.500 m2. Puncaknya, pada 2007 luas areal pertanaman cabai mencapai 20 ha. Saat itu harga cabai di Maros melambung menjadi Rp20 ribu/kg. Anggota Kelompok Tani Sumber Rejeki dan petani lain pun berbondong-bondong mengikuti jejak Yahya. ”Anggota kami sempat menikmati keuntungan. Waktu itu banyak petani saya yang sampai dengan luas lahan 15 are itu sampai untung Rp20 juta dari hasil panennya,” ungkap dia.
Kini, bukan hanya Sumber Rejeki yang memetik emas dari si pedas, tetapi kelompok tani lain juga ikut-ikutan. Sudah 80 ha lahan pertanaman cabai terhampar di Maros milik sembilan gapoktan. Sebanyak 30 ha di antaranya milik kelompok Sumber Rejeki.
Mula-mula Yahya dan rekan-rekannya hanya menanam cabai keriting merah. Namun, seiring pasar yang kian melemah, mereka pun mengembangkan cabai rawit besar. ”Kita harus juga mengembangkan cabe rawitnya. Kalau cabe keriting jatuh, ada harapan cabe rawit. Kalau cabe rawit jatuh ada diharapkan di cabe keriting,” jelas Yahya dengan logat khas Sulawesi yang kental.
Cabai keriting mendominasi sekitar 60% di seluruh lahan pertanaman, sisanya cabai rawit. Sekali panen, kelompok Sumber Rejeki bisa menghasilkan sekitar 7-8 ton cabai keriting per ha dan 5-6 ton cabai rawit per ha. Biaya produksi sekitar Rp10 juta/ha atau Rp5.000/kg.
Survei Pasar
Dalam mengembangkan cabai, Yahya terlebih dulu memikirkan pasar. Dia kerap menjelajah berbagai daerah untuk ekspansi pasar dan melihat perkembangan pasar cabai. Selain itu, Yahya juga kerap berselancar di dunia maya (internet) untuk survei harga. Dengan demikian, dia dan kelompoknya tidak khawatir lagi tentang serapan cabai karena tahu informasi pasar dan menggandeng banyak mitra. Hasil panen mereka dipasarkan ke daerah-daerah di Sulsel, Manado (Sulut), Balikpapan (Kaltim), Ambon (Maluku), dan Papua.
Selain mendapat bimbingan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, kelompok penerima penghargaan bergengsi Ketahanan Pangan Tingkat Nasional pada 2010 ini juga memperoleh pembinaan dari Bank Indonesia (BI). Bimbingan BI berupa percontohan budidaya cabai secara organik dan penggunaan mulsa plastik.
Rasyidin, Petani Cabe Sukses Setelah Gagal Berdagang
Rasyidin (40) penduduk Gampong Meunasah Meupucak Blang Jruen Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara, adalah pengusaha yang pernah maju pesat dibidang usaha perdagangan padi, pinang, kopra dan coklat di Kota Kecamatan itu. Usaha itu bangkrut. Namun Bagi Rasyidin yang dikenal Toke Rasyidin Blang Jruen itu, tidak menjadikan semangatnya patah arang. Kini ia beralih sebagai petani cabe yang berhasil.
Berbekal keyakinan dan semangat yang menggebu setelah gagal dan merugi dari berdagang hasil bumi, Rasyidin beserta isteri Rosmawati (38) dan ke-empat anaknya banting stir bangkit nekat menggarap tanah seluas 2400 m persegi atau enam rantai. Ia menanam cabe.
Lahan pertanian cabe di tanah sewa di depan Pos Makoramil 10 Tanah Luas Aceh Utara tersebut diolah dan diusahakan Rasyidin dengan tanaman sekitar 6500 batang cabe. Untuk mengolah lahan meliputi sewa lahan, biaya penanaman, pemeliharaan dan obat-obatan serta pemupukan ia mengeluarkan dana sekitar Rp.5 juta.
Uang pinjaman yang diusahakan dengan sungguh-sungguh tersebut kini telah membuahkan hasuil. Rasyidin sudah enam kali menuai panen yang jumlahnya mencapai satu ton. Sedang yang belum dipetik masih dipohonnya ditaksir jumlahnya nebcapai sekitar satu ton lagi. Dan kalau nanti selesai di panen seluruhnya jumlah hasil panen mencapai 2 ton, kata Rasyidin didampingi isteri tercinta.
Sedang harga jual disebutnya dari hasil yang telah dipasarkan dijual Rp.6.000 per kilogramnya yang berarti akhir panen ini akan berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp.12 juta. Ia memperkirakan keuntungan dan hasil usaha bertani cabe seluas 6 rante dengan modal Rp. 5juta dan tenaga akan memperoleh keuntungan sebesar Rp.7 juta dalam 5 bulan.
Ny.Rosmawati mengaku mereka tidak hanya berusaha bertani cabe, tetapi ia juga menanam timun dilahan pertanian tidak jauh dari tempat itu yaitu di kawasan persawahan Gampong Meunasah Meupucak Tanah Luas.”Kami yakin mencari rejeki tidak hanya satu jalan, tetapi banyak cara menuju keberhasilan yang dapat dilakukan hamba Alloh asalkan kita mau, yakin dan bersungguh-sungguh akan berhasil dan sukses,” ucap Ny.Toke Rasyidin mensyukuri nikmat Sang Pencipta. (Abbas Gani/H.Nur)
Rimbun, Cabe Keriting Unggul dan Kisah Sukses
Kalau melihat hamparan tanaman cabai keriting yang tumbuh subur memenuhi lereng bukit di Kayu Aro, Kerinci, Jambi, seakan mengingatkan pada sosok rambut kribo yang dimiliki oleh Edi Brokoli. Buahnya yang berwarna merah menyala dan keriting memanjang itu muncul hampir di setiap sela daun yang ada, sehingga tampak rimbun menjuntai ke bawah. Tidak salah kiranya cabai ini dinamakan “Rimbun”.
Selain itu, cabai keriting produk Cap Kapal Terbang ini pertumbuhannya sangat kuat dan seragam. Menurut Haji Samyono, sang pemilik lahan, cabai Rimbun mampu tumbuh dengan baik meskipun ditanam di dataran tinggi. Di lahannya yang terletak pada sebuah lereng di Desa Lindung Jaya Kersik Tuo itu, cabai Rimbun seluas seperempat hektar bisa tumbuh dan berbuah dengan baik.
Unggulan di Kayu Aro
Kayu Aro merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kerinci, Jambi yang memiliki potensi besar untuk pengembangan komoditas hortikultura, dan cabai telah menjadi salah satu komoditas unggulannya. Setiap musimnya tidak kurang dari 1.500 ha lahan ditanami cabai, atau dengan kata lain dalam setahun luas penanaman cabai di Kayu Aro mencapai 3.000 ha.
Dari luas tanam tersebut, 70 persennya masih menggunakan cabai varietas lokal dan 30 persen sisanya menggunakan varietas hibrida seperti cabai keriting Rimbun. Masih rendahnya pemakaian cabai hibrida dikarenakan petani yang kebanyakan lahannya terletak di dataran tinggi masih merasa ragu menanam cabai jenis ini. Petani menilai cabai hibrida masih kurang cocok kalau dikembangkan di dataran tinggi. Mereka takut merugi jika menanam cabai baru seperti varietas hibrida ini.
Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh petani cabai dataran tinggi adalah serangan penyakit Anthraknose atau petani Kayu Aro sering menyebutnya penyakit busuk separoh. Penyakit ini telah menjadi momok bagi petani cabai khususnya di dataran tinggi. Suhu yang lebih rendah dengan tingkat kelembaban udara tinggi menjadi faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit ini. Jika tanaman cabai sudah terserang akan sangat sulit untuk mengendalikannya dan sangat beresiko menimbulkan gagal panen.
Namun, setelah dilakukan penanaman langsung cabai Rimbun di kawasan dataran tinggi Kayu Aro para petani sudah mulai yakin dengan performa tanaman cabai hibrida di dataran tinggi. Cabai yang ditanam pada ketinggian sekitar 1.200 sampai 1.400 mdpl itu mampu beradaptasi dengan baik.
Umurnya juga relatif lebih pendek, sekitar 105 – 112 HST sudah bisa dipanen. Bandingkan dengan umur panen cabai lokal yang bisa mencapai lima bulan. Yang lebih penting lagi, cabai dengan bentuk buah panjang ramping khas cabai keriting dengan panjang ± 14 cm dan lebar ± 0,7 cm ini relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit Anthraknose. Hal inilah yang membuat petani di Kayu Aro berani untuk mengembangkan cabai ini.
Dihargai lebih mahal
Selain bentuk dan ukuran buah yang sudah bisa diterima pasar, rasa cabai Rimbun juga tidak kalah pedas jika dibandingkan dengan cabai keriting lokal. Pedagangpun tidak ragu untuk menampung cabai ini, karena konsumen juga menyukainya. Bahkan ada juga pedagang yang berani menghargainya lebih mahal hingga Rp. 2.000/kg dari cabai lainnya.
Pedagang berani menghargai lebih mahal cabai yang memiliki potensi hasil hingga 14,1 ton/ha ini karena kadar airnya lebih rendah sehingga lebih tahan simpan terutama saat pengiriman jarak jauh dan buahnya tidak mudah menyusut atau keriput. Cabai dari Kayu Aro tidak hanya untuk memenuhi pasar lokal namun juga untuk mensuplai kebutuhan pasar di Jambi, Padang, dan Palembang. Oleh karena itu ketahanan simpan saat pengiriman jauh menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pedagang.
Jika dibandingkan cabai keriting lainnya, Rimbun memiliki selisih bobot 5 – 7 kg lebih berat dalam setiap karungnya. Kalau biasanya per karung cabai memiliki bobot 50 kg, maka per karung cabai Rimbun bisa mencapai 55 – 57 kg.
Munculkan kisah manis
Sukses tanam cabai Rimbun di Kayu Aro ini juga menorehkan sebuah kisah sukses dari petani setempat. Haji Samyono contohnya. Di desanya Lindung Jaya Kersik Tuo, Kayu Aro, Kerinci, Jambi, ia sukses menanam cabai Rimbun seluas seperempat hektar.
Dari lahan seluas itu tidak kurang dari 4.500 batang cabai Rimbun ia tanam. Setiap kali panen ia bisa mendapatkan rata-rata 250 kg cabai segar atau per batangnya bisa menghasilkan 1,3 kg. “Semuanya bisa saya panen sampai 24 kali. Totalnya mencapai 6.000 kilogram,” terang bapak dari dua orang anak ini.
Duit sebanyak Rp. 60 juta pun berhasil dikantongi Samyono dari hasil penjualan cabai Rimbun itu. Dari itu sebuah mobil Isuzu Panther bisa nangkring di garasi rumahnya. “Puas sekali rasanya bisa memanen Rimbun, saya akan menanam lebih luas lagi nantinya,” imbuhnya. Tidak hanya Samyono, petani lain yang ada di Kayu Aro pun banyak yang telah menikmati manisnya hasil “si keriting pedas” ini.
Petani Cabe Tapung Hulu Beromset Rp 1,2 M, Bikin Bupati Kampar Menangis Haru
TAPUNGHULU-Usaha perladangan cabe di Desa Danau Lancang Kecamatan Tapung Hulu yang dibikin oleh enam kelompok tani alumni Program Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Karya Nyata Kubang Jaya, berbuah manis. Duit bersih yang mereka raup dari usaha ladang cabe di lahan seluas 3,5 hektar itu mencapai Rp 1,2 miliar.
Itu hitungan sampai pertengahan Juni lalu. “Kami masih bisa panen lagi hingga pertengahan Agustus nanti. Minimal Rp 50 juta masih bisa kami peroleh,” cerita Muslim, salah seorang ketua kelompok tani dari enam kelompok itu, waktu berkunjung ke perkampungan teknologi Telo di Desa Muara Uwai Kecamatan Bangkinang, Senin (22/7/13).
Dapat duit bergepok-gepok membikin kocek masing-masing ketua kelompok ini, Muslim, Prianto, Ali Usman, Sukirman, Ishak Hasibuan dan Ismail, menggelembung. Apa yang selama ini mereka dambakan, bisa mereka beli. Mulai dari pertapakan rumah, sepeda motor, kebun kelapa sawit hingga mobil kinclong.
“Kami tak pernah menyangka kejadiannya seperti ini. Sebab yang ada dalam benak kami sejak awal menanam cabe itu Januari lalu adalah merawat tanaman cabe itu supaya subur. Dan kami juga tak pernah membayangkan hasil panen bisa kami jual hingga Rp 40 ribu. Sebab dijual Rp 20 ribu saja perkilogram, untungnya sudah mantap,” kata Ali Usman.
Sukses berladang cabe di lahan 3,5 hektar tadi tak membikin mereka terlena. Yang ada justru, luasan lahan tanaman cabe tahap kedua, ditambah hampir dua kali lipat. “Lahan masih berstatus pinjam. Yang punya lahan tiga orang. Mereka juga ikutan bertanam cabe di lahan itu. Insya Allah, pada 15 Agustus nanti, kami sudah mulai menanam,” cerita Muslim.
Modal untuk lahan tahap dua ini kata Muslim tidak lagi hasil utangan. Tapi justru duit yang disisikan dari hasil bertanam cabe tahap pertama itu. “Nilainya sekitar Rp 250 juta. Kelak di tahap tiga, kami akan membuka lahan cabe 8 hektar. Separuh dari lahan itu, punya kami,” katanya.
Selain untuk mendapat untung yang lebih besar, perluasan lahan cabe itu kata Muslim juga sekaligus menambah luasan lapangan kerja, khususnya bagi ibu-ibu di kampung itu. Sebab di tahap pertama saja kata Muslim, mereka sanggup menggaji sekitar 50 orang ibu-ibu. “Dan kalaupun lahan cabe makin luas, kami tak khawatir hasilnya akan dikemanakan. Sebab Riau masih sangat butuh cabe. Andai kami buka lahan 20 hektar pun, hasilnya masih kurang untuk membutuhi kebutuhan di Riau,” Muslim optimis.
Sukses enam kelompok tani ini sontak menyebar ke kampung danau Lancang, khususnya di dusun V, lokasi perladangan cabe itu. Tergiur hasil miliaran tadi membikin orang kampung rame-rame pengen menanam cabe pula. “Ada sekitar 30 orang yang datang ke kami. Mereka minta diajari cara bertanam cabe dan kemudian ingin diajak masuk kelompok,” cerita Ali Usman.
Jika makin hari anggota terus bertambah, Muslim dan rekan-rekan sudah berencana membikin koperasi khusus petani cabe. “Biar lebih terarah. Khususnya soal teknis hingga manajemen keuangan,” Muslim beralasan.
Mendengar keberhasilan para alumni P4S itu, Rahmad Jevary Juniardo mengaku salut, bangga sekaligus terharu. “Ini adalah perolehan yang luar biasa dari alumni P4S. Gembelengan dan keseriusan mereka menjalani pelatihan, berbuah manis,” kata Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Kabupaten Kampar ini.
Andai saja generasi muda mau mencotoh apa yang dilakukan para petani tadi kata bendahara P4S ini, maka misi program zero kemiskinan yang diusung Pemkab Kampar, akan cepat terwujud dan misi Granat di Kampar juga akan terbantu. “Sebab bertani sebenarnya adalah pekerjaan mulia, persis seperti tradisi leluhur kita sejak jaman dulu,” katanya.
Mata Bupati Kampar, Jefry Noer, justru sampai berkaca-kaca saat melihat enam ketua kelompok tani tadi datang bareng ke Perkampungan Teknologi Telo, pakai mobil Xenia anyar, yang dibeli dari hasil panen cabe itu. “Saya salut, Pak Muslim sudah sanggup membeli mobil cash. Saya saja masih beli kredit,” kata Jefry.
Inilah hasil jerih payah yang dilandasi ketulusan dan keseriusan itu. “Mudah-mudahan saudara-saudaraku bisa menjadi motivator petani-petani lain di Kampar ini. Sebab misi zero kemiskinan, pengangguran dan rumah kumuh, adalah misi kita bersama, bukan misi seorang Jefry Noer,” pungkasnya.
Bersama Kepala Badan Pelatihan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP) Kampar, Aliman Makmur dan Kadis Pertanian dan Peternakan Kampar, Cokroaminoto, Jefry Noer dan enam petani itu foto bareng di kampung teknologi tadi. Wajah-wajah mereka Nampak ceria, seceria hati enam petani ini menanti masa tanam tahap kedua. (man)
Petani Cabai Sukses Sekali Panen Bisa Beli Mobil
Tondano, hampir setiap tahun selalu muncul cerita orang kaya baru di wilayah Kawangkoan, Tompaso, Langowan, Minahasa, Sulawesi utara.
Cerita orang kaya baru ini bukan dari sosok pengusaha, melainkan dari keluarga petani.
Dua komoditas pertanian yang membuat orang kaya mendadak adalah cabai dan tomat. Dari hasil bertani dua komoditas ini, puluhan keluarga telah mendapat keuntungan hingga Rp 200 juta, hanya dalam sekali musim tanam. Rumah dan mobil bisa dengan mudah dibeli dengan uang tersebut.
Sebuah lahan pertanian seluas sekitar seperempat hektare di Langowan Barat, pernah menghasilkan uang sekitar Rp 150 juta. Uang sebanyak itu dihasilkan hanya dalam waktu empat bulan.
Rommy Mamesah, pemilik lahan itu menceritakan, dirinya benar-benar mendapat rezeki yang sangat besar saat menanam cabai pada pertengahan 2011.
Kerja keras yang dilakukannya saat itu terbayar lunas saat beberapa pekan sebelum masa panen, harga cabai di pasar meningkat drastis.
“Saat menentukan awal penanaman, saya tidak menyangka akan mendapat hasil yang besar seperti itu. Saya sangat bersemangat saat mengetahui harga cabai mulai naik. Tiga minggu sebelum panen, harga di pasaran sudah menyentuh Rp 30 ribu,” ujarnya.
Kala itu, lanjutnya, nyaris setiap hari harga cabai terus naik. Saat tanaman cabainya dipanen pertama kali, harga jual mencapai Rp 70 riu per kilogram.
Pada panen pertama, Rommy memetik sekitar 50 kilogram cabai. Artinya, ia berhasil meraup keuntungan Rp 3,5 juta. Uang ini telah menutupi biaya perawatan tanaman sejak awal sampai panen pertama.
Hasil tersebut hanya sebagai awal dari hasil yang lebih besar. Saat itu, banyak pengumpul yang datang membeli cabainya. Awalnya, Rommy menceritakan, ada pria dari Tomohon yang datang menawar cabainya seharga Rp 70 juta. Namun, tawaran tersebut ia tolak. Beberapa pengumpul lain juga datang dan menawar dengan harga yang lebih tinggi.
“Saya masih ingat saat itu hari Sabtu, ada pria dari Manado yang datang menawar cabai saya. Awalnya dia hanya menawar seharga Rp 120 juta. Namun, saya tetap menolak. Saya katakan akan melepas cabai saya jika dia berani membayar Rp 170 juta. Setelah tawar-menawar, akhirnya kami sepakat pada harga Rp 150 juta,” tuturnya.
Prediksi Rommy tepat. Karena, sepekan kemudian harga cabai menembus harga tertinggi, Rp 90 ribu per kilogram. Harga jual ini sangat tinggi, bahkan melebihi harga jual cengkeh saat itu.
“Saya dan keluarga sangat senang mendapat hasil seperti itu. Uang hasil penjualan cabai saya gunakan untuk membangun rumah,” tukasnya.
Ketika Rommy pernah mendapat hasil yang spektakuler dari tanaman cabai, Masye Rumengan (36), warga Kawangkoan, justru mengalami hal sebaliknya.
Usaha rumah makan yang menjual tinutuan, hampir bangkrut karena harga cabai yang tinggi. Masye nyaris kehilangan usaha yang menopang perekonomian keluarganya.
“Saya pernah sangat stres saat harga cabai mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Bagaimana saya bisa berjualan dan mendapat keuntungan jika harga cabai seperti itu. Saya terpaksa menutup sementara usaha saya, karena modal membeli cabai lebih besar dibanding keuntungan. Tidak mungkin juga saya menjual tinutuan (bubur Manado) tanpa menyediakan dabu-dabu (sambal),” jelasnya.
Hampir dua bulan, ibu rumah tangga ini menutup usahanya. Sebagai pengganti, dia terpaksa melakukan usaha lain, yaitu mencuci pakaian di rumah tetangga, agar bisa mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Setelah harga cabai dirasa cukup normal, Masye kembali menjalankan usaha menjual bubur Manado.
“Kondisi seperti itu selalu saya alami setiap tahun, karena pasti harga cabai akan naik. Namun, jika harga masih Rp 40 ribu per kilogram, saya masih bisa bertahan dan terus berjualan. Walau keuntungannya menjadi sedikit, setidaknya masih cukup untuk kebutuhan keluarga. Selain itu, saya harus terus menjaga pelanggan saya. Namun, kalau harga kembali naik sampai Rp 90 ribu per kilogram, saya pasti akan menutup sementara usaha saya,” bebernya. (*)
Komentar