Kisah Lika Liku Anak Jalanan Untuk Menjalani Kehidupan
Kisah Anak Jalanan –kehidupan tidak selamanya indah dan menyenangkan. Apalagi untuk sebagian mereka yang tidak dapat mengenyam pendidikan seperti masyarakat lainnya, akibat keterbatasan dana. Jangankan untuk pendidikan, untuk makan sehari-hari pun sulit. Hal ini dapat digolongkan sebagai sebuah kerugian. Bayangkan, betapa banyak warga kota Jakarta yang tidak mengenyam pendidikan wajib sembilan tahun. Karena waktu mereka telah habis untuk mencari sesuap nasi sebagai upaya bertahan hidup, sehingga sekolah menjadi sebuah kemewahan yang tak terjangkau. Bahkan dalam impian mereka sekali pun.
Kerugian ini melanda anak-anak kurang beruntung yang terlahir di tengah keluarga ekonomi bawah. Padahal anak-anak ini seharusnya menjadi kebanggaan bangsa, tetapi malah menjadi potret kegagalan negara. Kondisi ini dapat kita lihat di setiap sudut kota, banyak terdapat anak-anak yang sedang mengamen dan mengemis untuk mendapatkan uang. Realita seperti ini sungguh sudah biasa di Jakarta. Mereka tidak seberuntung anak-anak lain yang dapat bersekolah, karena kesehariannya selalu berada di jalan.
Sama seperti Anjas, ia sudah menjadi pengamen selama tiga tahun belakangan ini. Hidup dengan susasana kota Jakarta yang sangat keras, demi membantu kedua orang tuanya mencari uang. Ayahnya hanya seorang pemulung, dan ibunya menjadi buruh cuci jika ada panggilan. Kalau tidak ada, ibu Anjas hanya berdiam diri di rumah dan sesekali membantu ayah Anjas mencari barang rongsokan.
Anjas tidak mendapat paksaan dari pihak mana pun –termasuk ayah dan ibunya– menjadi seorang pengamen, “Saya mau jadi pengamen, karena orang tua tidak berpunya. Saya ngamen untuk keperluan sehari-hari,” tutur Anjas.
Anjas mengaku jika sedang beruntung, penghasilannya menjadi pengamen seharinya sekitar Rp. 50.000,- Pernah beberapa kali Anjas menunduk sedih, karena hasil mengamennya seharian hanya terkumpul Rp. 7.000. Uang sebesar itu tentu tak cukup untuk biaya hidup sehari-hari yang dibutuhkan orangtuanya.
Karena ingin mandiri, ia rela mengorbankan masa mudanya untuk hidup di jalanan serta mengenyam kerasnya kota Jakarta. Menjadi seorang pengamen tentu bukan kemauan Anjas, ia juga tidak mau selama-lamanya menjadi seorang pengamen jalanan,
“Nanti kalau sudah punya pekerjaan tetap, saya berhenti jadi pengamen,” tambah Anjas.
Meskipun menjadi pengamen bukanlah kemauannya, tetapi Anjas menikmati saat-saat bersama dengan teman-teman seperjuangan lainnya. Ia mengaku tidak pernah tertangkap oleh SATPOL PP atau pihak berwajib lainnya.
Banyak sekali pegalaman yang ia dapatkan selama menjadi anak jalanan. Dihina orang karena mengamen, dibilang gelandangan, dicaci-maki dan pernah ketika sedang hujan, Anjas berteduh di depan sebuah rumah lalu diusir pemilik rumah karena dikira ingin mencuri. Pengalaman pahit menjadi anak jalanan, memang lebih banyak dibanding pengalaman yang menyenangkan.
Ada pengalaman yang tidak dapat dilupakan Anjas seumur hidupnya. Suatu hari ia bersama kedua temannya mengamen di Jakarta Timur. Penghasilan yang didapat sejak pagi hingga malam hari terhitung banyak, mereka berhasil mengumpulkan Rp. 300.000. Uang tersebut dibagi tiga, berarti seorang mendapatkan Rp. 100.0000. Betapa senangnya Anjas dan teman-teman mendapat pengahasilan yang banyak saat itu.
Memang Anjas sangat bersemangat sekali mengamen pada hari itu, karena dia ingin membeli baju untuk ibunya yang berulang tahun. Anjas sudah membayangkan, sepulang mengamen akan pergi ke pasar membeli baju dan sesampai di rumah ia akan melihat senyum ibunya penuh haru. Belum pernah seumur hidup Anjas, memberikan kado kepada orangtuanya.
Tapi apa boleh dikata –ketika di pinggir jalan menuju ke pasar– Anjas sempat mengeluarkan uang dan menghitung jumlahnya, takut-takut nanti kurang untuk harga baju yang diinginkannya. Tiba-tiba saja datang tiga pemuda menghampiri dirinya. Mereka meminta uangnya, jelas Anjas tak mau memberikan. Tapi mereka memaksa Anjas, bahkan salah satunya mengancam Anjas dengan menodongkan senjata tajam. Anjas ketakutan setengah mati, akhirnya uang tersebut diambil secara paksa oleh para pemuda itu.
Betapa sedih nya hati Anjas, uang yang dicarinya susah payah untuk membeli kado ibunya lenyap begitu saja oleh preman jalanan. Alhasil ia hanya pasrah. Dengan raut wajah penuh kecewa –karena tidak dapat mebelikan ibunya kado– ia pun pulang ke rumah.
Harapan setiap manusia adalah mempunyai derajat sama dengan manusia lainnya. Perjuangan dan harapan selalu berjalan berdampingan menuju sebuah kesuksesan. Banyak orang tidak beruntung di luar sana, tetapi mereka punya semangat yang luar biasa untuk melanjutkan hidup. Itulah kisah anak jalanan semoga bermanfaat buat anda semua.
Komentar