Kisah Sukses : Martini – Buruh Bangunan Menjadi Eksportir Sukses
Martini |
Mengekspor kerajinan tangan dari bahan baku enceng gondok ke berbagai negara Eropa. Membina kelompok ibu-ibu untuk membuat produk setengah jadi. Mengawali jualan dengan bersepeda.
Masa Kecil Martini
Seperti umumnya gadis kecil di tepi Sungai Progo, Kulon progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Martini juga rajin bekerja. Sebelum bersekolah siang di SD Muhammadiyah Banguncipto yang berlokasi tak jauh dari rumahnya, gadis desa itu menjajakan makanan untuk para penggali pasir yang bekerja di daerah tersebut.
Sore hari sepulang sekolah, Martini pergi ke hutan mencari kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak. Anak ketiga dari pasangan suami istri Rame Sarwo Utomo dan Ponikem itu harus mengorbankan waktu bermainnya untuk membantu ekonomi keluarga. Martini yag bercita-cita menjadi guru, selepas sekolah dasar melanjutkan pendidikan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di kota Kecamatan Sentolo.
Namun belum setahun ia mengenyam sekolah guru, orang tuanya menyerah karena tak mampu membiayai. Ia pun drop out menjelang naik ke kelas dua. Sejak kecil hingga menikah Martini hidup susah. Untuk mencari nafkah ia rela melakukan apa saja termasuk berjualan kue apem, sayur dan beras. Ia menjajakan dagangan dengan bersepeda dari desanya ke jogja yang berjarak sekitar 15 km.
Menjadi Buruh Bangunan Hingga Eksportir
Di usia remaja, Martini akhirnya menikah dengann Nurhadi, seorang buruh bangunan. Profesi suami yang bergantung pada proyek membuatnya sering ditinggal pergi. Terkadang ia mengikuti suaminya jika proyeknya berada di tempat yang jauh. Pada saat sang suami bekerja proyek yang ada di padang, Sumatera Barat, ia mengikuti suaminya dan diperbantuka di kantor proyek untuk masak dan bersih-bersih.
Itulah masa lalu yang memberi pelajaran hidup bagi Martini. Perempuan kelahiran Gunung Kidul 11 Mei 1972 itu sekarang sudah hidup makmur. Melalui bendera bisnisnya, Martini Natural, ia menjadi eksportir produk sandal, sepatu dan tas dari bahan anyaman enceng gondok.
Ketika dikunjungi di rumahnya yaitu di RT 4/RW 2 Bantar Kulon, Bangun cipto, Sentolo, Kulonprogo, ia baru saja mengirim bagian atas sandal (upper) kepada pelanggannya di Italia sebanyak 20 ribu pasang. Negara tujuan ekspornya yang lain adalah Prancis , Italia dan Spanyol.
Bisnis Martini tidak begitu rumit. Ia membuat sepatu, sandal dan tas dari anyaman enceng gondok untuk pasar lokal dann ekspor. Yang membuatnya istimewa ia berhasil memanfaatkan bahan alami yang biasanya menjadi sampah sungai itu. Ia juga memberdayakan kelompok-kelompok ibu rumah tangga untuk berproduksi bersamanya.
Bisnis Martini dikendalikan dari rumahnya yang juga berfungsi sebagai kantor. Area belakang rumahnya seluas 3000 meter persegi dijadikan bengkel kerja yang setiap harinya diramaikan 40 pekerja tetap. Diluar karyawan tetap itu ia membina puluhan kelompok ibu-ibu yang mendapat supervisi darinya. Mereka tinggal mengerjakan sesuai dengan pesanan, karena segala kelengkapan produksi dan bahan baku sudah dipasok dari Martini.
Kelompok-kelompok tersebut tersebar di daerah seperti Gunung Kidul, Purworwjo, Bantul,, Sleman, Magelang dan Klaten. Jumlah total anggota kelompok itu sekitar 500 orang. Para pekerja lepas itu hanya ditugasi membuat bagian tertentu dari sandal, sepatu atau tas. Sedangkan finishingnya dilakukan oleh karyawan tetap Martini yang sudah ahli.
Latar Belakang Menjadi Eksportir
Keputusan Martini menekuni bisnis ini memiliki cerita menarik. Sewaktu muda Martini bekerja sebagai penjaga showroom kerajinan di Bantul, DIY. Pada 1998 usaha milik majikannya itu oleng dan Martini menjadi salah satu karyawann yang setia sampai usaha majikannya itu tutup setahun kemudian.
Karena khawatir atas masa depan Martini majikannya mendorong Martini untuk buka usaha sendiri. Martini masih ingat, disebuah warung soto di Bantul, majikannya berusaha meyakinkan dia, “ Kalau dalam dua tahun belum ada kontainer, kamu datang kesini dan jitak kepala saya,” kata Martini menirukan ucapan sang Bos.
Awalnya Martini ragu, modal, pengalaman bahkan pendidikannya dirasa belum cukup untuk membuka bisnis sendiri. Namun motivasi majikannya membuatnya nekat. Berbekal modal awal sebesar 250 ribu, Martini membeli mesin jahit bekas dan bahan baku hingga kawasan pantai selatan Congot,Kulon Progo.
Mulai 1 Maret 1999, Martini resmi membuat produk sendiri. Ia menjajakan produk anyaman. Seperti tas dan karpet bikinannya kepada pedagang kerajinan. Bersepeda tua, ia menggenjot pedal berkeliling kota Yogya, demi mengantarkan dagangan. “Pesanan itu diantar minimal dua hari sekali,” Tutur Martini.
Ternyata kerajinan bikinan Martini disukai, sehingga permintaan dari pedagang makin banyak. Lama-lama ia kewalahan memenuhi permintaan dan mulai merekrut karyawan. Bisnis Martini berkembang pesat pada 2003. Ia pun rajin ikut pameran dan mendirikan agen di Jakarta serta memasok beberapa toko di Bali.
Usahanya terus mekar dan merambah mancanegara. Ekspor pertamanya ke Puerto Rico. Selain membuat produk secara massal, Martini jug amelayani pesanan pribadi. Salah satu pelanggan setianya adalah putri kedua SHB X, GRAy Nurmagupita atau Pembayun.
Bisnis Martini pernah colaps ketika terjadi gempa Yogya tahun 2006. Rumah sekaligus gudangnya ambruk. Kondisi ini membuat keuangannya tersedot untuk berbagai kebutuhan karena tempat tinggalnya runtuh. Pada saat yang sama pasar mengalami stagnasi. Toko-toko dan pembeli di Yogya sepi. Sehingga para pelanggannya banyak yang macet membayar.
Bahkan ada satu pelanggan yang menunggak hingga 400 juta. Beruntung usahanya itu bisa dibangkitkannya kembali setelah ia mendapat pinjaman dana dari sebuah lembaga pembiayaan. Pada 2007 Martini menerima Dji Sam Soe Award sebagai salah satu dari tiga pelaku usaha kecil menengah terbaik nasional.
Kepada karyawannya, perempuan yang biasa ceplas-ceplos ini mendorong untuk berwiraswasta. Menurut dia modal yang paling utama adalah badan sehat. “Tuhan sudah memberi kita modal bermilyar-milyar, yakni tubuh kita ini,” kata dia.
Kini suaminya, Nurhadi, membantunya menjalankan roda usaha. Selama hidup bersama pria kelahiran Bantul 12 Desember 1969 itu, Martini dikaruniai seorang putri yang bernama Irma Purwaningsih 21 tahun, saat ini puterinya bersekolah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Irma kerap membantu sang bunda menawarkan produk via internet.
Melalui bendera "Martini Natural" , bisnis sandal, tas dan sepatunya berkembang terus ke seantero nusantara dan Eropa.
sumber : Gatra
Komentar