Menggali Sumber Motivasi
Oleh : Ubaydillah, AN
Intrinsik & Ekstrinsik
Teori motivasi yang sudah lazim dipakai menjelaskan bahwa sumber motivasi itu sedikitnya bisa digolongkan menjadi dua, yaitu sumber motivasi dari dalam diri (intrinsik) dan sumber motivasi dari luar (ekstrinsik). Termasuk sumber dari dalam, misalnya saja kebutuhan kita untuk menemukan makanan, mendapatkan kesehatan, mendapatkan keamanan, mendapatkan kehormatan, meraih prestasi di bidang kita, dan seterusnya.
Sedangkan yang termasuk sumber motivasi dari luar, misalnya saja kondisi kerja yang mendukung, gaji yang jumlahnya sesuai dengan keinginan atau tuntutan kita, perlakukan yang baik dari pihak lain, dan seterusnya. Dari praktek hidup seringkali kita temukan bahwa motivasi yang bersumber dari luar ini sifatnya tidak otomatik dan tidak mutlak. Di atas kertas putih memang bisa dikatakan bahwa kenaikan gaji bisa menambah motivasi dan bisa menambah kreativitas tetapi prakteknya tidak berlaku untuk semua orang atau tidak mutlak bisa menaikkan motivasi semua orang.
Prakteknya seringkali membuktikan bahwa kenaikan gaji hanya akan memotivasi orang yang sudah bisa memotivasi dirinya. Adapun bagi orang yang belum bisa memotivitas dirinya atau menolak memotivasi dirinya (malas-malasan, setengah-setengah, dan semacamnya), kenaikan gaji seringkali terbukti tidak bisa membuat mereka termotivasi. Atau paling banternya hanya menambah motivasi untuk jangka waktu yang sangat pendek.
Bahkan kalau kita rujukkan pada hasil studi Teresa Amabile, profesor dari Harvard Business School (The 6 Myths of creativity, Gruner + Jahr USA Publishing, 2004), kenaikan gaji malah menjadi semacam "fithan", masalah atau ancaman terhadap motivasi dan kreativitas bagi orang yang menolak memotivasi dirinya. Teresa mengatakan bahwa karyawan yang motivasi dan kreativitasnya tergantung pada kenaikan gaji semata justru akan menjadikan kemalasan sebagai jurus untuk mendapatkan kenaikan gaji berikutnya.
Walhasil, memang perlu kita akui bahwa gaji yang rendah menurut ukuran yang berlaku umum, kondisi kerja yang tidak kondusif menurut rasio umum atau perlakuan organisasi yang tidak fair menurut norma umum, bisa menjadi demotivator. Tetapi hal ini tidak punya pengertian bahwa ketika gaji kita naik, kondisi kerja Ok atau perlakuan yang kita terima OK dari pihak lain lantas membuat kita secara otomatik menjadi orang yang kreatif dan ‘motivatif’.
Kita bisa memilih menjadi orang kreatif dan motivatif dengan alasan karena kita kekurangan fasilitas, karena gaji kita tidak cukup menurut ukuran kita, karena kita sedang dilanda krisis perlakuan baik dari orang lain ATAU bisa pula kita memilih menjadi orang kreatif dan motivatif dengan alasan karena kita sedang dikelilingi fasilitas kerja yang berlimpah, gaji kita lebih menurut ukuran kita, dan karena kita sedang mendapatakan treatment yang bagus dari pihak lain. Prakteknya membuktikan, "We are the law of ourselves."
Sumber Alamiyah: motivator & demotivator
Cukupkah pemahaman kita tentang sumber motivasi itu hanya sebatas pada pengertian-pengertian yang seperti penjelasan di atas? Kalau kita mencoba menelaah praktek hidup lebih dalam, ternyata bisa kita temukan bahwa sumber motivasi itu jumlahnya tak terbatas dan terhingga. Seluruh aktivitas perasaan kita (feeling and mood) dalam meresponi apa yang terjadi di dalam diri dan apa yang menimpa diri kita dari luar bisa kita gunakan sebagai motivator, termasuk yang sering kita cap dengan sebutan hal-hal negatif atau tak berguna atau ancaman motivasi (demotivator)
Berikut ini adalah sebagian contoh dari hal-hal yang sering kita anggap negatif tetapi bisa kita olah sebagai sumber motivasi yang gratis dan bisa kita gali seluas-luasnya, sekuat-kuatnya dan sedalam-dalamnya:
Pertama, kekesalan. Terlepas dari perbedaan kadar dan alasan, semua orang yang hidup di dunia ini pernah kesal: kesal kepada diri sendiri, kesal kepada orang lain, kesal kepada keadaan, bahkan kesal kepada Tuhan. Persoalan yang kita hadapi dalam praktek hidup bukan masalah pernah kesal atau tidak pernah, melainkan akan kita gunakan untuk apakah kekesalan yang menggelora di dada kita?
Kekesalan bisa kita jadikan motivator untuk maju tetapi bisa pula kita jadikan demotivator untuk maju, tergantung apa yang kita pilih. Anthony Robbins yang saat ini dikenal Motivator International papan atas mengakui bahwa dirinya menjadikan kekesalan sebagai motivator untuk maju. Karena ia kesal dengan posisi karirnya yang berada di level bawah, maka kekesalan itu ia olah menjadi energi yang mendorong dirinya untuk naik.
Kedua, kegagalan. Semua manusia yang berusaha di dunia ini pastilah pernah gagal. Kegagalan dalam usaha bukanlah pilihan (choice), melainkan konsekuensi yang tidak bisa dipilih (not free to choose). Andaikan boleh memilih, tentulah tak ada satu pun manusia di dunia ini yang memilih kegagalan. Semua orang pastilah akan memilih keberhasilan.
Meskipun semua orang pernah menghadapi kegagalan tetapi yang berbeda adalah bagaimana orang itu menggunakan energi kegagalan. Apakah kita akan menggunakan kegagalan usaha kita sebagai motivator untuk mencapai keberhasilan ataukah kita akan menggunakan kegagalan kita sebagai demotivator? Semua akan kembali kepada pilihan kita. Robert Kiyosaki menyimpulkan bahwa kegagalan itu akan menjadi penghancur (demotivator, destroyer) bagi orang kalah (losers) tetapi akan menjadi inspirasi maju bagi para pemenang (winners)
Meminjam istilah yang pernah digunkan oleh Jhon C. Maxwell, di sana ada yang disebut Kegagalan Maju (failing forward) dan di sana ada pula yang disebut Kegagalan Mundur (failing backward). Menurutnya, Kegagalan Maju adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali setelah dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah menuju arah yang lebih bagus. J.M. Barrie menyimpulkan: "Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut "kegagalan maju".
Ketiga, hinaan, celaan atau cemoohan orang lain atas kita. Terlepas dari perbedaan bentuk, jenis, dan kadar, sebetulnya semua orang di dunia ini pernah dihina, dilecehkan, dipandang rendah, diperlakukan secara tidak enak oleh orang lain. Semua sepakat bahwa diotak-atik dengan menggunakan teori apapun, yang namanya dihina atau dilecehkan tentulah merupakan sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.
Masalah yang kita hadapi dalam praktek hidup (selain masalah yang sudah kita rasakan) adalah bagaimana kita menggunakan semua itu. Hinaan bisa kita jadikan sebagai motivator dan bisa pula kita jadikan sebagai demotivator, tergantung bentuk kegunaan yang kita pilih. Tak sedikit para peraih prestasi tinggi di bidangnya di sekitar kita yang mendapatkan dorongan maju (motivasi) dari hinaan orang lain di sekitarnya yang kemudian mengantarkan mereka pada satu titik pembuktian-diri positif. Albert Einstein mengakui bahwa semangat dari dirinya yang agung kerapkali mendapatkan perlawanan dari orang lain yang punya semangat biasa-biasa.
Karena sesungguhnya yang menentukan kegunaan itu kita, maka Les Brown berpesan: "Jangan biarkan opini negatif orang lain tentang dirimu menjadi kenyataan di dalam dirimu." Dihina orang lain tidak ‘capable’ kalau kita iyakan (kita gunakan sebagai demotivator) akan menjadi kenyataan di dalam diri kita tetapi kalau kita tolak (kita jadikan motivator untuk menjadi capable) tentu ini setidaknya akan mengantarkan kita menjadi capable, meskipun tidak semudah orang membalik tangan. Eleanoor Rosevelt berkesimpulan: "Tidak ada orang yang sanggup membuat anda down tanpa izin dari anda."
Gampangnya ngomong, semua yang diciptakan Tuhan atau semua yang diizinkan Tuhan untuk ada dan untuk terjadi di dalam diri kita dan di dunia ini, memiliki kegunaan, dari (katakanlah) mulai ketakutan, kekurangan, kebingungan, kemalangan, dan seterusnya. Kitalah yang diberi pilihan (tawaran) untuk memilih kegunaan itu. Bisa kita gunakan sebagai motivator (kegunaan positif) dan bisa pula kita gunakan sebagai demotivator (kegunaan negatif). Memilih kegunaan positif akan mengantarkan kita menjadi orang yang semakin positif. Memilih kegunaan negatif akan mengantarkan kita menjadi orang yang semakin negatif.
Pembelajaran
Apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa menggunakan ledakan emosi negatif yang selama ini kita anggap barang tak berguna itu menjadi berguna, menjadi motivator atau setidak-tidaknya tidak sampai membuat kita menjadi orang yang semakin / bertambah negatif akibat tertimpa oleh hal-hal negatif (hal-hal yang tidak kita inginkan)? Sebagai pembelajaran, mungkin kita bisa melakukan pilihan berikut:
1. Menyadari
Menyadari atau kesadaran-diri (self-awareness) adalah kemampuan kita untuk mendeteksi, menyadari, merasakan, dan mengontrol apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita unek-unek-an serta kemampuan kita untuk memahami bagaimana semua itu terjadi dan apa yang menyebabkannya. Memiliki kesadaran-diri seperti ini akan membuat kita punya pilihan hidup (choice), bisa mengambil keputusan menurut pilihan kita dari dalam (from the inside-out), atau responsif (bukan sekedar reaktif).
Seperti yang kita alami dalam praktek hidup sehari-hari, kekesalan itu bisa kita pilih sebagai sumber motivator dan bisa pula kita pilih sebagai sember demotivator. Cuma saja, untuk bisa memilih sebagai motivator ini dibutuhkan kesadaran-diri, kontrol-diri, atau penguasaan-diri serta kekebasan memilih (free to choose). Hilangnya kesadaran-diri ini akan membuat kita menempati posisi sebagai korban kekesalan, dan bukan sebagai pihak yang bisa menggunakan kekesalan. Kita mudah lupa bahwa kekesalan itu selain bisa kita gunakan sebagai motivator juga bisa menjadi demotivator.
2. Menggunakan
Setelah kita memiliki "kebebasan memilih" dalam menggunakan apa yang terjadi dan apa yang menimpa kita, maka tahapan berikutnya adalah menggunakan energinya untuk mendukung keinginan kita. Kekesalan, kekecewaan, ketakutan, kekurangan atau kejengkelan tidak secara otomatik menjadi sumber motivator hanya karena kita tahu. Ia akan menjadi motivator kalau kita gunakan (apply) untuk memotivasi diri kita melalui saluran aktivitas yang jelas dan tujuan (sasaran) yang jelas.
Karena itu, akan lebih mudah buat kita dalam mengolah ledakan emosi agar menjadi sumber motivasi kalau kita memiliki tujuan hidup yang jelas dan jelas-jelas kita perjuangkan. Ibarat menembak, jika sasaran yang akan kita bidik itu jelas (spesifik, measureable, attainable), tentulah akan lebih mudah kita mengalihkan energi dari yang semula akan mencelakakan kita ke yang mendukung kita.
3. Mengawasi
Dari praktek hidup sehari-hari kita diajarkan bahwa yang terkadang membuat kita tidak sanggup menggunakan berbagai ledakan emosi sebagai sumber motivasi itu bukan saja karena kita tidak tahu semata, melainkan karena kita lupa (losing control). Karena itu, pengawasan aktivitas batin kita tetap diperlukan. Lupa hanya sebentar lalu kita menarik diri untuk ingat, mungkin tak ada masalah tetapi kalau kita lupa dalam kurun waktu yang panjang apalagi selamanya, tentulah ini membahayakan buat kita.
Komentar