Rangkuman Kisah orang orang sukses



Petani Milyarder dari Kediri

Cerita soal petani tidak semuanya mengenaskan. Ada pula yang menggembirakan, bahkan membanggakan. Tengok saja H Bambang Sumadji HS, petani dari Desa Pelem, Kecamatan Pare, Kediri Jawa Timur. Ia dikenal sebagai petani sukses. Bayangkan, sebulan ia bisa meraup omset Rp 50 milyar!

Memang hasil itu tidak semuanya diperoleh dari hasil pertanian, melainkan juga dari pabrik dan bank. Namun pertanian, utamanya bawang merah dan cabe, tetap menjadi basis utama usaha pria berumur 49 tahun itu.

Sosoknya sebagai petani yang sukses, sangat dikenal luas. Cobalah tanya kepada pedagang di pasar Pare, hampir semua mengenalnya. "Kalau sampean (Anda) ingin informasi lengkap soal bawang merah dan cabe, tanya saja langsung kepada Pak Haji Bambang, karena dia sudah dikenal luas sebagai petani yang sukses dan banyak mensuplai pasar lokal maupun luar daerah," ujar Muhammad Abdullah Zaman (55) maupun Musni (60), pedagang bawang merah di pasar Pare.

Kisah suksesnya dimulai tahun l977. Saat itu, ia mengambil kredit dari Bank BNI sebesar 1,5 juta. Uang itu digunakan menanam bawang merah di atas lahan sewaan seluas 1 hektar. Hasilnya ternyata sangat baik. Sekali panen 7 ton, dijual dengan harga Rp 150 per kilogram (sekarang Rp 6.000). Dalam satu tahun ia bisa panen tiga kali. Itu artinya ia meraup hasil 3,15 juta rupiah.

"Dari keuntungan itulah sedikit demi sedikit saya mengembangkan pertanian brambang (bawang merah)," ujarnya. Ia tidak hanya memenuhi permintaan pasar lokal, tapi juga memasok ke daerah Indonesia Timur.

Kini protolan tingkat III Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya ini memiliki lahan 200 hektar, tersebar di Sukomoro Nganjuk dan Sidowarek serta Plemahan, keduanya di Pare.

Tidak cuma bawang merah, Bambang juga menanam cabe seluas 25 hektar di desa Pelem, Pare.
Dari total lahan pertaniannya itu, ia biasa mengusung 28 ribu ton bawang merah, dua kali panen. Sedang cabe merah, satu hektar menghasilkan 20 ton. Hasil totalnya mencapai 500 ton per tahun.
Ironisnya, meski hasil panen bawang merahnya mencapai ribuan ton, sekarang Bambang tak sanggup lagi mensuplai ke kota-kota Indonesia Timur dan beberapa kota besar di Jawa. Bukan lantaran di kota-kota itu sedang dilanda kerusuhan, atau hasil panennya menurun drastis, melainkan untuk kebutuhan sendiri saja, katanya, ia merasa kewalahan.
Sejak tahun l991, Bambang memang tak lagi menjual bawang merah mentah. Dikemas dengan merek Bagindo, brambang itu digoreng kemudian dilempar ke pasar. "Setiap hari saya membutuhkan pasokan 150 ton brambang mentah," mantan Pengurus Cabang Pelajar Islam Indonesia (PII) Pare itu menjelaskan kebutuhan pabriknya. Melibatkan 150 karyawan dengan gaji rata-rata Rp 500 ribu/bulan kecuali pegawai kantor Rp 750 ribu sampai Rp 1 juta --tiap bulan Bambang menghasilkan 30 ton brambang goreng.
Dengan merek yang sama, selain brambang goreng, pria kelahiran Pelem, Pare, Kediri ini juga memproduksi sambal pecel. Dengan tenaga 50 orang, ia menghasilkan 30 ton sambal pecel per bulan. Untuk produksi sebanyak itu, setiap hari diperlukan pasokan 1 ton kacang tanah.
Untuk memperlancar distribusi hasil pertanian dan pabriknya, pria yang ramah ini menyediakan 20 unit armada angkutan jenis L-300.
Sukses di pertanian dan makanan, mantan pengurus Muhammadiyah Pare ini merambah dunia perbankan. Tahun 1990 ia mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 'Agro Cipta Adiguna'. Sama dengan usaha pertanian dan makanan, BPR-nya juga sukses. Bahkan pernah terpilih sebagai BPR terbaik tingkat nasional, Desember tahun lalu.

Istiqamah

Sejak kecil Bambang memang sudah terdidik oleh lingkungan keluarganya yang memang petani sekaligus pedagang hasil-hasil pertanian. Ia juga mengaku dapat "ongkos jalan" dari orang tua. "Tapi kecil-kecilan lho, mas", katanya. Ia tidak mau menyebut berapa angka yang dimaksud kecil-kecilan itu.
Tapi yang lebih bernilai, menurutnya, secara langsung orang tuanya sering melibatkan dirinya dalam kegiatan jual beli hasil pertanian. Bila ada diskusi-diskusi usaha maupun transaksi, ia kerap dilibatkan. Dari situlah feeling bisnisnya diasah. Kiat menangkap peluang dan kesempatan diperolehnya dari situ.
Tapi seperti kata dia, dari semua terori-teori praktis yang diajarkan kedua orang tuanya, yang paling memberi arti bagi karir bisnisnya adalah amanah atau dapat dipercaya. "Amanah jauh lebih penting dari modal itu sendiri." katanya. "Modal besar tanpa diiringi amanah bisa jeblok (bangkrut)," tambah ayah empat anak, masing-masing Anton Kusuma Pribadi (23), mahasiswa semester akhir STIE YKPN Jakarta, Diah Ratna Kusumawati, mahasiswa semester I STEI Yogyakarta, Diah Ratih Kusumawati (14), pelajar SMU Muhammadiyah II Yogyakarta dan Yudha Arief Kusuma Pribadi (11), pelajar SD kelas VI SDN I Pare.
Menekuni usaha pertanian, menurut putra kedua dari lima bersaudara ini, resepnya sama saja dengan usaha lain. "Yang penting istiqamah," katanya. Soal jatuh bangun, itu hal biasa dalam usaha. Seiring perjalanan waktu, bila istiqamah, seseorang bakal menemukan 'jalannya'.
Bambang sendiri pernah nyaris bangkrut. Kejadiannya tahun l994, ia gagal panen karena faktor alam. Kerugian yang ditanggung mencapai Rp 1 miliar lebih. "Saat itu saya benar-benar minus. Bila dihitung antara hutang dan jumlah aset, lebih banyak hutangnya," aku pria yang juga memimpin sejumlah yayasan, seperti Yayasan 4 Mei Pare, Apindo (Assosiasi Pengusaha Indonesia), dan Persatuan Penggilingan Padi Kabupaten Kediri.
Sejak peristiwa itu ia seakan disentakan pada sebuah kenyataan, sepintar-pintar manusia merencanakan, tetap Allahlah yang menentukan. "Di situlah pentingnya kedekatan kepada Allah," katanya mengambil pelajaran, "Saya perlu memperbaiki pengabdian saya."
'Cubitan' Tuhan itu kian menyadarkan Bambang Sumadji untuk berkiprah lebih banyak dalam kegiatan sosial dan keumatan. Setiap tahun Bambang mengeluarkan 15% zakat usahanya dari laba bersih sebesar 500 - 700 juta rupiah. Dana zakat tersebut disalurkan kepada para bekerja pabrik, lembaga-lembaga sosial, serta buruh tani di lingkungan perusahaan.
"Sebagai koordinator Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) se-eks karesidenan Kediri dan Madiun, saya punya tanggung jawab memberdayakan ekonomi petani," ujar Bambang.
Untuk mewujudkan impian itu, Bambang ditarik oleh lembaga swadaya masyarakat PPM (Pusat Peran Serta Masyarakat) Jawa Timur. Lembaga ini berfungsi, di antaranya, sebagai penyalur KUT (Kredit Usaha Tani), pengadaan pangan, penyediaan saprodi (sarana produksi padi), serta menampung hasil panen. "Kami sudah mendapat kepercayaan perbankan untuk menyalurkan KUT," papar ketua Departemen Bisnis ini.
Masa mendatang, ia optimis prospek pertanian sangat cerah. Kalau selama ini dunia pertanian suram, karena memang sistem perniagaan pertanian yang dikembangkan Orde Baru menjatuhkan harga. "Harga-harganya sangat tidak menarik buat petani," tambahnya. Yang terjadi kemudian, bukan saja pertanian tidak berkembang, tetapi juga banyak petani yang meninggalkan tanah garapannya. Mereka lebih memilih mengadu nasib ke kota-kota besar.
Tetapi berkat reformasi, katanya, harga-harga hasil pertanian sekarang mengikuti harga internasional. "Nah, sekarang saatnya kembali ke pertanian," kata Bambang yang tahun ini mendapatkan penghargaan The First Asia Executive of the Year.
Keberanian, Kegigihan serta Konsistensinya



 KISAH SUKSES M.ABDI DAULAY

Usianya terbilang muda, 34 tahun, namun kiprahnya di bidang bisnis cukup disegani. Dialah M.Abdi Daulay, Direktur Utama sekaligus pemilik gerai Yes - The Home Centre serta perusahaan event organizer dan periklanan. Kiat bisnisnya?


    Ibarat aliran air, jika menemui hambatan, berbelok ke arah lain. Begitulah ritme kehidupan M. Abdi Daulay, pengusaha muda pemilik geraiYes - The Home Centre di Mall Pondok Indah dan juga Direktur Pulau Kahyangan Agency, Exhibition Organizer & Advertising. Setelah lama berkarir di perusahaan berskala international, ia justru memperoleh kesuksesan lewat wirausaha sendiri.
    Memang seperti dikatakan Peter F. Drucker, entrepreneurship tak datang seperti badai menghempas, tapi ia hadir dalam desiran angin. Artinya, menurut filsuf manajemen ternama itu, semua peluang menjadi wirausahaan itu ditemukan hanya jika seseorang aktif menangkap peluang, dengan berpikir jernih - rasional serta memiliki daya kreativitas dan inovatif.
    Penemuan dan pergulatannya akan ide-ide bisnis, sejatinya sudah dilakukan Abdi, sejak masa kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Belajar sembari berbisnis boleh dikatakan dijalani Abdi saat itu. "Peluang apa saja saya tubruk, yang penting halal," kenang pria kelahiran Medan, 34 tahun lalu. Tak heran berbagai bidang sempat dijalaninya. Mulai dari jual-beli mobil, tanah, hingga main di bursa komoditipun dilakoninya.
    Modalnya benar-benar dari bawah. Modal utama Abdi saat itu adalah kejujuran dan kepercayaan. "Kalau pemasok barang percaya pada kita, misalnya, maka uangnya bisa dibayar beberapa bulan kemudian," ujarnya memberi contoh.
    Berbagai pengalaman itu, membuat naluri bisnis serta kejelian membaca situasi terus terasah. Sementara, rentetan kegagalan seperti: pernah ditipu mitra bisnis, atau terlalu berspekulasi tanpa perhitungan, merupakan pelajaran berharga. "Pelbagai kegagalan itu merupakan pelajaran pahit yang harus ditebus dengan mahal," tandas Abdi.
    Lulus sekolah pada 1989. Abdi pun ingin memantapkan pengalaman berkarir di perusahaan berskala internasional. Ia pun diterima di salah satu perusahaan multinasional. Disana ia, mendapat tempaan disiplin, penghayatan pada tugas, serta teknik melayani pelanggan secara sempurna.
    Tiga tahun di perusahaan itu, Abdi sempat berkarir di bidang operasional dan HRD. Kendati karirnya terbilang sukses, toh berbagai posisi yang diraihnya malah membuatnya "gerah". Sebagai orang muda, ia merasa karirnya sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi, sudah tak ada tantangan. "Saya tergugah untuk kembali membuktikan diri sebagai pemain, bukan karyawan," ucap pria energik ini.
    Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. "Saya ingin jadi pengusaha sukses," katanya bersemangat. Ia pun melakukan survei tentang beberapa bidang usaha yang potensi perkembangan cukup bagus. Pilihannya tertuju pada Exhibition Organizer. Pasalnya? itu sesuai dengan kemampuan ilmu dan kompetensi Abdi dalam bidang komunikasi. Memang tidak spektakuler. Yang penting usaha ini lancar dan memiliki prospek baik di masa datang. Dalam lima tahun perkembangannya, sukses pun diraih. Terbukti banyak pameran dalam skala luas - khususnya interior dan eksterior rumah - berhasil digelar. Para peserta pun merasa puas dan berhasil meraih transaksi besar dalam tiap pameran yang diikuti.
    Perkenalannya dengan berbagai rekaan di bidang bahan bangunan (sekitar 130 pengusaha) membuatnya tertarik, serta menguasai liku-liku bisnis tersebut. Dan buah dari konsistensinya itu, berdirilah Toko Yes - The Home Centre di pusat perbelanjaan elit Mall Pondok Indah. Rupanya, keberanian dan jiwa entreprenuership M. Abdi Daulay sukses teruji, karena mampu menaklukan berbagai tantangan sekaligus meniti tangga kesuksesan. "Ini semua berkah dari Yang Maha Kuasa. Selama kita berjalan lurus, Tuhan tak akan berpaling," ungkapnya tulus mengakhiri perbincangan.



 Pak Haji di Sarang Optima


Gagal bercita-cita menjadi pilot tidak membuat Didi Apriadi patah arang. Dia akhirnya menemukan tambatan hatinya di dunia TI. Kegagalannya "naik pesawat" dibayar lunas dengan kepergiannya naik haji. Berikut kisah hidupnya yang diceritakan secara santai.
Saya dilahirkan di Tanjung Pandan, sebuah daerah kecil di Pulau Belitung, pada 22 April 1969. Saya merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya seorang pegawai negeri yang kerap berpindah tempat tinggal sesuai dengan panggilan dinas sehingga saya terpaksa harus berpindah-pindah sekolah, mulai dari Tanjung Pandan, Jakarta hingga Palembang.
Keberadaan saya yang seperti nomad itu membuat saya sejak kecil terbiasa beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru. Hal ini membuat saya saat ini dapat dengan mudah masuk ke komunitas baru.
Waktu kecil, saya mempunyai cita-cita menjadi pilot. Ayah saya memang tidak menentukan saya akan jadi apa, asal selalu menjadi yang terbaik. Untuk mengejar cita-cita menjadi pilot, selepas SMA tahun 1988, saya mencoba mengikuti tes masuk AKABRI, tetapi apa boleh buat ternyata tidak lulus.
Gagal menjadi pilot, saya ingin sekali masuk ITB dan kemudian ikut UMPTN, tetapi apa hendak dikata, saat itu saya juga tidak lulus. Akhirnya, pada tahun yang sama, saya kuliah di jurusan arsitektur Universitas Parahyangan Bandung, walau hanya sampai jenjang sarjana muda. Karena saya ingin yang terbaik, maka tahun berikutnya saya ikut UMPTN lagi dan masuk ITB jurusan engineering.
Ide untuk menjadi entrepreneur sebenarnya baru muncul ketika saya kuliah di ITB, apalagi pada saat itu saya aktif di koperasi. Saya malah sempat membentuk CSED (center of student entrepreneurship development) pada 1994. Dalam hal ini, kami membentuk kelompok untuk mengembangkan semangat kewirausahaan pada rekan-rekan mahasiswa.
Bersama beberapa rekan di koperasi mahasiswa, mulai tingkat dua saya sudah mencoba menjalankan bisnis, tetapi tidak semuanya di TI. Saya sempat mencoba mengekspor teh, tetapi hanya bertahan selama dua bulan.
Pada saat di kampus ITB pulalah baru terpikir oleh saya untuk masuk ke dunia TI. Bagi saya, masa depan dunia TI di Indonesia cukup baik--jika belum bisa dikatakan sangat baik.
Saya memilih dunia TI sebagai ladang mencari nafkah bukan hanya karena masa depannya yang bagus, melainkan juga karena sesuai dengan hobi saya. Dengan menekuni pekerjaan yang digemari, seseorang tidak akan merasa tertekan dan enjoy dengan apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang itu bisa sukses. Contohnya Stefie Graff yang bisa sukses dalam bertenis karena dia juga hobi main tenis. Selain hobi, seseorang yang ingin sukses juga harus memiliki kemampuan. Hal yang tak kalah penting, dia punya kesempatan yang datang sendiri atau dia ciptakan.
Selepas kuliah di ITB tahun 1994, saya ikut mendirikan PT Kreta Visual Dinamika yang bergerak di bidang advertising dan multimedia dan sampai saat ini masih menjadi komisaris di sana.
Kemudian saya pun mendirikan beberapa perusahaan PT Optima Infocitra Universal yang bergerak di bidang e-solution provider, PT Elga Yasa Media (ISP), Ebzoom.com (community portal), PT Optima Digital Comindo (pengembang perangkat lunak), dan PT Matriksindo (accounting software solution).
Mendirikan Optima
PT Optima Infocitra Universal didirikan pada Mei 1995 oleh tujuh orang yang semuanya lulusan ITB. Proyek pertama kami adalah proyek PDAM Bandung. Dahulu kami mengambil kesempatan yang ada sampai-sampai kurang terfokus, tetapi sekarang Optima berfokus di empat bidang: pertama, e-government, kedua, e- hospital, ketiga oil, gas, energy, transportation and distribution, dan terakhir cross industry yang di dalamnya termasuk e-finance.
Pada saat kami sudah tidak kuat menanggung biaya operasional Optima, kami mendapatkan pemodal dari Sarana Jabar Ventura (SJV) dan dua investor asing, yaitu Aiti Investment (Korea Selatan) dan Dinamic Venture Capital (Hong Kong). Ada satu lagi perusahaan Korea yang akan masuk ke Optima yaitu ICM, yang sudah listing di bursa Korea Selatan.
Dari perusahaan-perusahaan yang saya dirikan tersebut, yang saya jadikan fokus adalah Optima karena kebetulan, pada saat didirikan, saya yang memiliki mayoritas sahamnya yaitu 65%. Selain itu, saya melihat peluang Optima untuk maju lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Buktinya, pada saat didirikan, modal awalnya hanya Rp50 juta, sekarang sudah mempunyai omzet sampai Rp24 miliar. Saat ini saya hanya memiliki saham di bawah 50% karena kami membagi saham kami dengan SJV dan dua investor asing.
Beberapa tahun menjalankan Optima, yaitu pada 1998, saat banyak perusahaan asing yang cabut dari Indonesia, kami mendapatkan tender dari Caltex dengan penawaran yang tidak begitu tinggi. Mungkin pada saat itu Optima dilihat sebagai perusahaan lokal yang memiliki komitmen, di samping harga yang kami patok tidak begitu tinggi yaitu sekitar US$300.000.
Saya rasa, proyek Caltex ini merupakan awal baru bagi kami karena setelah itu perusahaan kami banyak mendapat tawaran yang cukup besar dengan referensi Caltex itu.
Saya tertarik menangani e-government karena, pertama, saya melihat peluang untuk TI di Indonesia itu banyak, tetapi e- government kita seperti kurang digarap. Jadi, pertama saya ingin membantu mengembangkan TI di Indonesia. Kedua, memang di situ ada juga profit yang bisa diambil. Selain itu, saya juga melihat yang bermain di e-government itu masih sedikit sehingga peluangnya masih terbuka.
Menurut saya, e-government yang baik syaratnya ada dua. Pertama, standardisasi dan kedua kontinuitas. Kita tidak mungkin bisa membuat e-government yang komprehensif kalau tidak ada standar yang baku. Jadi, seharusnya ada blue print dari pemerintah. Saya mengusulkan agar pihak pemerintah, swasta, dan pihak yang akan mengerjakan e-government dan perguruan tinggi menciptakan standardisasi. Kemudian harus melaksanakannya dengan kontinu dan konsisten.
Sebagaimana kebanyakan perusahaan lain, Optima juga ingin menempatkan diri sebagai perusahaan publik. Target kami sebenarnya tahun ini, tetapi karena ada sesuatu hal kami undur. Yang saya lihat, berjatuhannya perusahaan yang berbasis TI-- terutama perusahaan dotcom--yang go public karena mereka lebih condong untuk mencari dana segar di lantai bursa, sehingga terkadang ada kesan proses listing-nya dipaksakan. Dengan demikian, kemungkinan untuk jatuh cukup besar.
Saya berpendapat, jika suatu saat Optima dapat bermain di lantai bursa, maka Optima lebih cenderung mencari pengakuan pasar. Untuk itu, saham yang dilepas pun tidak perlu terlalu banyak, paling-paling hanya 10%.
Saya melihat pasar TI kita seperti gunung es. Ujungnya kelihatan kecil, padahal di bawahnya besar. Pasar di bawah itulah yang harus sama-sama kita gali. Untuk menggali pasar itu diperlukan idealisme yang cukup tinggi. Saat ini idealisme dan entrepreneurship saya sama-sama terpenuhi. Saya aktif di BHTV (Bandung Hi-tech Valley) dan Mastel itu untuk idealis saya, sedangkan untuk urusan bisnis, saya di Optima. Khusus di BHTV, kami mencoba menggali pasar yang terpendam itu.
Optima saat ini berpusat di Bandung dan memiliki kantor representatif di Jakarta, sehingga saya terpaksa harus bolak- balik Jakarta-Bandung setiap minggunya. Di Jakarta saya tinggal dengan mertua saya. Dari hasil pernikahan saya, saat ini saya telah mempunyai seorang putri.
Kesibukan yang banyak menyita waktu mungkin terasa agak mengganggu hobi saya seperti joging dan main catur. Bahkan dahulu saya sering menjadi juara catur. Selain olahraga, saya juga suka melukis di atas kanvas. Pada suatu saat nanti, saya ingin bisa membuat pameran lukisan yang bertema TI.

  D. RUSDIANTO ERAWAN

Saya Mengidolakan Bung KarnoBesarnya arus keluar masuk pegawai di perusahaannya memberikan satu pelajaran buat Didi untuk lebih berhati-hati menjaga salah satu asetnya itu. Dengan Bung Karno sebagai tokoh idolanya, ia berusaha menjadi pemimpin yang jago berdiplomasi, jago mengelola perusahaan sekaligus juga dekat dengan stafnya. Berikut petikan wawancaranya dengan D. Rusdianto Erawan dari Warta Ekonomi.
Warta Ekonomi: Apa prestasi Anda yang paling membanggakan?
Saya kira belum ada. Mungkin karena saya tipe orang yang perfeksionis dan tidak mudah puas.
Kalau hal yang paling mengecewakan?
Kalau software buatan kami tidak terpakai. Kadang kala kami sudah bikin, tetapi akhirnya tidak terpakai dengan alasan nonteknis.
Apa yang Anda anggap lebih dan kurang pada diri Anda?
Saya kira, kelebihan seseorang harus dilihat oleh orang lain. Kalau dilihat oleh diri sendiri akan kurang objektif. Kalau kekurangan saya, bisa dibilang saya ini perfeksionis sehingga akhirnya jadi kurang fleksibel.
Pernahkah Anda merasa melakukan keputusan yang paling baik?
Pada waktu saya memutuskan untuk terjun di TI dibandingkan dengan menjadi pilot atau pegawai negeri.
Bagaimana dengan yang terburuk?
Saya rasa tidak ada keputusan yang buruk karena semua itu bagian dari proses dan pengalaman. Jika memang hasilnya buruk, ya merupakan pengalaman.
Apakah Anda mempunyai pengalaman yang tak terlupakan?
Mungkin ketika saya naik haji tahun 1997, saat itu cukup menyentuh. Dengan titel haji yang saya sandang, saya merasa harus lebih berhati-hati berbuat sehingga tidak bertindak hal yang buruk bagi orang lain.
Bagaimana perlakuan Anda terhadap karyawan?
Di Optima, arus keluar-masuk pegawai itu cukup tinggi karena mungkin mereka belum benar-benar hobi atau sekadar cari pengalaman sampai-sampai ada yang membuat istilah "Ikatan Alumni Optima". Kami punya sekitar 50 karyawan tetap dan sekitar 250 pegawai yang kami pakai jika ada proyek. Yang 50 orang itu sangat saya jaga benar karena mereka adalah aset.
Kalau Anda dapat pindah ke dimensi lain, kira-kira mau menjadi apa?
Saya tetap ingin menjadi Didi Apriadi, tetapi saya berharap kondisi TI di Indonesia sudah mapan seperti di Amerika Serikat.
Untuk tokoh idolanya?
Idola saya Soekarno. Saya melihat visinya ke depan, bagaimana cara hidupnya, bagaimana dia dikagumi banyak orang, kemudian bagaimana cara dia menyatukan Indonesia.
Bisa dikatakan dia mewakili tiga orang. Jago untuk diplomasi ke luar, bisa untuk mengolah negara, dan dekat dengan rakyat.
Sampai saat ini, adakah cita-cita Anda yang belum tercapai?
Saya ingin membuat Optima menjadi salah satu perusahaan TI yang berkelas dunia.



 Arsitek yang Jago Internet
SHINTA W. DHANUWARDOYOShinta W. Dhanuwardoyo sudah menggeluti dunia bisnis internet ketika orang masih awam tentang bisnis ini. Itulah sebabnya dia dijuluki sebagai Srikandi perusahaan dotcom. Sempat berkarier di perusahaan konsultan bisnis, akhirnya dia memutuskan untuk serius mengembangkan perusahaan internetnya. Berikut penuturan panjangnya.
Memang benar saya dilahirkan di Jakarta. Namun masa kecil saya justru lebih banyak dihabiskan di Manila, Filipina. Hal ini terjadi karena saya mesti mengikuti orang tua saya yang mendapat tugas kerja ke Filipina. Ayah saya seorang pegawai di Asian Development Bank (ADB) yang saat itu mesti menerima tanggung jawab untuk menjalani tugasnya di luar negeri. Berat juga rasanya karena dengan usia semuda itu kami--saya dan adik-adik--harus beradaptasi dengan lingkungan baru.
Saya merasakannya ketika mulai masuk sekolah internasional. Siswanya berasal dari berbagai negara. Awalnya saya dimasukkan di sebuah kelas khusus untuk anak-anak yang tidak bisa berbahasa Inggris. Namun hanya sebentar, lantas saya "dilepas" ke kelas umum. Di situlah saya merasakan stres yang luar biasa. Saya sering ditertawakan oleh teman-teman kalau salah membaca buku, apalagi bahasa Inggris saya masih jelek. Bagi saya yang waktu itu masih anak-anak, hal itu menjadi masalah yang serius. Namun lambat laun akhirnya saya bisa menyesuaikan diri, apalagi saya punya kelebihan pada pelajaran matematika sehingga bisa menambah rasa percaya diri saya.
Masuk ke Universitas
Setelah menamatkan SMP dan SMA, saya disarankan untuk masuk perguruan tinggi di Amerika. Pertimbangannya adalah karena sekolah saya masuk dalam top 10 di Amerika sehingga tidak harus mengulang untuk beberapa mata pelajaran. Saya memilih jurusan arsitektur di University of Oregon, USA, sebagai jalan tengah atas keinginan orang tua saya yang tidak setuju kalau saya mengambil jurusan art. Setelah saya jalani, saya mulai merasakan cukup berat terutama kalau mendapat tugas mendesain sesuatu. Idenya biasanya muncul pada saat-saat terakhir sehingga untuk menyelesaikannya saya sering tidak tidur semalaman. Lama-lama saya capai juga.
Untuk itulah ketika saya meneruskan S2 di Portland State University, saya putuskan untuk mengambil jurusan bisnis internasional. Ada beberapa alasan untuk hal itu. Di antaranya karena saya merasa cukup lelah setelah lima tahun menggeluti ilmu arsitektur dengan tugas-tugas yang sangat berat. Di samping itu, saya ingin memperdalam pengetahuan tentang bisnis. Sering kali saya tidak paham tentang istilah-istilah bisnis ketika membaca majalah seperti Fortune dan Time. Di S2 ini saya mendapat semacam beasiswa yang namanya graduate assistance. Dalam hal ini, saya mesti bekerja untuk sekolah, apakah membantu profesor atau mengelola lab komputer. Saya pilih komputer lab karena jam kerja yang jelas dan saya bisa banyak belajar tentang komputer. Di sinilah saya mulai tahu tentang internet. Saya justru banyak belajar dari anak buah saya sebab waktu itu saya menjadi supervisor di lab komputer. Saya menyelesaikan master saya pada 1995.
Pulang ke Indonesia
Setelah hampir tujuh tahun saya mencoba menimba ilmu di negeri Paman Sam, dengan berbagai pertimbagan akhirnya saya putuskan untuk kembali ke Indonesia. Beberapa rekan sempat mempertanyakan keputusan saya tersebut. Namun satu alasan yang selalu menggelitik pemikiran saya, apalah artinya kalau begitu banyak waktu dan tenaga saya telah terkuras, lalu hasilnya kembali diberikan buat Amerika. Apakah ini sebuah nasionalisme? Saya pikir tidak sejauh itu, tetapi yang pasti saya ingin membawa sesuatu yang terbaik, meski mungkin belum begitu bermanfaat buat bangsa saya.
Setelah sampai di Indonesia, saya coba menerapkan apa yang saya dapatkan. Pertama kali saya bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan Filipina. Itu pun tidak terkait dengan latar belakang saya sebelumnya yang seorang arsitek. Memang banyak tawaran pekerjaan yang datang kepada saya khususnya yang terkait dengan bidang saya. Namun sampai saat itu belum ada satu pun yang tersangkut di hati saya. Saya bersyukur bisa memperdalam ilmu bisnis saya sehingga saya bisa memiliki banyak pilihan.
Di perusahaan konsultan itu, posisi saya lumayan bagus sebagai manajer pengembangan bisnis. Saya memberikan konsultasi manajemen pada sejumlah proyek di pemerintahan seperti di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, dan Departemen Kehutanan. Selain itu, saya juga melakukan lobi ke sejumlah badan dunia, antara lain Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia serta ke sejumlah negara. Tugas ini saya rasakan sebagai hal yang baru. Saya menjalani pekerjaan ini selama satu setengah tahun.
Mendirikan Perusahaan
Ketika saya kembali ke Indonesia tahun 1996, saya melihat perusahaan internet masih jarang, bahkan belum ada yang mengelolanya. Waktu itu saya berpikir untuk membuat perusahaan internet, maka saya dirikan Bubu.com. Kami memfokuskan pada penyediaan jasa pembuatan web design bagi perusahaan, solusi internet, networking solution serta pemasaran dan pelatihan internet. Anak buah saya sempat juga memberikan layanan e-mail gratis, memberikan berita yang orang bisa masuk dan chatting. Akhirnya banyak yang menganggap kami adalah sebuah portal padahal web design.
Akhirnya kami ganti semua tampilan Bubu dan mengembalikannya menjadi website server. Kami berusaha menghilangkan image itu sebab kami memang tidak main di portal. Sebagai klien pertama kami waktu itu adalah perusahaan konsultan bisnis tempat saya bekerja. Selanjutnya meluas hingga mencapai 60 perusahaan saat ini. Beberapa perusahaan besar yang kami tangani antara lain Pfizer Indonesia, British Council, JIFFEST, ASEAN Foundation, Bank Niaga dan Bouraq Airlines.
Pada tahun 2000 ketika situasi politik ekonomi masih bergejolak serta adanya keinginan masyarakat untuk memperoleh pemberitaan yang cepat, maka saya bersama Aria Witoelar memanfaatkan peluang itu. Kami mendirikan Koridor.com, portal berita--breaking news yang memfokuskan berita politik dan ekonomi. Selanjutnya saya hanya bertindak sebagai komisaris dan konsultan manajemen. Begitu juga di Nasgor.com, portal yang memfokuskan pemberitaan seputar lifestyle.
Perusahaan saya berikutnya adalah Mailkita.com, sebuah perusahaan yang memberikan jasa e-mail gratis kepada sekolah dan institusi. E-mail gratis yang kami berikan berbeda dengan yang diberikan beberapa perusahaan. Mereka bisa mendapatkan e-mail sesuai dengan domain mereka, misalnya agus@sma1.com. Kami sengaja membidik sekolah, perguruan tinggi, dan institusi untuk memperoleh database mereka yang selanjutnya bisa diolah secara offline. Dari situlah bagaimana kami nanti bisa mendapatkan pemasukan. Jadi internet hanya sebuah marketing tool. Hingga saat ini kami berhasi menggaet 35.000-40.000 pengguna jasa mailkita.com.
Ketika mendirikan mailkita.com maupun bubu.com, kami mempunyai sebuah misi dan visi. Kami melihat pendidikan teknologi informasi (TI) di Indonesia masih sangat menyedihkan dan kebanyakan masih belum mengenal komputer. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah telah membuat program sekolah 2000, dan kami berusaha membantu untuk lebih cepat memperkenalkan TI kepada masyarakat. Kondisi seperti inilah yang membuat daya saing sumber daya manusia kita kalah dari negara lain. Menurut saya, ini yang perlu digalakkan karena TI adalah the future. Jadi kita mengharapkan masyarakat Indonesia bisa lebih mengenal internet.
Keluarga dan Hobi
Dari perkawinan saya, saat ini saya dikaruniai seorang putri berusia dua tahun bernama Trisqha. Saya berusaha sebisa mungkin membagi tugas antara pekerjaan dan keluarga. Sedapat mungkin saya tidak membawa pekerjaan ke rumah karena bisa mengurangi kewajiban saya. Suami saya juga seorang pengusaha yang saya kenal sejak 1997, tetapi bisnisnya tidak ada hubungannya dengan dunia internet.
Saya menjadi seperti sekarang ini tidak lepas dari didikan orang tua saya. Selaku anak pertama dari empat bersaudara dan satu-satunya wanita, saya selalu dididik orang tua agar menjadi anak yang mandiri. Orang tua mendidik agar kami selalu ingat ajaran-ajaran agama, tidak melupakan sebagai orang timur yang mengerti sopan santun karena hampir 20 tahun berada di luar negeri. Saya sendiri lahir di Jakarta, 18 Januari 1970.
Kalau bicara masalah hobi, ada salah satu hobi saya yang sudah saya geluti sejak empat tahun lalu yaitu mengoleksi kebaya tua atau sering dikenal kebaya encim. Ini saya lakukan karena saya sering sedih melihat barang antik kita justru banyak dimiliki oleh orang asing terutama Jepang. Bahkan mereka memiliki museumnya. Selain kebaya, hobi saya yang lain adalah mengoleksi kain batik serta melukis. Dalam waktu dekat ini saya akan mengadakan pameran lukisan dengan beberapa teman saya.
Selain itu, berkat ketekunan saya menjalankan bisnis, saya mendapatkan penghargaan dari majalah Dewi sebagai Executive Woman 2001. Saya yang paling muda di antara para nominator dan satu-satunya yang menggeluti bisnis internet. Mungkin itu menjadi salah satu bahan pertimbangan. Karena saya adalah wanita yang cukup lama menekuni bisnis internet, maka akhirnya terpilih sebagai pemenang.
SLAMET SUPRIYADI

WAWANCARA"Saya Malas Kerja dengan Orang Bule" Sebagai orang nomor satu di bubu.com, Shinta selalu menjaga hubungan baik dengan karyawannya secara profesional. Namun ada beberapa tindakan yang tidak bisa dia tolerir. Selain itu, apa saja yang pernah dilakukan?
Warta Ekonomi: Apa keputusan terbaik yang pernah Anda ambil?
Shinta W. Dhanuwardoyo: Saya sering sedih melihat human resources kita dipandang rendah jika dibandingkan dengan orang asing. Untuk menghilangkan persepsi itu, saya mencoba sebuah kompetisi membuat web design dengan nama Bubu Award. Awalnya banyak orang yang mengatakan saya sok internasional karena juri yang saya gunakan berasal dari Amerika dan memiliki reputasi yang sangat bagus. Sebenarnya, persiapan untuk mengadakan acara ini sangat singkat, hanya satu bulan, tetapi ternyata mendapat sambutan yang sangat positif.
Apa keputusan terburuk yang pernah Anda buat?
Memang saya pernah melakukan itu, tetapi ini menyangkut orang lain. Jadi kasihan juga, lebih baik nggak usah saja. Namun, kalau dikatakan sebagai yang buruk sekali dan membuat saya sampai menyesali, sebenarnya tidak ada. Saya merasa itu menjadi satu pelajaran untuk mengambil keputusan selanjutnya.
Apakah pernah memecat karyawan?
Pernah. Ada dua karyawan saya yang pernah saya pecat menyangkut tindakan kriminal. Sebenarnya itu bisa dihindari kalau mereka mau memperhatikan peringatan saya. Tapi terus terang, itu akan saya lakukan kalau sudah keterlaluan sekali. Berulang kali diberi tahu tetapi tidak mengindahkan. Ya, terpaksa.
Bagaimana hubungan Anda dengan karyawan?
Saya selalu menjaga hubungan baik dengan karyawan dan selalu bersikap profesional. Untuk semua karyawan baru selalu saya beri tiga bulan percobaan. Kalau ternyata tidak sesuai, saya katakan Anda tidak lolos. Itu saja. Kadang- kadang itu pun susah saya lakukan, tetapi saya harus melakukan yang terbaik untuk yang lainnya juga.
Pernahkah punya pengalaman dimarahi atasan dalam bekerja?
Waktu saya masih bekerja sebagai konsultan, saya bekerja dengan orang-orang bule. Mereka selalu menyuruh-nyuruh saya, apalagi saya cewek dan orang Indonesia. Mereka sering meremehkan kemampuan kita. Bahkan saya sering disuruh mengetik, padahal posisi saya business development manager. Kalau salah spelling, saya sering dimarah-marahi. Maka saya malas bekerja dengan orang bule.
Kalau dilahirkan kembali ingin menjadi apa?
Saya ingin hanya berkecimpung dengan urusan seni yang setiap hari disibukkan dengan kegiatan seni karena sejak kecil itulah cita-cita saya. Waktu saya putuskan masuk arsitektur pun, itu sebagai jalan tengah antara ayah saya yang menginginkan jurusan bisnis dan saya yang lebih berfokus ke art.
Saya Ingin Menjadi Bill Gates Indonesia


Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang TI, rasa keingintahuannya yang berubah menjadi rasa cinta telah menuntunnya menjadi seorang pemimpin di dua perusahaan TI. Berikut penuturan panjang Iwan Suryaputra, direktur utama PT Dinamika Skala Agung dan direktur operasional PT Bukit Mahligai, kepada Warta Ekonomi.
Saya dilahirkan di kota Semarang. Masa-masa sekolah saya mulai tingkat SD sampai tingkat SMA juga saya lewatkan di kota itu. Setelah lulus SMA, saya beranikan diri untuk merantau ke Ibu Kota guna melanjutkan studi.
Di Jakarta, pada 1989, saya kuliah di dua tempat: Universitas Tarumanegara dan Universitas Bina Nusantara. Di Tarumanegara saya mengambil jurusan akuntansi, sedangkan di Bina Nusantara saya mengambil jurusan komputer. Kuliah di dua tempat ternyata cukup menyita waktu saya. Pagi saya kuliah di Tarumanegara, baru pada sore harinya saya kuliah di Bina Nusantara.
Setelah masa perkuliahan berjalan satu tahun, akhirnya saya mengambil keputusan untuk meninggalkan studi di Bina Nusantara, sedangkan kuliah saya di jurusan akuntansi di Tarumanegara tidak saya lepaskan. Alasannya dulu cukup sederhana, yaitu untuk mengetahui seluk-beluk bidang komputer, saya merasa cukup mengikuti kursus komputer saja. Jadi tidak perlu capai-capai kuliah dan waktunya pun lebih singkat.
Sambil kuliah saya juga bekerja. Pagi saya bekerja, sedangkan sore harinya saya kuliah. Hal ini saya lakukan semata-mata untuk membiayai kuliah saya dan keinginan untuk bisa hidup mandiri.
Tertarik pada Dunia Komputer
Sebenarnya waktu kecil saya tidak hobi mengutak-atik komputer. Mungkin karena waktu saya sekolah dulu belum ada kurikulum pelajaran komputer. Meski demikian, ketika duduk di bangku SMA, saya sudah mengikuti kursus-kursus komputer, antara lain kursus pemrograman dan Autocad.
Ketertarikan saya atas bidang komputer diawali ketika seorang teman SMA saya membeli komputer macintosh. Dari situ saya mencoba mengutak-atik dan terus mendalaminya. Di situ pula saya bisa merasakan suatu keasyikan sendiri dan menemukan suatu yang baru. Setelah era macintosh hilang dan kemudian digantikan oleh era PC, fenomena ini makin menarik minat saya. Pasalnya, dengan menggunakan PC, aplikasi yang bisa dibuat pun lebih banyak lagi jika dibandingkan dengan macintosh. Makin hari saya makin jatuh cinta pada bidang komputer dan makin tertarik untuk terus mempelajarinya. Namun semua itu saya dapatkan secara autodidak karena ketika itu informasi mengenai dunia teknologi informasi masih sangat minim.
Setelah lulus kuliah, tepatnya pada pertengahan tahun 1999, saya mendapatkan kesempatan untuk menekuni bidang TI lainnya yaitu mobile phone. Awalnya memang hanya sekadar iseng. Waktu itu saya tertarik karena ada handphone yang di kemudian hari fungsinya bisa lebih dari handphone. Saya mencoba mempelajarinya, mengamati dan mencari tahu fungsi apa saja yang bisa digunakan oleh handphone. Dari hasil pencarian itu, saya melihat peluang yang bisa disediakan handphone di kemudian hari.
Menangani Dua Bidang Sekaligus
Gagasan untuk mengembangkan mobile phone ini saya dapatkan ketika saya berkesempatan melakukan kerja sama dengan perusahaan Australia yang bernama Mobile Smart. Perusahaan ini bergerak di bidang retailer telepon genggam atau distributor HP di Australia. Dalam melakukan penjualan produknya, perusahaan Australia ini ingin juga memberikan nilai tambah (value added) bagi customer. Misalnya saja HP bisa di-customize.
Dengan mencontoh pola berbisnis yang dilakukan Mobile Smart, saya diajak teman saya untuk membuat hal yang sama dengan perusahaan tersebut di Indonesia. Singkat cerita, akhirnya saya dan teman saya berhasil meluncurkan produk yang diberi nama G-Smart. Saya pun memutuskan untuk berkonsentrasi di G- Smart.
Setelah beberapa lama, investor G-Smart menginginkan agar G- Smart berkembang, dan meluaskan bidangnya di teknologi internet. Kebetulan waktu itu saya mendapatkan kepercayaan untuk menangani bidang baru itu yaitu ISP dengan nama produknya adalah Rainbow.
Otomatis dengan adanya Rainbow, tahun 2000 saya menangani dua bidang sekaligus, yaitu G-Smart yang merupakan layanan di bidang mobile phone dan Rainbow, suatu layanan di bidang teknologi internet. Meski demikian, kedua produk ini berada di bawah satu atap perusahaan yaitu PT Skala Sukses Pertiwi yang merupakan holding company.
Posisi saya di G-Smart adalah sebagai direktur utama, sedangkan di Rainbow saya menjabat direktur operasional. Dari kedua perusahaan yang menghasilkan produk berbeda itu, sebenarnya saya merasa bahwa keduanya sama-sama menarik, memiliki potensi yang sama-sama besar karena kedua bidang tersebut sama-sama bergerak di bidang TI. Bagi saya, itu semua sama saja dengan tahu goreng dan tempe goreng, sama-sama enak.
Selama ini pola kepemimpinan yang saya terapkan di kedua perusahaan itu pada dasarnya sama saja. Hanya, di G-Smart sedikit berbeda karena di sana posisi saya sebagai direktur utama. Saya mengizinkan semua programer saya untuk berkreasi semaksimal mungkin. Saya tidak membuat batasan-batasan tertentu seperti batasan waktu kerja. Saya tahu bahwa gaya hidup para programer berbeda dengan orang kebanyakan. Mood mereka tidak bisa kita tentukan. Jadi di G-Smart saya agak fleksibel. Yang penting, yang saya tekankan adalah ketekunan dan kreativitas. Meski begitu, disiplin juga penting.
Sedikit berbeda dengan G-Smart, selaku seorang direktur operasional di Rainbow, saya harus melakukan koordinasi dengan rekan-rekan saya yang lain. Di sana saya hanya menyinkronkan saja irama perusahaan ini sesuai dengan yang ditentukan manajemen.
Sampai saat ini saya melihat bahwa gaya kepemimpinan untuk masing-masing orang berbeda, tidak bisa mencontoh siapa pun. Itu semua harus timbul dari diri sendiri. Karena itulah saya memiliki filosofi gaya kepemimpinan sendiri. Saya hanya menentukan suatu benchmark bagi bawahan atau tim saya, sedangkan bagaimana cara mencapainya saya cenderung untuk membebaskan sesuai dengan dengan kreativitas masing-masing.
Karena kami bergerak di bidang TI, maka segala sesuatunya tidak bisa dibuat sangat kaku sebab bidang TI bergerak terus, berkembang terus, melihat trennya ke mana dan kemudian disesuaikan dengan kultur kami sendiri, apakah di sini bisa kami adopsi atau tidak. Yang penting adalah kami punya visi dan pola sendiri. Dengan kata lain, saya termasuk tipe orang yang mengutamakan orientasi hasil dan kreativitas, bukan proses.
Setelah sekian lama berkecimpung di dunia TI, banyak suka duka yang saya rasakan. Sukanya adalah bidang TI itu dinamis, selalu ada yang baru, ada perkembangan baru. Bagi saya, ini merupakan suatu tantangan yang menyenangkan. Adapun dukanya adalah sulit sekali untuk mendongkrak keuntungan pada saat kondisi ekonomi di Indonesia masih belum cerah, padahal bisnis TI memerlukan biaya yang tinggi.
Duka lain yang saya rasakan adalah lingkungan di sekitar TI kurang kondusif terhadap perkembangan TI itu sendiri. Namun saya yakin, kalau faktor lingkungan ini makin membaik, maka tentu saja berbisnis di dunia TI akan lebih banyak sukanya daripada dukanya.
Saya juga tetap merasa optimistis dan belakangan ini saya merasa positif terhadap perkembangan bisnis TI. Oleh karena itu, saya mempunyai visi terhadap perusahaan ini agar perusahaan ini makin berkembang dan mapan. Batasan mapan dan berkembang ini adalah perusahaan ini dapat meningkatkan kemampuannya untuk melayani pelanggan, mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kemampuan internalnya sendiri sehingga sejajar dengan pemain-pemain besar di bidang yang sama. Selain itu juga bisa menghasilkan produk-produk yang tidak kalah menariknya dengan yang lain dan memiliki kompetensi. Jika ini bisa dilakukan, saya yakin kami dapat go international.
Jika berbicara mengenai moto hidup, moto hidup saya memang tidak mudah begitu saja diterapkan di bidang bisnis karena bisnis melibatkan banyak pihak. Moto hidup ini saya ambil dari filosofi orang Jawa yaitu mikul dhuwur mendem jero. Artinya kita harus bisa menahan diri, menempatkan diri kita sendiri dan sebisa mungkin kita menjadi media yang bisa menyerap semua komplain atau justru menyerap semua hal yang bagus. Jadi pandai- pandailah kita menempatkan diri.
Dahulu, sebelum sesibuk sekarang ini, saya masih sering melakukan olahraga bulu tangkis, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Hobi saya main game. Di rumah saya punya banyak game, pokoknya lengkap, mulai game yang lama sampai yang terbaru semuanya hampir saya miliki.
Selain hobi main game, menonton, saya juga hobi mengoleksi lukisan. Namun dari sekian banyak hobi saya, yang paling utama adalah membaca buku.
Hal yang sampai saat ini masih ingin saya capai adalah kehidupan yang lebih baik, baik materi maupun spiritual. Saya ingin agar kita tidak ketinggalan dengan negara-negara lain. Mau tidak mau kehidupan kita ini juga dipengaruhi oleh kondisi negara. Kalau kondisi negara kita baik, maka kehidupan kita pun akan ikut membaik.
Seandainya saya dilahirkan kembali, karena saya orang TI, maka saya ingin seperti Bill Gates. Namun untuk kondisi di Indonesia akan sulit menciptakan Bill Gates Indonesia. Kendala di Indonesia antara lain masih maraknya pembajakan. Penghargaan terhadap intelektual itu mempengaruhi. Jadi kita tidak bisa menciptakan suatu hal yang besar jika hak intelektual kita tidak dihargai, tidak dilindungi oleh hukum yang jelas. Walau demikian, saya akan bergerak terus dan mungkin tidak punya batasan akhir saya akan berhenti di mana. Saya terus berjalan dan berusaha.

Berambisi Menjadi Walt Disney-nya Indonesia
Ia tak bisa menggambar tetapi ngotot memasarkan produk animasi yang di Indonesia belum banyak dikenal. Melalui perusahaan yang ia dirikan, Red Rocket Animation, Poppy Palele ingin jadi kampiun dunia animasi di Tanah Air.Tidak pernah terbayang di benak seorang Poppy Palele kecil yang pemalu menjadi dirinya seperti sekarang. Bermodal nekat dan semangat tinggi, Poppy yang tidak pernah sekolah khusus animasi ini kini menjadi salah seorang di antara sedikit pelaku bisnis animasi terdepan di negeri ini. Melalui perusahaan yang ia dirikan sekaligus ia kelola, Red Rocket Animation, Poppy menjadi pebisnis yang sangat diperhitungkan di bisnis yang baru digeluti segelintir perusahaan ini. Siapa yang menyangka pula kalau Poppy sebenarnya justru tidak pernah bisa menggambar.
Riwayat entrepreneurship Poppy memang tergolong unik. Selepas SMA di Bandung, Poppy dikirim oleh orang tuanya ke Kanada pada 1984 untuk melanjutkan studi. Awalnya hanya protes yang ada di pikirannya. Namun ternyata didikan keras dan disiplin tinggi yang diberikan orang tuanya menjadi bekal utama bagi Poppy dalam melewati hidup. Mengaku menyukai bermacam- macam tipe manusia, menjadi alasan buat wanita yang lahir di Bandung ini memilih jurusan psikologi ketika studi di negeri orang. Setelah menggondol gelar bachelor, Poppy memutuskan kembali pulang ke Indonesia. "Kacang tidak pernah lupa pada kulitnya," ujarnya.
Sesampainya di Indonesia, Poppy sempat bingung, "Mau ngapain saya?" Kemudian ada beberapa temannya dari sebuah televisi swasta yang memberi informasi bahwa dunia animasi dinilai sangat menjanjikan, tetapi masih sedikit orang yang mau menggelutinya. Kalaupun ada yang menerjuninya, sebagian besar adalah perusahaan periklanan. Apalagi saat itu, sekitar tahun 1992, ada dua televisi swasta yang menjadi lahan bagus dunia animasi. Walau begitu, Poppy sempat ragu karena di Indonesia bisnis animasi belum menjadi sebuah industri seperti di negara-negara besar lainnya semacam Amerika, Kanada, bahkan juga Jepang.
Memboyong Kawan-kawan
Poppy pun lantas berpikir, mengapa bukan ia sendiri yang menjadikan animasi dikenal dan makin maju di Indonesia? Akhirnya Poppy kembali terbang ke Kanada menemui teman-temannya. Dari sanalah dia kemudian "memboyong" beberapa pentolan animasi asal Kanada, AS, Belanda dan Selandia Baru yang mempunyai jam terbang tinggi dan biasa terlibat di proyek internasional ke Indonesia.
Setelah semua persiapan selesai, Poppy dengan dibantu tim kecilnya yang berjumlah 13 orang mendirikan Red Rocket Animation yang bermarkas di Bandung. "Dari awal saya memang ingin memajukan dunia animasi di Indonesia lewat Red Rocket," ungkapnya yakin. Sebagai pekerjaan awal adalah membuat animasi berdurasi pendek untuk iklan televisi, logo stasiun televisi, TV bumper dan juga animasi sebagai pembuka program televisi (program opening). Beberapa karya yang melekat dalam benak pemirsa adalah iklan Cheetos, iklan RC Cola, maskot SCTV, program opening MTV land dan TV bumper untuk acara MTV. Karya yang masih fresh adalah program opening dan TV bumper Metro TV.
Setelah menyelesaikan animasi berdurasi pendek, Poppy sering mendapat tantangan dan "tekanan" dari orang-orang di sekelilingnya untuk membuat animasi berdurasi panjang. Namun Poppy cukup hati-hati jika ingin mencoba sesuatu yang baru. Apalagi untuk animasi semacam itu dibutuhkan tim yang lebih besar.
Namun ternyata Poppy harus menerima "nasibnya" untuk memproduksi program televisi berdurasi 30 menit. Hasil kerja kerasnya adalah serial dongeng Aku dan Kau yang disponsori oleh Nestle (produsen susu Dancow). "Luar biasa. Kami hanya biasa mengerjakan animasi dengan durasi 30 detik dalam waktu dua minggu, tetapi harus mengerjakan animasi durasi 30 menit untuk 13 episode dalam waktu satu tahun," ujarnya. Dengan kerja tim yang kompak, akhirnya terlewati juga satu tantangan. Sekarang Poppy sedang bersiap-siap menerima order baru lagi dari Nestle, melanjutkan 13 episode terdahulu.
Bagi Poppy, melakoni pekerjaan yang satu ini memang perlu idealisme tinggi. Itu sebabnya Poppy selalu menekankan kepada 60 anak buahnya untuk tidak cepat merasa puas. "Percuma kan kalau setahun atau dua tahun mereka 'dicekoki' segala sesuatu tentang animasi, kemudian karena mereka tidak tahan dan ingin gaji besar, mereka keluar," kata Poppy.
Menurut Poppy, dalam bisnis ini, model pemasaran yang agresif sangat dibutuhkan. "Animasi kan bukan barang nyata. Jadi kalau kami tidak rajin menanamkan product knowledge dan memasarkannya dengan sistem jemput bola, habislah kami," ujar wanita yang hobi bepergian ini.
Bekal iman yang kuat memang menjadi modal besar buat seorang tenaga pemasar seperti Poppy. Tidak jarang pada saat dirinya mengenalkan apa itu animasi ke sebuah perusahaan dan menawarkannya, kemudian ditanggapi berbeda. "Namun saya tetap cuek aja jualan. Saya sudah tahu dan siap dengan risiko seperti itu," kata wanita yang mengaku puas dengan segala yang dilakoninya saat masih lajang itu. "Saya selalu ada di peringkat lima besar saat SD dan SMP. Namun karena bandel dan suka bolos, di SMA saya sudah terlempar jauh dari lima besar," ujarnya tergelak.
Berbagi dengan Suami
"Buat saya hidup itu yang penting happy," kata Poppy. Oleh karena itu, Poppy merasa sangat kesal jika seusai menonton film kemudian dia merasa sumpek dan menyesal. "Mending saya baca dulu resensinya biar nggak nyesel. Dan biasanya saya lebih memilih film bertema drama karena mempunyai pesan kehidupan yang bisa ditangkap. Daripada nonton Arnold (Schwarzenegger) berantem," katanya. Namun untuk menambah wawasan dan apresiasi seninya, hampir setiap film yang diputar di festival selalu ditontonnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
"Dalam hidup, saya selalu menggunakan konsep dan menganut keterbukaan," kata wanita yang tidak suka memasak ini. Dalam menata kehidupan rumah tangganya, Poppy membagi semua urusan rumah berdua dengan sang suami. "Kalau masalah taman rumah dan kain gorden, sudah pasti saya yang ngurusin, tetapi kalau instalasi rumah jadi tugas suami saya," katanya. Namun tidak tertutup kemungkinan Poppy berbagi tugas saat Lebaran tiba dan pembantu harus mudik. "Saya mau melakukan apa saja kecuali menyetrika. Saya benci banget," ujarnya sengit.
Poppy merasakan benar didikan disiplin yang ketat dari orang tua yang saat ini justru tinggal di Kanada bersama tiga saudaranya yang lain. Setiap hari Poppy sudah muncul di kantornya sebelum pukul 09.00.
"Dengan begitu saya bisa mengantisipasi apa yang harus saya kerjakan hari ini. Tentu saja ini bisa menjadi contoh buat anak buah saya yang kebanyakan masih muda," kata penggemar segala jenis musik ini. Kalau sedang melakukan pekerjaan, Poppy suka mendengarkan musik pop. Namun kalau sedang ingin sendirian, ia membaca dan mendengarkan musik klasik. Maka untuk amannya, Poppy mematikan telepon dan tidak mau menerima tamu.
Mengaku pernah punya masalah dengan berat badan yaitu saat kuliah di Kanada, timbangan Poppy melonjak naik sampai 10 kg. Dia sempat melakukan diet secara membabi buta, tidak makan makanan yang mengandung karbohidrat, hanya menyantap sayur dan buah, tetapi tubuhnya masih tambun saja. "Bagaimana mau berhasil, wong setiap jam 12 tengah malam saya pasti bangun kelaparan. Dan saya sikat makanan lebih banyak dari porsi sebenarnya," katanya tergelak.
Karena serius ingin kembali ke berat idealnya, maka Poppy membeli buku panduan nutrisi. "Nggak enak kalau gendut. Rasanya gerak saya nggak bebas dan kerja juga tidak optimal," katanya. Namun sekarang Poppy tidak perlu berdiet lagi. Pasalnya, sejak membuka kantor cabang Red Rocket di Jakarta tiga bulan yang lalu, Poppy harus rela bolak-balik antara Jakarta dan Bandung naik kereta api--tiga hari di Jakarta dan tiga hari di Bandung.

Bermimpi Jadi Walt Disney-nya Indonesia
Jika ditanya tentang masa depan animasi di Indonesia, Poppy mengernyitkan dahi. "Masih jauh dari industri animasi yang seharusnya. Sulit sekali menjalankan dan mempertahankan animasi di Indonesia. Dalam industri animasi semua pelakunya harus work smart dan bukan work hard. Apalagi kalau terus memikirkan profit, wah, susah deh. Ditambah lagi televisi swasta lebih memilih mengimpor film dari Jepang daripada memproduksi sendiri," kata wanita yang tiap Idul Fitri selalu mengunjungi keluarganya di Kanada ini.
Sekarang Poppy memang sedang menikmati kerja kerasnya selama tujuh tahun terakhir, walau masih jauh dari apa yang menjadi impiannya, menjadi Walt Disney-nya panggung animasi Indonesia. Selain itu, hasil karyanya ditayangkan di stasiun televisi Asia Tenggara dan negara-negara daratan Eropa, serta dimuat di koran, majalah dan radio ternama.
Berbagai penghargaan pun berhasil diperolehnya, antara lain adalah penerima medali World Young Business Achievement 1999, sebagai nominator pada Festival Animasi Internasional di Los Angeles lewat tayangan teve komersial Rinso Bebas Banjir tahun 1997, juara Festival Animasi Asia lewat Keong Kecil dan Rumahnya, dan Nominator Festival Animasi Asia lewat Dongeng Kilip dan Putri Bulan tahun 1997, juga mewakili Asia Tenggara dalam Festival Animasi Asia di Jepang pada 1996.
Biarpun sekarang ini nama Poppy Palele sudah makin dikenal orang, Poppy enggan jika harus dianggap terkenal. "Saya lebih suka berada di belakang," ungkapnya. Mulanya Poppy sering diminta menjadi pembicara dalam seminar atau acara-acara bertema animasi, tetapi belakangan dia menolak. "Saya nggak suka bicara di seminar kemudian orang bertepuk tangan untuk saya," ujarnya.
Ada satu kebiasaan yang mungkin tidak pernah disadari oleh karyawannya, yaitu Poppy selalu "menghilang" pada hari ulang tahunnya. Karena terbiasa mempunyai jadwal yang padat, jadi nyaris tidak ada kecurigaan kalau Poppy tidak nongol, padahal semua karyawan di kantor sudah menyiapkan kue ulang tahun.
Namun tidak demikian halnya apabila Red Rocket yang merayakan ulang tahun. Kantor Red Rocket yang artistik pasti dihias ramai. Poppy bersama seluruh karyawannya selalu mengadakan piknik ke luar kota. Asyiknya lagi, perayaan tersebut berlangsung selama tujuh hari berturut-turut.
Itulah dunia seorang Poppy yang sedang mengejar impiannya, pelopor animasi di Indonesia.

Ingin Membentuk Entrepreneur TI yang Tangguh
Suhono Harso Supangkat Melihat jumlah komputer yang relatif sedikit, Suhono membuat set top box TV agar masyarakat Indonesia bisa mengakses internet. Dia juga membentuk inkubator bisnis untuk menggembleng alumni ITB menjadi entrepreneur. Berikut ini penuturan panjangnya.Sebagai anak kedua dari empat bersaudara, saya dilahirkan di Sleman, Jawa Tengah, tahun 1963. Ayah saya seorang guru SMA di Yogyakarta. Saya pun dibesarkan di Kota Gudeg. Sejak masih di SMA, saya sudah tertarik pada bidang eksakta, khususnya bidang teknologi. Saya yakin bidang ini dapat membantu masyarakat. Menurut saya, teknologi sangat efektif memecahkan persoalan yang selalu berkembang di masyarakat.
Sejalan dengan minat saya di bidang eksakta, saya juga sangat suka dan selalu ingin bereksperimen. Mungkin inilah yang mendorong saya ingin malanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Semula saya bimbang, apakah akan ke ITB atau Universitas Gadjah Mada (UGM). Ibu saya menganjurkan agar saya kuliah di Yogyakarta saja, menemaninya.
Namun saya kemudian berpikir, untuk bisa hidup mandiri harus jauh dari orang tua. Hal itu berarti saya lebih baik ke ITB. Saya pun memutuskan berangkat ke Bandung. Di sana memang saya mempunyai kakak yang bekerja sebagai dosen. Namun, tentu saja bukan karena dia saya diterima dan memilih ITB. Saya punya alasan sendiri.
Maka tepatnya pada 1981, saya masuk ITB dan memilih jurusan teknik elektro. Lulus dari ITB tahun 1986, saya bekerja di perusahaan konsultan telekomunikasi, tepatnya di PT Encona Engineering. Hanya setahun di sini, saya kemudian kembali ke almamater menjadi pengajar. Sejak SMA sebenarnya saya sudah punya keinginan untuk menjadi dosen.
Di ITB saya menemukan jalan sukses. Tahun 1990 saya mendapat tawaran beasiswa dari pemerintah Jepang untuk mengambil program S2 dan S3. Saya pun tidak menyia-nyiakan tawaran itu. Pada 1991 saya resmi menjadi mahasiswa University of Electro Communication, Jepang, sebuah universitas negeri khusus elektro komunikasi. Saya meraih gelar doktor dan kembali ke ITB pada 1997. Saya langsung diangkat sebagai sekretaris II di Jurusan Elektro.
Selama di Jepang saya merasakan banyak tantangan. Berbeda dengan di ITB yang iklim pengembangan keilmuannya masih biasa- biasa saja, di Negeri Matahari Terbit saya selalu dipacu untuk membuat usulan-usulan unggul, termasuk mengikuti lomba tulis multimedia di Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang. Ini pula yang mendorong saya membangun grup yang khusus mengembangkan multimedia bersama mahasiswa saya.
Mengembangkan Mucer Group
Selain itu, saya juga bersemangat untuk mengembangkan satu lembaga yang menghimpun para peneliti karena saya melihat tidak ada wadah untuk menampung para peneliti Indonesia di bidang elektro komunikasi. Saya melihat B.J. Habibie waktu menjadi pemimpin IPTN mampu membangun SDM yang bagus. Dia melakukan seminar-seminar terhadap hasil penelitian mahasiswanya yang dikirim ke luar negeri.
Ketika masih di Jepang, saya bertemu dengan Suryatin Setiawan yang kini menjadi kepala Divisi dan Riset Telkom. Saya tanyakan kepadanya, mengapa kita punya Telkom dan Indosat, tetapi penelitian di bidang elektro komunikasi hampir tidak ada sehingga hasil penelitian yang bisa dipakai juga tidak ada.
Padahal, semestinya Telkom dan Indosat berperan untuk membiayai atau mengorganisasi peneliti muda Indonesia. Saya tantang Suryatin untuk membangun satu wadah bidang elektro komunikasi, tetapi dia membangun sendiri teknoseminar. Maka pada 1994 saya memberanikan diri membuat masyarakat elektro komunikasi dan informasi. Wadah ini bertujuan menampung hasil- hasil penelitian dan sebagai forum komunikasi antarpeneliti.
Grup yang saya dirikan tahun 1998 tak lama setelah pulang dari Jepang diberi nama Multimedia Signal Processing Research Engineering. Tahun 2000 saya ubah menjadi Multimedia and Cyberspace Reengineering Group (Mucer). Lembaga ini saya jadikan inkubator bisnis bagi alumni ITB. Lembaga ini tetap di bawah naungan ITB. Keuntungan yang diperoleh dari proyek-proyek tetap dipakai untuk membiayai Mucer serta membayar uang sekolah mahasiswa yang mengambil program S2. Dengan dana itu, saya bisa membiayai empat mahasiswa bimbingan saya untuk mengambil program S2. Mereka ikut ambil bagian dalam setiap penelitian yang saya lakukan.
Ide pembentukan Mucer Group muncul disebabkan banyaknya riset yang dilakukan mahasiswa yang cuma jadi penghuni perpustakaan ketimbang dilanjutkan untuk dikembangkan. Padahal, hasil penelitian para mahasiswa punya prospek untuk dibisniskan. Para mahasiswa yang bergabung saya arahkan untuk menjadi entrepreneur di bidang TI. Mereka bisa belajar mengembangkan hasil riset menjadi bisnis yang menguntungkan. Saya ingin mahasiswa menjadi para pebisnis yang andal dalam TI. Gayung pun bersambut. Rupanya banyak yang tertarik dengan penelitian yang dikembangkan grup saya. Telkom dan Kementerian Riset dan Teknologi memberikan dana penelitian. Telkom ikut membiayai riset yang dilakukan Mucer untuk mengembangkan voice of internet protocol (VoiP).
Sementara itu, sepulang dari Jepang, semangat untuk mengembangkan TI menguat. Ini juga yang mendorong saya untuk mengembangkan set top box TV. Setahu saya, pada 1996 jumlah komputer di Indonesia baru 600.000, sedangkan jumlah TV ada 16 juta. Pada waktu itu, harga komputer tergolong mahal, sekitar Rp3-4 juta. Tentu sulit bagi yang ingin mengakses internet. Bagaimana masyarakat yang kurang maju bisa mengakses internet? Saya lantas berpikir, mengapa tidak memanfaatkan saja set top box yang harganya lebih murah daripada komputer. Teve harus bisa dimaksimalkan.
Sekarang ini jumlah komputer sudah mencapai sekitar dua juta, sedangkan TV dua puluhan juta. Jika jumlah penduduk Indonesia ada 200 juta, maka pada tiap seratus penduduk cuma ada satu komputer tetapi ada 10 TV. Artinya, penetrasi internet lewat set top box TV akan lebih cepat.
Awalnya saya membuat set top box TV dengan komponen-komponen sederhana yang harganya bisa terjangkau. Saya cari software yang murah. Berbagai penelitian saya yang lain juga dilirik oleh berbagai institusi. Misalnya, sewaktu melakukan riset tentang mekanisme pembayaran dalam e-commerce, penelitian saya dibiayai oleh Indosat. Pihak Telkom Jawa Tengah pun saat ini sedang membiayai riset yang sedang kami kerjakan, yang diharapkan selesai 2-3 bulan lagi, dengan biaya sekitar Rp700 juta.
Enam tahun tinggal di Jepang membuat saya bisa menghayati bagaimana harus survive dalam hidup. Dengan beasiswa sekitar 200.000 yen per bulan, saya harus hidup pas-pasan di rumah yang sempit. Anak pertama saya yang lahir di sana sempat lambat bicaranya karena kalau berteriak-teriak atau lari-lari di dalam rumah dimarahi oleh penghuni flat lainnya. Itu sebabnya, sewaktu mengikuti seminar di Amerika Serikat, saya merasa lega seperti lepas dari impitan. Saat ini saya dikaruniai Tuhan dua anak. Istri saya pernah bekerja di BII, tetapi keluar sewaktu saya ke Jepang.
Saat ini saya mengajar hanya di ITB. Selebihnya menjadi konsultan di Telkom, Indosat, dan Pertamina. Untuk menjaga kesehatan, setiap minggu saya bermain tenis, dan ini tidak bisa saya tinggalkan. Hobi lain adalah memelihara burung. Tak kurang dari 17 ekor burung dari berbagai jenis saya pelihara. Saya merasa nikmat apabila pagi hari mendengar kicauan burung. Tak jadi masalah kalau setiap bulan harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk memeliharanya.
Selaku dosen tentu ada keinginan untuk mencapai taraf guru besar. Namun saya tidak ingin ngotot. Sebetulnya kalau dipaksakan dalam waktu empat tahun lagi bisa menjadi guru besar. Cuma, saya tidak ingin memaksakan sebab nanti banyak orang yang marah. Sekarang ini saya masih memperbanyak melakukan penelitian. Keinginan untuk terjun dalam bisnis pun ada. Namun saya harus hati-hati untuk menghindari benturan kepentingan seperti yang diamanatkan peraturan di ITB.

Semua Saya Lakukan karena Punya Ambisi
Umur tidak menjadi masalah bagi Adi Saputra Kusma untuk mengejar ambisi. Melalui proses belajar dan berani menerima tantangan, Adi Saputra Kusma membidik bisnis yang cukup menggiurkan. Lebih jauh perjalanan hidup presiden direktur PT Biznet ini dituturkan berikut ini."Berani melakukan sesuatu. Mungkin prinsip itulah yang menjadikan saya bisa seperti saat ini, menjadi presiden direktur Biznet, perusahaan internet service provider (ISP) dan pengelola pusat data. Keberanian saya mengambil keputusan untuk sekolah ke luar negeri dan bekerja di sebuah perusahaan internasional di AS, dengan tantangan yang cukup besar dan gaji pas-pasan, serta mendirikan usaha dengan modal dan tingkat risiko yang besar, menjadikan dan mengantarkan saya pada kedudukan seperti sekarang, pada usia saya yang masih relatif muda, di bawah 30 tahun.
Keberanian itu sendiri bukan pembawaan saya sejak kecil. Sewaktu kecil saya bukan tipe anak nekat dan nakal, apalagi ditakuti di bangku sekolah. Sejak kecil, baik di bangku sekolah maupun di lingkungan rumah, saya termasuk anak yang biasa-biasa saja.
Seperti layaknya anak baru gede, bagi saya, masa SMA, termasuk masa-masa yang paling indah, masa yang juga menentukan masa depan saya. Ketika itu saya selalu berdiskusi dengan beberapa teman, ke mana akan melanjutkan studi setelah menyelesaikan studi di SMA. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, termasuk hasil kesepakatan dengan orang tua, saya memutuskan untuk melanjutkan studi jurusan teknik industri di Oregon State University, Corvallis, Oregon, USA. Pilihan ini sebenarnya lebih karena pertimbangan orang tua. Saya sendiri ingin melanjutkan studi di bidang ilmu komputer.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, orang tua mengharapkan saya bisa membantu dan meneruskan usaha mereka. Ayah saya adalah seorang wiraswasta yang mempunyai pabrik besi ikat di Jakarta dan atap gelombang di Padang. Secara alamiah, sejak kecil saya sudah akrab dengan kegiatan di pabrik dan yang berhubungan dengan itu. Saya termasuk anak yang betah dan senang memperhatikan proses kerja pabrik.
Tak mengherankan jika ketika kecil, saat saya asyik-asyiknya memperhatikan proses kerja di pabrik, melihat bagaimana orang tua saya bekerja, sempat juga terlintas di pikiran saya untuk menjadi wiraswasta seperti orang tua saya. Namun, entah ini sebagai kebiasaan jelek atau justru baik, hobi bermain game di komputer pada masa SMP dan SMA membawa saya ke arah yang berbeda dengan keinginan jadi wiraswasta itu.
Karena Game
Dimulai dari hobi bermain game itu pula, saya kemudian mulai iseng-iseng mengenali web dan mengutak-atik program. Dari sana saya makin ingin tahu tentang komputer dan menjadikan saya rajin membaca dan belajar tentang hal-hal yang berhubungan dengan internet.
Ketika studi di AS, saya bahkan mengikuti beberapa tes dan mendapatkan sertifikat berupa Microsoft Certified System Engineer (MCSE). Studi dan tes ini semuanya saya lakukan jarak jauh melalui internet. Saya belajar dari nol mengenai networking, web server, programming, operating system, dan database server, sampai akhirnya saya melewati delapan tes dari Microsoft dan mendapatkan sertifikat.
Saya ikuti itu secara otodidak. Saya beli buku dan saya pelajari sendiri. Kalaupun bukunya mahal dan saya merasa tak mampu untuk membeli, padahal saya amat membutuhkan, saya pergi ke toko buku. Sambil minum kopi, saya baca buku itu dengan membuat beberapa catatan yang saya anggap penting hingga saya merasa mendapatkan ilmu dari membaca buku itu.
Ketertarikan saya ini dipengaruhi pula oleh boom internet di AS ketika saya baru menginjakkan kaki di negeri Paman Sam tahun 1994. Ketertarikan itu terus bertambah. Itu sebabnya selepas dari studi, pada 1998 saya bekerja di sebuah software house internasional di New Jersey. Keahlian yang dibutuhkan oleh pekerjaan ini memang sedikit berbeda dengan ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah. Namun, walau agak berbeda, di tempat kerja ini saya bisa bekerja baik. Banyak ilmu yang saya dapatkan, walau gajinya tidak terlalu tinggi, bahkan bisa dikatakan tidak cukup.
Terus Mencari Ilmu
Walau latar belakang pendidikan teknik industri saya tidak sepenuhnya bisa saya terapkan di tempat kerja itu, dalam beberapa hal ada juga gunanya. Salah satu pekerjaan saya, misalnya, merancang otomatisasi data. Sebagai software house, perusahaan ini menjual berbagai software kepada beberapa perusahaan. Namun, pendataan inventarisnya yang mencapai sekitar 2.000 item masih bersifat manual. Persisnya begini. Data yang tercatat secara manual dimasukkan ke program Excel. Data ini kemudian dikirimkan kepada manajer untuk dikoreksi dan disetujui. Data yang sudah disetujui itu kemudian dimasukkan lagi secara manual. Proses ini memakan waktu hingga beberapa hari. Hal seperti ini rutin dilakukan setiap tiga bulan. Proses semacam inilah yang akan kami rancang otomatisasi datanya.
Dengan kemampuan yang saya miliki, saya bersama beberapa orang melakukan otomatisasi sistem sehingga semuanya bisa diakses secara real-time. Pekerjaan yang biasanya menghabiskan waktu hingga tiga hari, dengan proses ini bisa dilakukan hanya dalam tiga jam. Proses pengambilan keputusan pun berjalan lebih cepat. Efisiensi meningkat dan nilai tambah otomatisasi ini benar-benar terasa.
Dari pekerjaan ini, saya yang semula tidak mengetahui konsep ERP (enterprise resources planning) menjadi paham. Semua ini tidak bisa lepas dari peran atasan saya, network manager, Mr John Kuhles. Dengan otomatisasi data ini pula, semua karyawan di perusahaan itu yang berjumlah 300 karyawan di seluruh AS bisa tersambung ke kantor pusat melalui internet. Dengan penerapan ini, semua bagian yang ada, baik bagian penjualan, pemasaran maupun pengadaan hingga bagian lain, bisa terkait dan berjalan seirama.
Banyak lagi ilmu yang saya dapatkan. Kalau hanya sekadar programming mungkin mudah saja. Namun bagaimana mengaplikasikan proses bisnis, kemudian membuat koneksi dari website ke database dan sebagainya, saya anggap merupakan ilmu yang tak terhitung nilainya sekaligus pekerjaan yang menantang.
Membaca Peluang
Setelah melalui proses pembelajaran, baik di bangku kuliah maupun di tempat kerja yang saya tekuni selama beberapa tahun, pada awal 2000 saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Ketika tiba di Tanah Air, saya mulai mengenali peta bisnis internet, khususnya ISP. Saya melihat bahwa saat itu ISP paling besar baru mempunyai anggota sekitar 40-50 ribu. Sementara itu, America On Line (AOL) di AS mempunyai anggota hingga 40 juta. Saya kemudian berpikir, ini peluang yang cukup bagus untuk dikembangkan di Indonesia.
Dari sana saya kemudian bertemu dengan beberapa pihak, termasuk di dalamnya manajemen Mid Plaza. Ide pertama saya ketika bertemu dengan mereka adalah bagaimana caranya menaikkan value gedung Mid Plaza. Salah satu caranya adalah menyediakan fasilitas teknologi informasi (TI) yang lengkap. Dalam pandangan saya, penyewanya kebanyakan perusahaan asing yang sangat membutuhkan TI. Studi yang saya lakukan, kemudian makin memantapkan saya mewujudkan ide membuat ISP untuk broadband ready building di Indonesia.
Ide saya ini didukung oleh fenomena di Jepang. Ketika saya dan beberapa pihak yang berkepentingan dengan pembentukan perusahaan ini melakukan studi ke beberapa negara, termasuk ke Jepang, kami melihat bahwa gedung-gedung yang full house adalah gedung yang fasilitas TI-nya lengkap. Saya juga mendapatkan banyak ide setelah membaca banyak artikel, khususnya dari Jepang Inc, sebuah majalah new economy Jepang yang banyak mengupas fenomena teknologi informasi, yang banyak terkait dengan ide-ide saya.
Saya bersyukur ketika ide-ide saya disambut oleh berbagai lapisan yang kemudian menjadi grup kami. Salah satunya PT Perkom Indah Murni, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang hardware yang sudah berusia 15 tahun. Saya juga bangga ketika ide-ide dan penerapan ide ini semuanya dilakukan oleh grup, bukan mengundang konsultan. "Keuntungan" lainnya adalah Mid Plaza, selaku mitra kami, sudah didukung oleh sarana yang memadai, yakni sudah memiliki dua serat optik--satu dari Telkom dan satu lagi dari Indosat--di samping sarana listrik dan yang lainnya.
Untuk menerjuni bisnis yang penuh risiko ini, salah satu modalnya adalah keberanian, termasuk keberanian menentukan segmen pasar. Kami sendiri membidik kelas yang relatif mapan. Pasar yang kami tembak adalah korporat. Maka kami menamainya Biznet, berasal dari kata biz yang artinya business. Keberanian saya membidik pasar ini berdasarkan pandangan bahwa itu adalah ladang bisnis yang cukup potensial. Artinya, dalam benak saya, semua perusahaan (besar) berani membayar dengan nilai yang tinggi dan sesuai dengan waktu, asal layanannya bagus. Untuk itu kami mencoba bermain di kelas atas.
Namun di sisi lain, mengambil pasar korporat--yang terkait di dalamnya perusahaan asing--sangat riskan jika dikaitkan dengan kondisi dan iklim politik Indonesia yang masih labil. Namun, hal itu tidak menyurutkan niat untuk mengembangkan bisnis yang satu ini. Saya berpikir bahwa ini adalah peluang yang bagus. Kalau saya tidak berani, kesempatan ini akan hilang begitu saja.
Hal ini memang terbukti. Setelah diluncurkan pada Oktober 2000, bukan hanya Mid Plaza I dan II, Kempinsky dan beberapa gedung lainnya pun bekerja sama dengan Biznet--antara lain Menara Cakrawala (Skyline Buiding), Gedung Djakarta Theatre dan Wisma Kyoei Prince. Pasar asing dan kelas atas lainnya yang kami bidik adalah beberapa gedung yang ada di Pulau Bali.
Merasa ada peluang lain di samping ISP, saya coba mengembangkan juga bisnis data center seperti halnya ketika saya ada di AS. Lagi-lagi kelas yang saya bidik kelas korporat. Saya melihat nilai sebuah data begitu tinggi. Berdasarkan pengamatan saya selama bekerja di AS, hampir semua perusahaan yang terkoneksi dengan internet membutuhkan keamanan data. Ini makin terbukti lagi ketika terjadi pengeboman di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Banyak data yang berharga lenyap karena bom. Saya berpikir, ini adalah kesempatan untuk menawarkan jasa penyimpanan server.
Usia bukan Kendala
Semua pekerjaan yang saya lakukan ini saya coba nikmati. Saya melakukannya semaksimal mungkin. Perjalanan hidup ini saya lakukan dengan satu ambisi: ingin sukses. Namun bukan berarti saya petentengan. Walau saya seorang presiden direktur, saya tetap berperan sebagaimana apa adanya. Saya dengan semua staf di sini mencoba diperlakukan sejajar. Artinya, saya tidak merasa sebagai bos yang selalu minta dihormati. Bahkan saya bekerja sampai pagi bersama mereka. Tanpa semua pihak yang ada di sini, baik grup maupun karyawan, saya tidak akan bisa begini.
Suatu hal yang menjadikan saya ingin terus berkembang adalah saya mencoba terus mencari ilmu. Saya hadiri berbagai ekspo, seminar atau semacamnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang ujung-ujungnya memberi nilai tambah bagi saya. Termasuk di dalamnya membangun network. Dengan jaringan dan keilmuan serta pengalaman yang saya miliki ini, orang tidak memandang saya karena usia yang masih relatif muda, di bawah 30 tahun.
Bukan berarti pula bahwa masa muda tidak saya manfaatkan. Dari sisi religius, hampir tiap minggu saya ke gereja sebab hal itu memberikan nilai plus bagi kehidupan saya. Adapun waktu kosong saya sempatkan untuk berkumpul dengan keluarga, di samping dengan sang kekasih, calon pendamping hidup.

"Saya pernah Membuat Jembatan Sepanjang Tiga Ratus Meter"
EDDIE RASYID DARAJATKeinginan Eddie R. Darajat menjadi insinyur bangunan sudah kesampaian. Namun, pilihan kariernya tidak sejalan dengan cita- cita masa kecilnya. Eddie lebih banyak menggeluti bidang teknologi informasi (TI) yang menghantarkannya menduduki pucuk pimpinan Indoexchange.com. Berikut penuturannya.
Semenjak kecil saya sudah menjadi seorang nomaden. Bagaimana tidak? Kota Jakarta, tempat saya lahir pada 3 Desember 1963, hanya saya huni selama dua tahun. Selanjutnya kami sekeluarga berpindah ke Malang hingga tahun 1970. Dari Malang saya kembali hijrah ke Denpasar sekitar dua tahun. Di Denpasar, saya sempat bersekolah hingga kelas 1 SD. Pengembaraan kami berakhir di kota "Arek-arek Suroboyo", Surabaya.
Seperti halnya anak kecil lainnya, saya juga memiliki cita- cita. Ketika itu, kalau ditanya nanti kalau sudah besar ingin jadi apa, jawaban saya sangat tegas: insinyur bangunan! Kata "insinyur" waktu itu sangat membanggakan saya karena saya menganggap begitu hebatnya orang bisa membangun gedung-gedung yang tinggi. Dorongan itulah yang nantinya menjadi dasar saya mengambil jurusan teknik sipil Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ketika duduk di bangku sekolah, mulanya saya seorang kutu buku yang lebih banyak belajar. Namun, ayah sering mengingatkan bahwa untuk bisa sukses, seseorang mesti bisa bergaul dan berorganisasi. Sejak itulah saya mulai terlibat aktif di kegiatan sekolah, terutama di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), sampai saya dipercaya untuk menjabat ketua I. Saya rasakan banyak sukanya dibandingkan dukanya. Contohnya saja, saya sewaktu-waktu bisa meninggalkan kelas jika ada undangan rapat atau kegiatan lainnya. Pelajaran saya nyaris terganggu jika ada kegiatan-kegiatan besar di sekolah, tetapi saya mencoba sebisa mungkin untuk bisa mengatur jadwal.
Memasuki ITB
Ketika menginjak masa akhir di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), mulailah saya berpikir untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Obsesi saya adalah ITB meskipun di Surabaya juga ada perguruan tinggi seperti ITS (Institut Teknologi Surabaya). Namun, pilihan saya didasari kondisi pada masa itu di mana perguruan tinggi ini terkenal vokal dalam menyuarakan aspirasi-aspirasinya. Saya ingat pada tahun 1978, ketika itu terjadi demonstrasi mahasiswa, di mana tokohnya, antara lain, Rizal Ramli, Heri Akhmadi, dan Al Hilal Hamdi, dengan tuntutan yang sangat radikal. Kondisi semacam ini saya pikir sangat kondusif untuk menumbuhkan kreativitas, keberanian mengemukakan pendapat. Alasan lainnya adalah karena saya lihat, dari sisi teknologi, ITB tergolong bagus.
Namun, apa yang saya bayangkan ternyata tidak seperti yang saya rasakan. Ketika saya masuk pada tahun 1982, keadaan sudah berubah. Dewan Mahasiswa (Dema) dibubarkan dan kegiatan kemahasiswaan dibatasi dengan diberlakukannya NKK/BKK.
Di ITB saya mengambil jurusan teknik sipil karena termasuk salah satu jurusan favorit dan dari sinilah saya bisa mewujudkan cita-cita saya menjadi insinyur bangunan. Pada waktu itu perkembangan di bidang konstruksi cukup pesat, sehingga lulusannya sangat dibutuhkan. Saya mengambil subjurusan Struktur yang terkenal berat karena banyak hitungan dan analisisnya. Meskipun sulit, saya merasa beruntung karena saya mulai mengenal bahasa komputer. Komputer yang ada pertama kali waktu itu sumbangan dari Pertamina, mereknya Honeywell Bull dan masih menggunakan kartu. Kalau mau membuat program, jumlah barisnya mencapai ratusan. Jika kita punya seratus baris maka harus ada seratus kartu. Dan kalau salah satu kartu hilang maka program tidak jalan. Memang cukup susah, tetapi itulah teknologi yang ada pada saat itu.
Mulai Berkarier
Setelah lulus dari ITB tahun 1997, atas saran dari seorang dosen, saya bekerja di PT Wijaya Karya (Wika), sebuah perusahaan kontraktor. Waktu itu Wika sedang mengerjakan jalan layang kereta api dari Manggarai ke Kota. Kebetulan saya mendapat segmen di wilayah Gambir dan sekitarnya. Dan yang menarik, ketika saya mengerjakan segmen di sebelah Mesjid Istiqlal, saya mesti membuat jembatan temporary track yang panjangnya 300 meter mengikuti sungai. Jembatan ini terpaksa dibuat karena tidak ada lokasi lain selain di atas sungai itu. Dan menariknya lagi, jembatan yang begitu susah payah dibuat dengan menggunakan konstruksi baja yang luar biasa banyaknya itu harus dibongkar lagi ketika proyeknya sudah selesai.
Selama dua tahun di Wika, saya merasakan beban kerja yang begitu berat baik secara fisik maupun mental. Apalagi saya harus hati-hati menghadapi preman-preman yang sering nodong waktu sedang memeriksa proyek. Namun, saya selalu tenang menghadapinya sehingga tidak pernah menemukan masalah, bahkan saya jadi kenal dengan mereka semua.
Kejadian seperti itu yang membuat ibu saya khawatir, apalagi saya belum menikah. Sampai akhirnya saya berpikir untuk mendapatkan karier yang benar-benar bisa saya kembangkan, meskipun saya harus belajar hal yang baru akan saya jalani. Sebetulnya agak sayang juga untuk meninggalkan profesi yang menjadi cita-cita masa kecil saya, apalagi pada waktu wisuda saya mendapatkan IP (indeks prestasi) tertinggi. Namun, pilihan mesti saya jatuhkan.
Kebetulan waktu itu Andersen Consulting membutuhkan tenaga konsultan manajemen. Saya mencoba melamar karena tertarik dengan pengetahuan yang ditawarkan tentang program-program komputer seperti Cobalt. Alhamdulillah, saya diterima. Selanjutnya saya mengerjakan beberapa proyek manajemen, antara lain software development, yang tahapnya kurang lebih sama dengan konstruksi bangunan seperti planning, design, dan construction.
Pertama kali saya ditugaskan di PT Arun, Aceh, untuk membuat perangkat lunak (software) human resources selama satu tahun. Kemudian saya ditugaskan di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) dan PT Matahari sebagai project manager untuk pengembangan sistem, antara lain point of sell.
Mendirikan Indoexchange
Bekerja pada sebuah perusahaan yang sudah established memang terasa enak karena kelangsungan hidup kita bisa terjamin. Namun, tantangan untuk berkembang tidak saya dapatkan di Andersen Consulting ini, sehingga timbul pemikiran untuk mencari pengalaman baru. Kebetulan salah seorang kolega di Andersen ketika menangani proyek di IPTN, Scott Coffey, mengajak saya untuk mendirikan perusahaan. Perusahaan itu kami namakan Indoexchange. Rumah Scott dipakai sebagai tempat kerja, karena hanya ada beberapa orang karyawan saja.
Di sinilah saya merasakan perbedaan bekerja pada sebuah perusahaan yang sudah mapan dengan perusahaan yang baru berdiri. Di Andersen Consulting, misalnya, saya tidak pernah berpikir perusahaan itu akan tutup, atau kalaupun tutup, tidak secepat itu prosesnya. Sebaliknya, di perusahaan yang baru saya dirikan, saya harus berjuang agar tetap survive, terus berkelanjutan, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Saya masih punya tanggung jawab pada karyawan saya. Dengan keputusan ini, sebenarnya saya mempertaruhkan masa depan saya karena suatu waktu perusahaan bisa gulung tikar. Namun, dengan perjuangan yang keras, lambat laun Indoexchange mulai berkembang. Dari karyawan yang mulanya hanya 20 orang, sekarang meningkat menjadi 120 orang.
Meskipun perusahaan dotcom sedang jatuh, saya justru merasakan sebaliknya. Pasalnya, pada saat ini, Indoexchange telah mendapatkan kepercayaan dari investor asing, dengan masuknya TFG Venture Capital, perusahaan tiga terbaik dari Jerman yang menanamkan modalnya di Indoexchange.
Visi dan Misi
Saya memiliki visi agar Indoexchange dapat berkiprah lebih banyak lagi di segmen komersial, di mana sebelumnya kami mulai dengan content dan community. Langkah selanjutnya, saya ingin mewujudkan transaksi finansial karena tantangannya tidak ringan. Namun, saya percaya karena demand-nya cukup kuat. Pasalnya, transaksi finansial merupakan sesuatu yang nature karena hanya masalah data. Berbeda dengan online shopping yang masih ada pengiriman. Adapun misi saya, saya harus bisa mewujudkan agar perusahaan ini bisa meraih profit sebagai pertanggungjawaban kepada para pemegang saham. Kalau tidak ada halangan, saya rasa tahun depan kami sudah bisa mendapat profit.
Keluarga dan Hobi
Saya beruntung dibesarkan dalam keluarga dengan didikan disiplin yang tinggi. Ayah saya berkarier di PT Kimia Farma dan mencapai posisi di jajaran direksi. Sementara itu, dari ibu, mengalir darah wirausaha. Saya merasakan didikan yang diberikan membuahkan manfaat yang begitu besar sehingga saya, kakak, dan kedua adik saya berhasil dalam menjalani hidup. Saya dikaruniai seorang putra--Farhan--berumur delapan tahun, duduk di kelas 2 SD.
Ada sebuah petuah yang selalu saya ingat, yang diberikan oleh ibu saya. Beliau selalu mengajarkan agar kita senantiasa memberikan yang terbaik tanpa pernah memikirkan apa yang akan kita peroleh. Inilah yang juga menjadi moto hidup saya.
Jika ada waktu luang, saya coba mengisinya dengan bermain dengan anak saya untuk memberikan perhatian yang lebih karena selama seminggu waktu saya tersita untuk pekerjaan. Mendengarkan musik juga merupakan hobi saya, terutama lagu- lagu klasik seperti karya Mozart, Beethoven, dan Vivaldi. Sebab, kata orang, musik klasik bagus untuk otak.
Ada satu kegiatan yang menjadi rutinitas saya setiap minggu yang juga merupakan salah satu hobi saya, yaitu mengadakan pengajian. Saya mendirikan kelompok pengajian di lingkungan tempat tinggal saya, karena saya pikir perlu ada keseimbangan antara dunia dan akhirat. Bersama kelompok pengajian ini, saya sedang membangun sebuah mesjid di lingkungan tempat tinggal saya.
Namun, ada satu hal yang masih menjadi keinginan saya, yaitu melanjutkan pendidikan S2. Teman-teman sudah banyak yang menyarankan, tetapi saya selalu terbentur pada masalah waktu. Soalnya, untuk melanjutkan pendidikan secara formal, saya harus menyediakan waktu secara khusus. Selama ini saya sudah dapatkan secara informal melalui pekerjaan, pengalaman, dan buku-buku, karena dari sana juga saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Dan prinsip saya, pendidikan bisa diperoleh sepanjang hayat.###

Laris dengan Strategi Untung Tipis
Dengan strategi untung tipis asalkan perputaran uang cepat, blazer berlabel Fizz kini memiliki pelanggan tetap di banyak kota. Rata-rata setiap kota memesan sampai senilai Rp20 juta per bulan.Harga murah tetapi kualitas baik. Itulah modal utama Faisal Bustami dalam mengembangkan bisnis garmennya bermerek dagang Fizz. Saking percayanya pada kualitas blazer Fizz, para agen busana dari kota besar lain sampai tak merasa perlu lagi datang ke tempatnya untuk memeriksa kualitas blazer yang akan mereka beli. Setiap kali mereka kehabisan barang, mereka tinggal angkat telepon dan memesan model yang mereka inginkan. Bahkan tanpa merasa takut ditipu, para pelanggan blazer buatan Faisal langsung membayar lunas pesanan mereka dengan mentransfer ke rekening Faisal.
Pesanan itu sendiri baru dikerjakan kalau dananya sudah diterima. "Pelanggan dari daerah, awalnya melihat dulu produk kami. Kini begitu stok mereka habis, mereka langsung mengorder," ujar Faisal. Manado, Bandung, Medan, Lampung, Palembang, Surabaya, Bali, bahkan Banda Aceh adalah pasar yang kini sudah ia rangkul. Tak cuma itu, Bank Pembangunan Daerah Samarinda pun memesan seragam kantor dari Faisal.
Prinsip yang diterapkan Faisal dalam menjual barang dagangannya dengan harga murah adalah mempercepat perputaran uang. Untung tipis tidak jadi masalah. "Produk saya memang produk massal, tapi kualitasnya tak kalah dengan butik," ujarnya seakan berpromosi.
Mengambil margin kecil rupanya menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Faisal. Ketika pada 1990 dia menjual celana pendek, usahanya gagal total dan gulung tikar. Itu terjadi karena harga produknya kalah murah dari produk lain. Waktu itu pesaingnya, yang kebanyakan dari kalangan Betawi, bisa menjual celana pendek lebih murah karena biaya pembuatannya rendah. "Rupanya, produk mereka itu dikerjakan oleh sanak famili yang upahnya bisa dibayar lebih murah," kenang Faisal. Kala itu dia menjual produknya di Pasar Cipulir, Jakarta Selatan. Hal lain yang membuat dia kalah bersaing adalah karena para pesaingnya juga berani menjual pada harga modal.
Karena sudah merasa kalah bersaing di bisnis celana pendek, Faisal memutuskan untuk beralih ke bisnis daster pada 1992. Rupanya, di sektor ini pun Faisal tak bisa lagi menembus pasar dan merugi karena produsen daster di Jakarta sudah lumayan banyak.
Dari Blazer ke Celana
Kedua kegagalan usahanya itu tak membuat Faisal putus asa. Ia kemudian melakukan riset di pasar, seperti Mangga Dua, Tanah Abang, dan Cipulir. Dari riset itu ia menyimpulkan, blazer dengan potongan panjang atau model muslim masih langka. Ditambah lagi, banyak wanita pekerja yang butuh beli blazer. Hampir tiap bulan ada permintaan baru akan blazer. "Akhirnya, pada 1993, saya beralih ke blazer," tutur Faisal.
Sadar kalau tak punya pengalaman di bidang blazer, Faisal pun mencari acuan dari merek ternama. "Dulu saya beli beberapa blazer bermerek dan meminta tukang pola untuk mempelajarinya," ungkap lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya ini. Sekalipun punya "contekan", blazer yang ia hasilkan toh tak langsung bagus. "Saya butuh waktu beberapa tahun untuk menjadi seperti sekarang," akunya.
Sementara itu, untuk urusan model, ia mengaku mendapat ide lewat berbagai cara. Selain dari majalah wanita dan melihat di teve, Faisal juga terkadang mencari inspirasi dari mode yang sedang menjadi tren di Singapura. Agar lebih afdol, jatah pekerjaan pun dibagi rata. "Urusan desain ditangani istri yang lulusan arsitektur UI, sedangkan saya lebih ke pemasaran," ungkapnya. Untuk bahannya, Faisal mendatangkan dari pasar lokal Bandung dan Jakarta. Dalam sebulan, ia mengeluarkan Rp60 juta, terkadang bahkan mencapai Rp100 juta.
Pertumbuhan Fizz memang terbilang pesat. Dari hanya 10 karyawan pada awalnya, kini sudah mencapai 60 karyawan. Dalam hal investasi pun terjadi perkembangan pesat. Pada awalnya Faisal hanya memiliki 10 mesin jahit, satu mesin gosok uap, satu mesin potong, dan satu mesin obras. Kini, Faisal sudah memiliki 26 mesin jahit, dua mesin obras, dua mesin potong, satu mesin pembuat lubang kancing, dan empat mesin gosok uap. Selain itu, ia juga memiliki mobil Daihatsu Zebra dan Taruna yang dijadikan sarana distribusi.
Dalam urusan produksi, seorang penjahit bisa menghasilkan tiga potong blazer per hari. Blazer itu dibuat berdasarkan standar ukuran internasional yang dipesan pelanggan. Kalau di sana ada 44 penjahit, berarti dalam sehari dihasilkan 132 potong blazer dengan harga satuan Rp150.000.
Setelah merasa mantap di pasar blazer, Faisal pun mulai melakukan diversifikasi produk. Faisal kini sudah masuk ke produk celana panjang wanita pekerja dengan merek dagang yang sama. Kalau blazer diproduksi sendiri, celana merek Fizz ini ia subkontrakkan kepada perusahaan garmen lain. "Saya menjual celana karena dipakai sehari-hari oleh wanita pekerja. Biasanya wanita itu dalam seminggu butuh empat celana kerja," ujarnya. Sekalipun permintaannya lumayan besar, tetapi berhubung harga jualnya hanya Rp35.000-Rp40.000 per potong maka ia merasa belum saatnya menangani sendiri. Apalagi, untuk produksi celana, ia harus mencari penjahit baru. "Penjahit celana biasanya orang Pekalongan, sementara yang penjahit blazer itu biasanya (orang) Cilacap," jelasnya.
Sekalipun bisnisnya boleh dibilang sudah berkibar, Faisal merasa hal itu belum cukup. Karenanya, ia pun melakukan beberapa terobosan. Berhubung promosi di teve biayanya sangat mahal, maka ia pun lantas menggandeng stasiun teve untuk kerja sama. "Saat ini ada kerja sama dengan SCTV senilai Rp75 juta per tahun. Nilai itu berwujud 720 potong blazer," ungkap pria asal Padang ini. Tidak cuma itu, ia juga menjalin kerja sama dengan RCTI, dengan nilai yang sama. "Ini saya lakukan untuk mengembangkan pasar. Kalau puas dengan keadaan sekarang, saya bisa kalah dengan pesaing," ucapnya. Nantinya tak cuma teve, majalah pun akan ia gandeng. "Saya sedang menjajaki kerja sama dengan Femina untuk sponsor rubrik mode mereka," kata Faisal.
Masih untuk urusan pengembangan pasar, Faisal saat ini sedang mempersiapkan ruko di ITC Cempaka Mas seluas 12 meter persegi. Tempat ini akan ia jadikan sebagai pusat penjualan blazer. Sebelumnya Faisal hanya memasarkan blazer di Pasar Cipulir dan di rumahnya, itu pun penjualannya per kodi. "Kalau selama ini dijual per kodi, di tempat baru nanti pelanggan bisa membeli satuan," ujar Faisal.
Sekalipun akan masuk ke ITC, tetapi kalau untuk merambah ke mal, Faisal masih belum yakin. Menurut dia, berjualan di mal, turnover-nya lambat, ditambah lagi dengan pajak yang cukup besar yang mesti ditanggungnya. "Kalaupun masuk ke mal, itu untuk mencari nama. Saat ini lewat teve saja sudah saya anggap cukup." ###
Saya Ingin Kopitime Menjadi Yahoo! Indonesia
Indrajaya Putra JanuarSejak SMP hingga SMA, Indrajaya Putra Januar selalu terpilih menjadi ketua OSIS dan sempat ikut terpilih sebagai peserta pertukaran pelajar melalui program AFS. Di tengah perjalanan studinya di ITB, Indrajaya ditransfer ke Western New England University dan ke University of Colorado kerena mendapatkan beasiswa. Setelah kembali ke Indonesia, dia sempat menduduki posisi penting di berbagi perusahaan dan akhirnya terdampar di Kopitime.com sebagai presiden direktur. Berikut ini penuturan panjangnya.
Saya lahir di Jakarta pada 28 Juli 1963 sebagai anak tertua dari lima bersaudara. Namun, karena pekerjaan orang tua pindah, sejak kecil saya dibesarkan di Bukittinggi, Sumatra Barat, dan menyelesaikan SD, SMP sampai SMA di sana. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat disiplin. Bapak saya bekerja sebagai project director untuk pembangunan PLTA di Sumatra Barat. Orangnya sangat disiplin. Di samping itu didukung oleh ibu saya yang sebagai ibu rumah tangga memang mendidik dan mengawasi saya dengan sangat disiplin pula.
Semenjak SMP hingga SMA, saya selalu dipercaya sebagai ketua OSIS. Di kelas tiga SMA, saya terpilih mengikuti program pertukaran pelajar melalui program AFS (American Field Service). Kemudian saya diterima masuk ITB Bandung. Setelah dua tahun di ITB, saya ditransfer ke Amerika Serikat di Western New England University di Massachusetts. Pada 1987 saya mendapat gelar bachelor.
Kemudian saya mendapatkan beasiswa lagi dari University of Colorado di Boulder sehingga tahun 1988 saya mendapat gelar master. Kemudian saya dapat beasiswa pula sebagai research assistant untuk melanjutkan ke program doktor. Saya mendapatkan Ph.D tahun 1992 dari University of Colorado, Amerika Serikat.
Kembali ke Indonesia, saya diajak mengajar di UI pada program pascasarjana otoelektronika dan aplikasi laser yang berhubungan dengan fiber optic telecommunication. Di samping itu, saya mendirikan perusahaan konsultan telekomunikasi yang bergerak untuk memberikan training bagi Telkom maupun Indosat dan perusahaan telekomunikasi yang lain.
Pada tahun 1996 saya menjadi advisor PT Sucaco, sebuah perusahaan kabel yang saya turut berperan untuk membangun divisi serat optik di PT Sucaco. Kemudian semenjak tahun 1997 di Sucaco, saya juga berperan membuat anak perusahaan, PT Stelcom, yang bergerak di bidang jasa konstruksi jaringan telekomunikasi.
Karena krisis pada 1997, 1998, dan 1999, maka Sucaco mulai shift, dari perusahaan penyedia jasa konstruksi kami ke bidang trading, dan kami saat itu ikut tender Bulog untuk pengadaaan beras tahun 1998. Kami akhirnya menang dan sebagai satu-satunya perusahaan Indonesia yang ikut tender. Kami mendapat tender 30.000 ton dengan nilai sekitar US$8 juta. Lantas kami dapat lagi tender berikutnya dengan 50.000 ton yang nilainya sekitar US$11 juta. Itu terjadi pada akhir 1998. Kami mengimpor beras yang pertama dari Thailand 30.000 ton dan 50.000 ton dari Pakistan.
Bergabung dengan Kopitime
Pada tahun 1999, saya diajak teman untuk bergabung di perusahaan Kopitime. Pada saat itu namanya bukan Kopitime melainkan PT Aditya Alambana, sebuah advertising company. Ini adalah perusahaan advertising yang merencanakan melakukan ekspansi ke bidang bisnis terkait internet. Saya tertarik karena memang bidangnya sangat cocok dengan bidang saya di telekomunikasi.
Pada akhir 1999, kami mengembangkan internet portal termasuk e-commerce. Kemudian pada Maret 2000, kami meluncurkan Kopitime setelah mengubah nama yang tadinya Aditya Alambana. Portal e-commerce kami luncurkan pada September 2000 dengan shopping mall. Kami punya shopping mall dengan lebih dari 7.000 produk yang diperdagangkan dengan nama kopimall.com.
Kemudian pada Desember 2000, saya luncurkan bizdunia.com yang merupakan portal B2B commerce dengan 41 kategori industri dan sekitar 900 lebih subkategori. Untuk pengembangan selanjutnya, kami rencanakan go public. Sebenarnya untuk go public, semula kami rencanakan pada Maret 2000.
Akan tetapi, karena kami harus memberikan penjelasan terlebih dahulu detailnya ke Bapepam dan BEJ--dan itu sempat berlarut-larut--kami akhirnya dapat persetujuan final dari Bapepam, tepatnya pada 29 Maret. Baru listing tanggal 23 April yang lalu di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Tujuan kami go public adalah untuk mengembangkan lebih lanjut e-commerce yang kami punyai, baik dari B2B maupun B2C. Jadi, dengan go public inilah kami bisa ekspansi lebih agresif lagi.
Visi dan Misi
Saya mempunyai visi untuk bisa berperan dominan di bidang teknologi informasi. Visi itu bukan hanya untuk di Indonesia, melainkan juga mencakup wilayah negara-negara ASEAN. Saya ingin menjadikan Kopitime itu merupakan suatu gateway atau pintu gerbang tidak hanya untuk informasi, tetapi juga untuk bisnis secara regional. Jadi ini adalah visi perusahaan dengan slogannya yang kita sebut "Apa aja ada". Saya harapkan Kopitime nanti menjadi seperti Yahoo!-nya Indonesia.
Sekarang ini kami baru hanya ada di Indonesia dan untuk tahap selanjutnya kami akan mulai hadir di kawasan negara-negara ASEAN, dimulai dari Singapura dan juga Malaysia, Filipina, Thailand dan negara-negara ASEAN lainnya. Kami fokuskan untuk bisa melakukan suatu transaksi dalam suatu jaringan yang ada di ASEAN dan juga untuk akses ke luar ASEAN, yakni ke pasar global.
Dalam rangka itu, kami juga melakukan kerja sama dengan Trade Point. Kalau di Indonesia ada Jakarta Trade Point yang merupakan kepanjangan tangan daripada UNTAG (United Nation Trade Organization) yang merupakan tempat lalu lintas perdagangan, yang setiap harinya ada sekitar dua juta entity yang mengakses Trade Point. Karena Trade Point ada di 120 negara, maka kami bisa mendapatkan sumber-sumber kebutuhan setiap negara, yang kebutuhan itu bisa kami suplai dari Indonesia.
Fokus terhadap UKM
B2B yang kami punyai di bizdunia.com memang kami fokuskan untuk pengusaha kecil dan menengah. Mengapa kami lihat pengusaha kecil dan menengah? Pasalnya, potensi pengusaha kecil dan menengah sangat besar gunanya di Indonesia.
Data dari Deperindag itu ada 2,5 juta small medium enterprise (SME) yang sebagian besar belum terekspose ke pasar global. Di sini kami memberikan suatu solusi platform perdagangan yang komprehensif melalui bizdunia.com, yang di dalamnya kami berikan mulai dari adanya inquiry, kemudian negosiasi secara online sampai terjadinya suatu kesepakatan harga dengan adanya suatu purchase order. Itu dilakukan semuanya secara online. Di samping itu kami juga memberi bantuan kepada pengusaha kecil dan menengah, mulai dari pengawasan mutu, asuransi, pengapalannya dan juga payment settlement untuk pembayarannya.
Bantuan kami berikan kepada mereka sehingga mereka tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana mengurus administrasi, dokumentasi, untuk melakukan suatu ekspor, atau bagaimana mendapatkan pasar dari ekspor. Fokus mereka cukup bagaimana membuat produk sebaik mungkin, seberkualitas mungkin. Maka bizdunia.com itu kami bangun, khususnya untuk usaha kecil dan menengah.
Sekarang sudah ada sekitar 1.000-an supplier di Indonesia yang menjadi anggota bizdunia.com. Itu masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu 2,5 juta perusahaan. Jadi peluang untuk itu sangat besar dan kami ajak perusahaan lain untuk ikut memikirkan. Bukan hanya Kopitime yang bergerak di sini.
Kami juga memberikan bantuan kepada pengusaha kecil menengah melalui suatu virtal expo, virtual exhibition. Dalam hal ini, kami juga bekerja sama dengan BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) untuk mengembangkan suatu virtual exhibition atau pameran secara virtual.
Kalau biasanya misi dagang ke luar hampir setiap bulan, tentu tidak semua pengusaha kecil menengah itu bisa berpartisipasi untuk pergi berpameran ke luar negeri. Dalam hal ini kami mempunyai suatu konsep virtual exhibition, yang bagi yang tidak bisa ke luar negeri pun mereka bisa tampilkan produknya secara virtual. Dengan pameran virtual, pengunjung pameran bisa melihat produk mereka melalui internet.
Mereka tidak hanya bisa melihat, tetapi juga bisa melakukan transaksi. Semuanya kami integrasikan pameran virtual itu dengan e-commerce. Jadi banyak hal yang memang kami lakukan untuk membantu pengusaha kecil menengah ini karena kami lihat yang masih sustainable itu adalah usaha kecil menengah.
Ekspansi ke Dunia Pendidikan
Di samping itu, Kopitime juga mempunyai sisi untuk mengembangkan pendidikan atau edukasi. Salah satu aspek lain yang juga kita lihat, pendidikan sangat penting untuk pembangunan bangsa. Kami mulai secara bertahap akan mengembangkan cyberschool atau cyberuniversity. Nanti orang bisa melakukan proses belajar melalui internet.
Sekarang kami sudah mulai dengan yang paling basic dulu dengan TK dan SD. Untuk itu, kami bekerja sama dengan Gemintang yang kami namai gemintang.com. Gemintang dikelola oleh Neno Warisman, dengan kami kembangkan suatu bentuk monitoring untuk belajar anak TK dan SD. Dalam hal ini, mereka bisa mengenal internet, bisa mendapatkan pendidikan TI sejak kecil, dan mereka bisa melakukan komunikasi dengan orang tuanya yang ada di kantor.
Dengan cara ini, orang tua yang ada di kantor bisa memonitor perkembangan anaknya, terutama anak TK dan SD. Apalagi orang tua yang sibuk, mereka bisa memonitor dari kantor. Kami sudah melakukan trial project untuk dua sekolah pada saat ini. Jadi, di setiap sekolah itu, gurunya akan meng-update data-data anak, perkembangannya hari itu, dan juga anak itu bisa diberi kesempatan untuk bisa belajar internet dan mengakses komputer, dan juga menunjukkan hasil karya mereka pada hari itu.
Misalnya mereka menggambar, maka kami ada scan di sekolah, lalu dimasukkan di situs sekolahnya supaya orang tua bisa lihat anaknya menggambar apa pada hari itu. Mereka bisa memonitor nilai anaknya berapa. Kami mulai dari yang basic, TK dan SD. Untuk selanjutnya kami akan rencanakan mengembangkan cyberuniversity. Itu salah satu yang memang kita perlukan pada saat ini, terutama untuk tenaga-tenaga di bidang teknologi informasi.
Kami juga akan mulai dengan training center. Kami akan bangun suatu training center bagi mahasiswa yang baru tamat dari universitas agar mereka bisa ditempatkan bekerja di mana saja karena kami mempunyai proyek TI. Ini tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Singapura dan Malaysia. Kami bisa menggunakan tenaga TI dari Indonesia sebagai SDM yang ditempatkan di sana.
Hal itu nanti akan menghemat biaya dibandingkan dengan Singapura yang menggunakan tenaga dari Amerika atau Eropa. Training center akan kami bangun dalam waktu dekat.
Training center ini dibutuhkan karena umumnya tenaga- tenaga kita yang baru selesai kuliah belum siap pakai. Jadi kami lihat kelemahan ini, kami poles mereka. Jadi ketika mereka bekerja di negara lain, mereka sudah siap. Itu salah satu obsesi training center, di samping kami berjalan beriringan dengan rencana untuk membangun cyberuniversity.
Pendidikan memang merupakan obsesi saya pribadi karena saya mempunyai latar belakang pendidikan mengajar. Saya juga mengajar di UI. Jadi harus selalu dipikirkan bagaimana caranya kita bisa mendirikan sarana pendidikan yang murah bagi masyarakat. Alhasil, yang menikmati pendidikan tidak hanya kalangan menengah ke atas tetapi juga yang menengah ke bawah. Jadi, internet merupakan sarana yang murah untuk mendapatkan suatu pendidikan, asalkan dengan metode yang tepat. Orang di desa pun bisa mengakses internet.
Jadi hal-hal inilah yang kami lakukan di Kopitime. Bukan hanya di internet e-commerce, melainkan kami juga bergerak di bidang pendidikan.

Proses Sukses Bob Sadino
Sukses Bob Sadino diperoleh dari strategi brilian, yang disebutnya Bola Bob Sadino (BBS). Pola inilah yang terus menerus diasah dan dipertajam, guna diwariskan ke Bob Sadino-Bob Sadino Baru (BSB). Bob Sadino memang OK!
Proses sukses sungguh beragam, Akademisi sudah bolak-balik mengembangkan berbagai tesis, antitesis, tesis lagi, antitesis lagi untuk menjelaskannya, tapi selalu ada keunikan-keunikan, yang membuat upaya penggeneralisasian itu terkendala. Proses sukses wirausaha memang tidak seragam, karena wirausahawan memang tidak semacam. Proses sukses Bob Sadino misalnya tidak sama dengan Sukyatno Nugroho, Matsuhita, Bill Gates, Prajogo Pengestu, Lim Sioe Liong atau Sjamsul Nursalim. Ada perbedaan latar belakang, faktor eksternal dan internal, nasib, keberuntungan, waktu, cara yang dipilih dan banyak lagi. Lakukan saja! Itulah resep sukses Bob Sadino. Sejak semula dia dibebaskan otaknya dari hal-hal yang tak perlu, seperti studi kelayakan, teori-teori, perencanaan, kajian resiko, kemungkinan rugi, pikiran ini pertimbangan itu, dan sebagainya. Dia fokuskan perhatian dan maksimalkan energi, benar-benar hanya untuk usaha yang sedang dijalankannya. "Saya sukses karena saya tidak terdidik. Karena saya tidak tahu apa-apa," katanya. Penghematan energi otak dan pemusatan konsentrasi ini membuat arah kewirausahaan Bob jelas. Efisien dan Efektif.
Lakukan Saja
Dalam berbagai kesempatan, Bob Sadino selalu mengatakan bahwa, aktivitas kewirausahaannya tidak didasarkan pada konsep atau landaran strategi tertentu. "Saya lakukan saja, tanpa berpikir macam-macam," katanya. Tapi dalam kurun waktu hampir 30 tahun berwirausaha, metode‘lakukan saja’ ini berkembang terus membentuk pole tertentu. Semacam siklus kompetensi dari ilmu (pengetahuan) ke praktek (pelatihan dan pembelajaran), terus ke keterampilan (skill) dan profesionalitas, yang kemudian diperbaharui lagi menjadi ilmu dalam tingkatan yang lebih tinggi. Begitu seterusnya.
Bagaimana mendapatkan ilmu (pengetahuan)? Menurut Bob, ilmu di dapat dari pengalaman. Pengalaman diperoleh bila ada kemauan untuk mencoba. Kemauan saja belum membuahkan apa-apa, bila tidak diikuti dengan tindakan aksi yaitu langkah pertama, alias komitmen. Komitmen akan tinggal komitmen kalau tak ada keberanian untuk menangkap peluang. Bila ketiga unsur ini sudah dimiliki berarti mobil ilmu sudah punya bensin. Tinggal menjalanan saja. Untuk membuatnya bergerak hindari kecengengan. Apa yang dimaksud Bob dengan cengeng? Sikap gampang terkendala. Itu maksudnya. "Mudah mengeluh. Dikasi jalan, mengeluh tak punya modal. Diberi modal, mengeluh tak punya kenalan (relasi, langganan). Dikasi kenalan, tak bisa ngomong, dan seterusnya," ungkap Bob. Kecengengan ini membuat orang tak akan pernah melangkah dan menguasai ilmu (pengetahuan).
Penguasaan ilmu merupakan awal proses enterpreneurship. Langkah selanjutnya adalah latihan dan latihan. Belajar dan belajar. "Kita harus membuat diri dan ilmu kita efektif bagi masyarakat. Tanpa latihan - aksi, tindakan nyata dalam masyarakat kondisi ini tak mungkin tercipta. Kita harus membuatnya jadi sifat. Untuk mencapainya kita harus membangun perilaku modest, bagaimana dengan segala kerendahan hati menjadikan ilmu kita efektif bagi masyarakat. Jadi jangan mengembangkan academic arogancy, katanya. Pada tahap ini tingkat kewirausahaan seseorang mulai mengental. Bila ilmu sudah praktis dan efektif terhadap masyarakat, tingkat selanjutnya adalah terampil. Latihan demi latihan membuat orang terlatih. Terampil. Ahli (skillful). Ilmu bukan lagi sekedar sifat, tapi sikap. Sudah menyatu organik dengan tubuh, pikiran dan perasaan. Pada tingkat ini seorang wirausahawan sudah sangat sulit dipisahkan dari naluri wirausaha. Kejelian melihat peluang menajam. Akurasi analisis meningkat. Pemahaman terhadap karakter pasar, kekuatan diri dan kompetitor, ancaman internal dan eksternal, dan peluang ciptaan lingkungan atau diri sendiri mendalam dan makin terfokus. Dalam kondisi ini semuanya seolah berlangsung otomatis. Reflek terkendali. Sesuai kata Bambang Utomo pendiri Pondok Gagasan "Praktik melahirkan teori. Sesuatu yang paling praktis adalah teori yang sempurna,".
Di tahap ini kewirausahaan seseorang mulai mengkristal. Terampil menumbuhkan sikap dan tanggung jawab profesional. Ilmu, praktik dan keahlian menjadi profesi yang dinilai. Konsekuensinya berupa pengakuan dari lingkungan, dalam bentuk penghargaan sosial, akademik dan finansial. Undangan ceramah mengalir dari berbagai pihak, yang ingin seperti kita. Pengakuan akademik diusulkan pula, minimal dalam bentuk gelar Doktor Honoris Causa. Uang jangan ditanya, sudah mengetuk pintu rumah sejak pagi sampai pagi lagi. Setidaknya itulah yang kini terlihat dari kehidupan Bob Sadino. Namanya jadi seperti merk dagang. Jaminan mutu kata orang. Apa yang dijajakannya dijadikan standar kualitas oleh konsumen berkelas yang menurut statistika Bob Sadino terdiri dari 94% ekspatriat dan 6% orang gila. Terbukti kangkung yang biasanya Rp.400,- seikat, ludes juga dalam sekejab, ketika dijual Rp.4.000,- Ide-idenya dipreteli, di analisis, dikaji berulangkali oleh para pakar dan akademisi, untuk mendapatkan intisari strategi. Metodenya dikunyah berbagai kalangan, terutama para wirausahawan muda yang ingin menjadi Bob Sadino baru. Dia menjadi model. Contoh sukses. Idola. Malah ketika ceramah di IPMI, September 1998, ada yang datang dengan kendaraan sendiri dari Padang (Sumatera Barat), hanya untuk mendengar dia. Tapi, menurut Bob, proses pendalaman tak pernah berhenti. Tahap profesionalitas menimbulkan ilmu (pengetahuan) baru. Tentu saja dengan tingkat kecanggihan yang lebih tinggi. Selanjutnya siklus berulang, saling mempengaruhi dan memperkuat satu sama lain. Dari ilmu ke praktik, dari praktik ke terampil, dari terampil ke profesioanl, dari profesioanl ke ilmu. Pada masing-masing tahap terjadi pula siklus dan proses pengaruh mempengaruhi yang lebih terfokus.
Begitu seterusnya. Tanpa batas. Tanpa target pencapaian, karena roh wirausaha mengalir seperti air. Dari laut ke uap air, dari uap air ke awan, dari awan ke hujan, dari hujan ke hutan, dari hutan ke hulu sungai, dari hulu sungai ke sungai, dari sungai ke muara, dari muara ke laut, atau sebaliknya. Tergantung yang melakoni saja.
Lecut SDM
Bob Sadino adalah sekolah. Dia tak tergoda mengilmiahkan setiap langkahnya. Tak ada nama-nama akademik yang membungkus metodenya. Terserah orang mau bilang apa, Bob Sadino jalan terus di rimba peluang jelajahannya. Orang belajar sungsang sumbel tentang dia. Orang mencoba terus menerus mendefinisikan keputusannya. Bob tak peduli. Perhatiannya terpantek kuat pada usasha yang tengah dijalaninya. Konsentrasi semacam itu juga terlihat dalam caranya menangani sumber daya manusia, yang saat ini berjumlah 1.600 orang, tersebar di tiga perusahaan. Kalau Bob itu sekolah, maka SDM di sekitarnya adalah sarana penunjang utama agar sekolah tetap berdiri, beroperasi dan berproduksi. SDM adalah aset dan Bob sangat sadar itu.
Drajat, salah satu ‘anak’ nya (Bob menyebut karyawannya Anak, dan karyawan menyebutnya Bapak), mengatakan, Bob memberi kepercayaan penuh pada anak-anaknya. Manajemen kekeluargaan, dimana karyawan dianggap sebagai anggota keluarga, sehingga tidak ada hitung-hitungan soal gaji, bonus, saham, dividen, tunjangan dan lain-lain, sudah dijalankan sejak Kem Chicks masih bayi. Karyawan Bob yang pertama adalah seorang anak yang disebutnya ‘gelandangan’ (Bob sendiri menyebut dirinya ‘gelandangan’). Anak itu diperlakukan seperti anak sendiri. Semua kebutuhan hidupnya dicukupi, termasuk pendidikan, kesehatan dan rekreasi. "Yang harus kami lakukan adalah lurus dalam segala hal, misalnya kerja, hidup, hubungan antar personal dan menghargai senioritas. Soal prestasi terserah pencapaian masing-masing," ungkap Drajat.
Sebagai kompensasi selain berbagai fasilitas tadi Bob juga menyediakan uang jajan bagi anak-anaknya. Uang itu diletakkan dalam wadah tertentu dan anak-anak dipersilahkan mengambil seperlunya. Untuk apa dan bagaiman menggunakan uang tersebur, diserahkan sepenuhnya kearifan masing-masing. Dengan demikian mereka belajar cara memperlakukan uang. Bagaimana agar kendali tetap di tangan, bukan sebaliknya. Bagi Bob, semua anak dipersiapakan jadi dia. Silakan bersaing dan mengerahkan seluruh daya upaya. Bob menjamin seleksi yang fair, dimana setiap kendidat mendapatkan bekal dan kesempatan sama. Saking fairnya, Bob bahkan menerapkan tetek bengek kontrak kerja kepada anak-anak, yang diberinya fasilitas pendidikan di lembaga-lembaga bisnis kelas dunia. Bob tidak takut mereka lari ke perusahaan lain. No Problem! Rasa dan akal budi dijadikannya pengikat. Yang lebih gila, ketika salah saru anaknya salah langkah dan merugikan perusahaan US$ 5 juta, Bob tidak marah. Karyawan itu dipersilahkan mencoba lagi, sambil belajar dari kesalahan. Tentang ini, Drajat berkomentar. "Jika kami jatuh, Bapak menyuruh kami segera bangkit dan berlari."
Bagaimana Bob memarahi karyawan? Ternyata juga tak rumit. Jika karyawan menolak atau ragu-ragu melakukan perintahnya, Bob diam saja dan melakukan sendiri instruksi tersebut. Itulah bentuk kemarahan terbesarnya. Dan 'kemarahan' semacam ini efektif menumbuhkan dukungan bagi kesuksesan Bob Sadino. Namun, di luar semua itu. Bob tidak bisa mengabaikan kontribusi kontribusi sang istri. Kepiawaian dan ketulusan Sue Sadino dalam memberikan pelayanan pribadi kepada para konsumen, membuat nama Bob Sadino dan Kem Chicks semerbak. Pelanggan kembali dan kembali lagi. Tak bisa dibantah , istri, suami, anak, orang tua, saudara, kerabat, teman yang mengerti dan mendukung usaha kita sepenuh hati, ikhlas, adalah aset utama kesuksesan wirausaha. Bob Sadino membuktikan! (Imr)
Manajemen/November 1998
J u d u l : KISAH SEORANG PENGUSAHA KECIL - 1
S u m b e r : Majalah Manajemen
N o m o r : 41, Tahun VII, Januari 1987
(Red : ini cerita tahun 1997, jadi ada satu-dua hal yang sudah tidak cocok lagi sekarang, namun prinsip dan perjuangan usahanya pantas dijadikan contoh)
Namanya Hamonangan Sinaga, panggilan sehari-hari Monang; seorang putra Batak tulen yang dilahirkan di Riau daratan 42 tahun yang lalu. Pengusaha yang satu ini benar-benar unik. Riwayat hidup bisnisnya diwarnai oleh seribu satu macam pengalaman. Perkenalan pertama saya dengan Monang terjadi 7 tahun yang lalu ketika kami sama-sama bekerja pada PICA S.A. Group, sebuah lembaga keuangan multi nasional yang beroperasi di berbagai negara Asia dan Facific, termasuk Indonesia. Pada tahun 1983 Monang mengundurkan diri dari PICA karena ingin bergabung dengan teman-teman dekatnya untuk mendirikan PT Pamor Cipta Inti, sebuah perusahaan leasing di Jakarta. Sejak itu hanya sesekali kami sempat bertemu, karena masing-masing pihak sibuk oleh pekerjaannya sendiri.
Monang mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat baik. Pada tahun 1969 dia berhasil memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia. Dua tahun berikutnya Monang mengikuti executives development program yang diselenggarakan oleh CITIBANK di Kuala Lumpur, Malaysia. Lalu pada tahun 1978 menjalani top executive training di Orient Leasing Company di Osaka dan Tokyo, Jepang. Perjalanan karier bisnisnya dimulai sejak ia masih mahasiswa sebagai seorang wiraniaga PT Grolier International. Bertahun-tahun si mahasiswa Batak ini keluar masuk kantor-kantor pemerintah dan swasta maupun rumah-rumah elite untuk menjajakan buku-buku eksiklopedia. Dari hasil penjualan buku itu Monang mendapatkan komisi cukup besar untuk ukuran mahasiswa. Dengan demikian diapun mampuberdikari mebiayai kuliahnya. Karier wiraniaga tanpa dia sadari telah memberikan pedoman bisnis yang hingga kini dipegang teguh, yaitu: Janganlah berbantah dengan pelanggan, melainkan yakinkanlah mereka bahwa hasil produksimu memberikan manfaatr yang mereka cari."
Grolier ditinggalkannya pada tahun 1971 karena mendapat tawaran pekerjaan yang lebih menarik di CITIBANK, sebuah bank raksasa dari Amerika yang membuka kantor cabang di Jakarta. Mulailah Monang yang sudah sarjana itu merangkak dari jabatan administratif terbawah di CITIBANK yaitu clerk sampai jabatan tingkat menengah, loan office pada tahun 1976, ketika dia memutuskan untuk pindah pekerjaan ke PT OBUL, sebuah perusahaan leasing patungan Jepang-Indonesia. Monang hanya tahan 3 tahun di OBUL karena datangnya tawaran kerja yang lebih menarik lagi yaitu dari PICA S.A yang kemudian digelutinya selama 5 tahun.
Program Pengembangan Keahlian Karyawan
Banyak pengalaman yang berhasil ditimba selama krier pekerjaannya di CITIBANK, tetapi satu yang hingga kini melekat pada Monang yaitu Program Pengembangan Keahlian Karyawan. Walaupun CITIBANK sebuah bank, namun keahlian para staf inti mereka tidak dikembangkan ke arah dunia perbankan semata-mata. Di samping pengetahuan tentang perbankan, para staf digembleng dalam keahlian manajemen yang bisa diterapkan di berbagai macam usaha bisnis serta berbagai macam watak unggul seperti disiplin, efisien, inovatif, kreatif, tepat waktu dan hemat tetapi tidak kikir.
Kelak ketika Monangterjun dalam dunia bisnis sebagai seorang pengusaha, keahlian manajemen dan gemblengan watak unggul tersebut ternyata banyak sekali manfaatnya. "Pengusaha harus kreatif dan inovatif," katanya waktu kami duduk ngobrol di warung kopi sebuah hotel di Jakarta. "Apa yang ditemukan oleh seorang pengusaha dan laris dijual di pasaran itu tidak akan tahan lama," sambungnya. "Begitu produkmu laris, maka berbondong-bondonglah pengusaha lain menjiplaknya. Apalagi di tanah air kita ini, yang namanya proteksi patent itu belum ada. Oleh karena itu pengusaha harus selalu berusaha menemukan barang dan jasa atau cara layanan yang baru, sehingga kalau yang lama dijiplak muncullah yang baru."
Monang juga terkesan atas cara CITIBANK membekali stafnya dengan keahlian manajemen yang bersifat umum. Menurut Monang keahlian tersebut merupakan balas jasa nonfinansial yang sangat besar manfaatnya bagi karyawan apabila mereka kelak ingin atau terpaksa pindah pekerjaan. Karyawan adalah manusia, kata Monang. Mereka itu menginginkan perubahan termasuk pekerjaan. Tidak setiap karyawan bersedia teken kontrak sampai mati dengan sebuah perusahaan di mana mereka bekerja. Kalau sudah bertahun-tahun mengabdikan diri pada suatu perusahaan, seorang karyawan ingin berganti pekerjaan, pengusaha yang bersangkutan harus membantu karyawan yang baik tersebut mndapatkan pekerjaan yang lebih baik. Membekali staf dengan keahlian manajemen, menurut Monang merupakan salah satu cara perusahaan dapat membantu karyawannya kelak mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik, apabila hal tersebut diinginkan atau terpaksa dilakukan.
Suka Duka Membangun Ciputri
Satu tahun yang lalu saya pernah duduk termangu, ketika pada suatu siang seorang gadis mendatangi kantor saya dengan sebuah amplop undangan di tangan. "Saya disuruh Pak Sinaga menemui Bapak untuk menawarkan undangan pembukaan rumah makan beliau di Ciputri, Puncak. Kepada Bapak akan disuguhkan udara sejuk pegunungan, makanan khas Indonesia dengan cara penyajian Eropa dan hiburan musik jazz oleh Ireng Maulana," kata gadis tersebut.
Inovasi apalagi yang dimunculkan pengusaha Batak ini," pikir saya. Dua tahun yang lalu dia mendirikan sebuah perusahaan leasing, lalu sebuah perusahaan konsultan, sekarang sebuah rumah makan di daerah pegunungan.
Ketika saya menghadiri undangan pembukaan rumah makan itu, tidak banyak waktu yang dapat saya gunakan untuk ngobrol dengannya. Di luar dugaan saya tamu-tamu dari Jakarta yang bersedia merogoh dompet membeli undangan ternyata luar biasa banyaknya. Beberapa di antara mereka saya kenal pejabat-pejabat penting dari perusahaan swasta maupun instansi pemerintah.
Waktu berpisah kami berjanji akan bertemu lagi minggu depan untuk membicarakan rumah makannya. Nampaknya janji tinggal janji, karena kesibukan saya sendiri ternyata baru sebelas bulan kemudian saya kembali ngobrol di rumah makan tersebut sambil menikmati lontong tahu, ikan mas bakar dan kopi juragan makanan dan minuman favorit rumah makan Ciputri.
Monang kelihatan sedikit kurus walaupun wajahnya nampak cerah menandakan kehangatan bathin. "How is your restaurant business; bagaimana perkembangan bisnis rumah makanmu?" tanyaku. Monang segera bercerita panjang lebar, mulai dari motif yang mempengaruhinya membuka rumah makan Ciputri, program pengembangan keahlian karyawannya, tamu-tamu rumah makan sampai kesulitan yang dihadapi oleh rumah makan barunya untuk mendapatkan kredit investasi kecil dari bank.
Monang mendirikan rumah makan Ciputri, yang seratus persen dimilikinya karena ingin menjadi tuan dari pekerjaannya. Dengan Ciputri, Monang dapat memperoleh kebebasan penuh untuk menerapkan aneka ragam keahlian dan pengalaman bisnis yang diperolehnya dari berbagai macam perusahaan tempatnya bekerja dulu.
Ciputri yang berjarak 100 kilometer dari Jakarta itu hanyalah kecamatan saja. Merekrut tenaga kerja yang berpengalaman untuk melayani turis dari Jakarta dan Bandung, kadangkala juga turis asing bukanlah pekerjaan mudah di kecamatan ini. Rata-rata pemuda-pemudi Ciputri yang berpendidikan SLTA atau SLTP tersebut hanya mampu melayani tamu rumah makan biasa. Namun Monang tidak putus asa. Dengan pengalamannya dalam program pengembangan keahlian karyawan di CITIBANK Monang mulai menggembleng 12 orang karyawannya agar mampu memasak dan menghidangkan masakan-masakan tradisional Indonesia dengan gaya Eropa. Didatangkannya seorang ahli rumah makan dari Jakarta yang telah berpengalaman lebih dari 16 tahun mengelola rumah makan internasional dan rumah makan dalam hotel kelas satu. Hasil yang dicapai cukup memuaskan. Dalam waktu 3 bulan karyawan-karyawan tersebut telah mampu menghidangkan makan siang kepada satu rombongan turis dari Belanda yang sedang dalam perjalanan berdarmawisata ke Bandung secara memusakan.
Monang memilih Ciputri sebagai lokasi bisnis rumah makannya karena tempat itu terletak ditengah-tengah jarak antara Jakarta dan Bandung. Dengan demikian Monang dapat mengharapkan baik para pengendara mobil dari Bandung ke Jakarta maupun sebaliknya telah merasa lelah di tempat itu dan ingin istirahat makan dan minum di rumah makannya.
Buat dia dengan mendirikan rumah makan Ciputri itu tersalurlah keinginannya untuk bekerja keras, namun tidak kehilangan kesempatan menikmati kenikmatan berpariwisata. Rumah makannya menghadap jalan raya dan membelakangi sawah dan pegunungan itu benar-benar suatu tempat rekreasi yang mengasyikan. "Sis ...." katanya dengan senyum ceria "walaupun tidak besar-besaran, namun dengan rumah makanku ini aku telah ikut membantu usaha pemerintah untuk membendung arus urbanisasi." Menciptakan lapangan kerja untuk pemuda-pemudi pedesaan memang salah satu motivasi Monang untuk mendirikan rumah makan itu.
Tidak hanya 12 orang karyawan langsungnya yang dapat dihidupi oleh Monang. Tiap hari Minggu siang rumah makan ini menyuguhkan "vocal Group songs" kepada tamu-tamu yang kadang-kadang mencapai 200 orang itu. Dengan suguhan "vocal group songs" secara tetap Monang juga dapat memberikan nafkah kepada ara pemainnya.
Dari dua kali kunjungan saya ke rumah makan di pinggir jalan raya Jakarta - Bandung itu dapat saya lihat bahwa rasa "melu handarbeni" para karyawannya terhadap perusahaan tempat mereka bekerja cukup tinggi. Di samping balas jasa dan program pengemabangan keahlian yang terarah, menurut Monang rasa ikut memiliki perusahaan yang tinggi di kalangan karyawannya itu timbul karena contoh baik yang diberikan kepada mereka. "Walaupun aku pemilik rumah makan ini," katanya "aku tidak pernah bergaya priyayi atau menak yang hanya pandai paring dawuh - memberi instruksi," katanya.
Monang selalu menanmkan jiwa unggul kepada para karyawannya. Bagi Monang dan karyawan rumah makan Ciputri, tidak ada pekerjaan yang rendah derajatnya asal pekerjaan itu halal. Walhasil Monang yang sarjana ekonomi itu sering mengemudi truk mini hi-jet merahnya berbelanja sayur dan daging untuk rumah makannya. Tidak jarang pula Monang yang eksloan officer CITIBANK dan senior investment PICA A.S itu bersama-sama karyawannya beramai-ramai membuang sampah. "Bagiku membuang sampah untuk menjaga kebersihan rumah makan yang menghidupi sekian banyak orang ini," katanya "adalah jauh lebih tinggi nilainya dari pada menyalahgunakan jabatan untuk sekedar mendapatkan komisi atau saham kosong."
Disiplin yang tinggi, tekun, ulet, jujur, hemat merupakan sifat-sifat yang unggul yang terus menerus dipompakan oleh Monang kepada anak buahnya, di samping sikap-sikap optimis, ceria dan penuh humor tanpa meninggalkan sopan sangtun dalam melayani tamu.
Lalu apakah rumah makan ini tidak pernah mengalami kesulitan? "Oh, pernah...," jawab Monang "terutama dalam bidang pengadaan dana operasional." Monang membeli seribu meter persegi tanah tanah di pinggir jalan dan membangunnya menjadi rumah makan bergaya arsistik itu dengan seluruh dana simpanan yang dihasilkannya selama bertahun-tahun. Untuk modal kerjanya, dua mobil pribadinya dijual. Monang tidak menduga sebelumnya bahwa tamu-tamu rumah makannya, terutama dihari-hari Sabtu dan Minggu demikian banyak jumlahnya dan perkembangannya pesat.
Sehari demi sehari Monang mulai merasakan bahwa dana modal kerja yang diperoleh dari hasil penjualan mobil pribadi tersebut jauh dari mencukupi. Segeralah Monang menghubungi bank-bank untuk mengajukan permintaan kredit investasi kecil dan modal kerja permanen untuk membiayai pengaspalan tempat parkir mobil tamu dan tambahan dana modal kerja rumah makannya. Hasilnya ...... nol. "Itulah ironinya," kata Monang "waktu aku bekerja di CITIBANK, PICA, OBUL dan Pamor Cipta Inti Leasing, aku sering ikut berperanan dalam pemberian kredit milyaran rupiah kepada para pengusaha. Tapi kini waktu aku mengubah diriku menjadi seorang pengusaha kecil, mencari KIK dan KMKP pun dapat kesulitan," tuturnya.
But the show must go on, operasi rumah makannya harus berkembang terus, demikian pedoman pengusaha kecil yang satu ini. Kalau KIK dan KMKP tidak juga kunjung datang, sumber dana lain harus dicari. Monang berunding dengan anggota keluarganya, dengan hasil mufakat satu-satunya mobil kebanggan keluarga yang masih tinggal, VOLVO 244 GL, dijual, dilipat dijadikan duit untuk mengaspal tempat parkir tamu dan tambahan dana modal kerja rumah makannya. Kini keluarga pengusaha kecil itu tinggal mempunyai satu mini truk Suzuki hijet cat merah yang dipakai ...untuk berbelanja, mondar mandir Jakarta-Ciputri, untuk urusan pekerjaan lain dan untuk apa saja.
TANTANGAN BAGI PARA MUDA
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh menit malam waktu saya pamit pulang ke Jakarta setelah hampir enam jam kami ngobrol. Tidak terasa empat cangkir kopi juragan telah saya minum selama ngobrol. Dalam perjalanan pulang dalam hati saya katakan "Horas Monang, semoga rumah makan Ciputrimu dapat menjadi contoh bagi sarjana muda usia dalam usaha mereka untuk turut mengisi kemerdekaan bangsanya.
Dikisahkan oleh Bp. Drs. Siswanto Sutoyo

Kiat Wirausaha Sukyatno Nugroho

Hidup Itu Harus Dijalani
Kiat selalu menggoda. Bagaimana orang bisa sesukses itu? Apa yang mereka lalukan? Banyak wirausaha menjawab seadanya. Sukyatno Nugroho punya tiga: melakoni, pantang menyerah dan kerja keras. Klise tapi terpukti.
Es Teler 77, Mie Tek-tek, dan Pasti Enak adalah waralaba-waralaba nasional yang tergolong sukses. Di balik kesuksesan bisnis itu adalah Yenni Setia Widjaja yang hobi memasak, dan suaminya Sukyatno Nugroho. Suami istri bisnisman ini kini tergolong sebagai pengusaha yang sukses. Merk-merk dagangnya berkibar dimana-mana melalui sistem waralaba atau franchise. Sebelum krisis moneter menerpa jumlah terwaralaba (Franchisee) mencapai 200 cabang untuk Es Teler 77, 20 cabang untuk Mie Tek-Tek. Ide Es Teler 77 Juara Indonesia sendiri, sebenarnya bermula dari keberhasilan mertua Sukyatno, Ny Murniati Widjaja, yang memenangkan Juara I Lomba membuat es teler se-Indonesia pada tahun 1982. Disamping itu suami istri ini juga didukung sepenuhnya oleh Trisno Budiyanto, manajer keuangan Es Teler 77.
Dalam banyak seminar, Sukyatno sering memperkenalkan dirinya sebagai penyandang gelar MBA yang kependekan dari "Manusia Bisnis Asal-asalan". Jalan hidupnya memang awut. Di sekolah peringkatnya adalah nomor 40 dari 50 murid. Ijasahnya hanya sampai SMP. Di SMTA ia hanya tahan 3 bulan di kelas satu. Pengalaman bisnisnya pun termasuk "asal-asalan". Ia pernah menjadi salesman kondom, obat cina, bahan kimia, dan barang-barang teknik. Ia belum pernah diterima sebagai pegawai bulanan. Tetapi ia pernah menjadi pemborong bangunan, reklame, leveransir, percetakan, biro jasa sekaligus tukang catut serabutan. Bangkrutpun pernah dialami sampai habis-habisan. Tepatnya ini terjadi duapuluh tahun yang lalu, pada tahun 1978. Sukyatno terpuruk hutang. Hutangnya dibanding kekayaan yang dipunyai ketika itu adalah 10 : 1. Jadi debt service rationya sudah mencapai 1000% disitulah hobi masak Yenny berperan sebagai penyelamat. Isterinya itu berjualan bakmi di garasi rumahnya. Pernah si wirausaha ini meneteskan air matanya karena dari hasil jualan bakminya waktu itu tidak mampu untuk membayar sekolah anaknya. Dan dengan bekal turun kelapangan dari bisnis-bisnis sebelumnya, Sukyatno mampu mengembangkan Es Teler 77 dengan cepat dan kini sudah memasuki tahapan stabil. Kini bahkan sudah dilakukan diversifikasi melalui pembukaan Mie Tek-Tek, dan Pasti Enak yang menjual aneka hidangan ikan.
Ceritera Sukyatno
Mungkin karena pendidikannya yang berhenti di tengah jalan, Sukyatno tidak mempunyai banyak pilihan karier. Pilihan yang terbuka luas adalah terjun ke lapangan, mengais rejeki apa saja yang mungkin. Langsung terjun, kerja keras, tidak mundur oleh kegagalan, ketiga langkah ini yang mewarnai sepak terjang Sukyatno Nugroho. Dalam suatu seminar tahun lalu yang diselenggarakan oleh Forum KUKKI dan Inti pesan Pariwara, Sukyatno menceriterakan kehidupan wirausahanya demikian: "Hidup saya amat dipengaruhi oleh motto klasik bahkan klise. Namun ternyata manjur untuk sampai sebutan "sukses", terutama dalam berwiraswasta. Motto-motto itu adalah:
  • Hidup ini harus dilakoni (dijalani), bukan hanya di khayalkan.
  • Kegagalan dalam hidup adalah kesuksesan yang tertunda.
  • Hidup harus diisi dengan kerja keras, dengan menggunakan akal, bukan Sekedar Okol
Dalam falsafah "Hidup ini harus dilakoni, bukan di khayalkan", saya menarik beberapa simpul yang penting. Satu di antaranya yang patut diperhatikan ialah: kecenderungan anak untuk ikut menikmati hasil kekayaan orang tuanya, atau mertuanya, atau saudara dekatnya. Bagi saya, kecenderungan seorang anak ikut menikmati kekayaan pendahulunya, bisa disebut sebagai anak yang memakan khayalan. Atau anak yang melahap angan-angan, karena khayalan atau angan-angan itu sekonyong-konyong sudah ada di hadapannya. Hal itu , bagi saya sangat tidak realistis, dan harus dihindari, karena dengan begitu ia tidak masuk kriteria melakoni hidup.
Bagi saya, memakai hasil kekayaan para pendahulunya (orang tua, mertua, dan sebagainya) sama dengan minum racun. Sebab, bila seorang anak neggak fasilitas itu melebihi kadar, akan over dosis dan mabuk. Kemabukan anak itu bisa berupa kemalasan, ketidakkreatifan, kebodohan. Dan hal tersebut akan berujung pada ketidakmajuan. Anak muda menjadi mandul. Hal demikian saya tanamkan kepada anak-anak saya. Saya selalu mengatakan bahwa saya tak punya apa-apa. Karena itu, sekolahlah rajin-rajin. Dan terampillah dalam bergerak di lapangan. Lalu saya harapkan ia mengikuti semua aktivitas ekstra kurikuler, seperti Pramuka, PMR, PMI, dan sebagainya. Saya merasa itu adalah pendidikan keterampilan yang paling awal. Yang akan membawa anak ke sukses lapangan. Saya merasa itu adalah pendidikan keterampilan paling awal, yang akan membawa anak ke sukses lapangan. Kini anak-anak saya remaja, dan saya sekolahkan di Australia. Keterampilan yang dibawa dari ekstra kurikulum di Indonesia, ternyata bermanfaat di sana. Ketika di kotanya terjadi banjir, mereka bisa langsung terlibat, membikin bantuan PPPK dan sebagainya. Usaha sukarela ini berlanjut kepada kegiatan yang lain. Ketika musim libur, ia jadi tidak canggung-canggung lagi turun ke lapangan. Anak saya siap menjadi tukang cuci, atau loper koran, atau tukang lap meja sebuah restoran. Semangat ringan tangan mereka ditolakkan dari perasaan sebagai "orang bawah", sebagai orang biasa. Kalau mereka sejak kecil dibiasakan dengan spirit anak orang kaya, saya rasa mereka akan celaka. Kemauan ringan tangan inilah yang membuat mereka terampil. Dan kemauan untuk ringan tangan itu membawa anak-anak kepada benturan-benturan ilmu baru, ilmu yang dengan serta merta ia dapatkan secara formal. Saya yakin, hasilnya adalah sejumlah sikap kewiraswastaan yang punya prospek hebat. Sebab yang dipegang akhirnya ialah "Ilmu Plus", yakni ilmu keterampilan, feeling dan strategi.
Orang yang biasa di lapangan, biasanya tak takut pada kejatuhan. Karena ia bermula dari bawah sekali. Dan kalau pun jatuh, ia bisa pakai rumus silat: Terjerembab satu kali, bangun dan menendang tujuh kali. Atau mundur selangkah, untuk menerjang maju tujuh langkah. Karena itulah, motto: Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda, memperlihatkan kebenarannya. Bekerja dengan merangkak dari bawah, dengan bekerja keras memakai akal-bukan okol sesungguhnya adalah proses yang nikmat dan dapat menjadi sejarah yang bagus buat semuat orang."
Ubah Peluang Menjadi Hasil Nyata
Pengusaha Es Teler 77 ini merupakan salah satu varian dalam panorama wirausaha. Ia melihat peluang, ia mengetahui perilaku pasar, ia bersedia bekerja keras mewujudkan peluang tersebut menjadi suatu hasil nyata yang menguntungkan. Produk yang dijualnya sebenarnya merupakan hal-hal yang juga sudah dijual oleh para pengusaha lainnya. Es Teler, Mie Tek-Tek, aneka hidangan ikan, adalah makanan-makanan yang sebenarnya biasa. Yang tidak biasa adalah cara wirausaha ini dalam melakukan differensiasi terhadap produk yang dijualnya. Ia memberikan merk dagang pada produknya, dan berkat ketekunan dan kerja keras, merk dagang itu lalu mempunyai nilai jual (brand equity) yang memberikan persepsi produk makanan yang higienis dan berkelas. Es Teler 77 diterima di banyak pasar. Namun ada juga yang menolak, semisal di Aceh karena nama tersebut memberikan konotasi kepada tindak mabuk-mabukan yang diharamkan oleh ajaran agama.
Lebih dari itu determinasi untuk mewujudkan "mimpi" adalah satu satu kunci sukses Sukyatno dan Yenni. Kesuksesan seorang wirausaha bukan sesuatu yang instan. Ia bermimpi sukses, lalu bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya. Ia melihat suatu peluang. Lalu ia mengerahkan sumberdaya orang untuk mengejar puluang. Seorang wirausaha bekerja keras untuk mentranformasi peluang itu menjadi suatu hasil nyata. (ASS).
Sukses dengan bisnis cat
Ini bukanlah mimpi yang menjadi kenyataan bagi seorang lelaki muda yang tinggal di kawasan Pecenongan Jakarta. Keberhasilan bisnis yang diperolehnya berdasarkan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Kini, lajang berusia 29 tahun ini bersiap-siap melebarkan usahanya.
Edi Sucipto (29) telah membuka bisnis cat tembok hampir dua tahun. Lelaki asal Purworejo ini tidak menyangka kalau akhirnya bisnis yang dikelolanya dari nol ini bisa menghasilkan keuntungan sangat lumayan. Ketika ditanyakan kiat-kiat keberhasilannya, lelaki sederhana ini hanya berujar bahwa semua ini diraih berkat kesungguhan dan kerja kerasnya.
Cat buatannya banyak dicari pelanggan karena produknya dianggap mampu bersaing dengan cat dengan merek terkenal. Sementara, produk Edi adalah produk tanpa merek yang dijual lebih murah dari harga cat umumnya. Perbedaan harga tersebut hingga mencapai 50%-75%. Itu sebabnya, banyak orang memesan cat buatannya, apalagi dengan kualitas yang tidak jauh berbeda.
Edi mempunyai dua orang pegawai yang membantu membuat produksi cat tersebut. Cat yang dibuat dari bahan kalsium ini bisa memberikan keuntungan sekitar RP20 juta setiap bulannya. Ini adalah hasil yang memuaskan. Melihat keuntungan dan prospeknya, banyak perusahaan besar mengajaknya kerjasama. Namun, kesempatan tersebut ditolaknya dengan halus. Alasannya, lelaki berambut ikal ini ingin membangun pabrik cat dengan mereknya sendiri.
"Saya tidak berminat untuk kerjasama, lebih baik sedikit demi sedikit saya membangun sendiri. Toh dulu juga saya berangkat dari nol dan kini merasakan hasilnya," tuturnya merendah. Edi percaya, suatu hari nanti dirinya akan memiliki sebuah perusahaan dengan menyandang merek catnya sendiri.

Dari karyawati menjadi pengusaha eksportir
Disamping kuliah di ASMI, wanita muda ini memulai kariernya sebagai karyawan sebuah usaha dagang (sole distributor) di Jakarta. Dengan bekal pengalaman kerja dan modal yang pas-pasan pada tahun 1984 dia mendirikan perusahaan sebagai supplier peralatan listrik, mekanik dan telekomunikasi di beberapa Departemen / BUMN.
Setelah melalui berbagai perjuangan untuk memperoleh peluang bisnis yang lebih menjanjikan, pada tahun 1987 setelah memperoleh calon pembeli dari Jepang, merintis budi daya ikan pembawa hoki alias Arwana Super Red yang satu-satunya di dunia hanya terdapat di hulu Sungai Kapuas. Perdagangan ikan inipun dilakukan dengan tidak melanggar aturan yang telah digariskan dalam konvensi perdagangan internasional untuk satwa yang dilindungi (CITES).
Dengan segala upaya akhirnya pada tahun 1990 dapat terlaksana ekspor perdana ke Jepang dengan quota 1.250 ekor per-tahun. Disamping kegiatan tersebut, pada tahun 1989 dimulai kegiatan usaha pengolahan kayu untuk eksport ke Taiwan dan kemudian dikembangkan dengan pembuatan perabot bayi (baby furniture) dengan tujuan eksport ke Kanada, Amerika dan Inggris yang berlangsung hingga saat ini. Namun tidak berarti bahwa apa yang telah dicapai ini semuanya diperoleh dengan mudah.
Banyak sudah liku-liku yang dialaminya termasuk pengalaman ditipu oleh importir, dimana hal yang satu ini memang sering dialami oleh para eksportir kita. Pengusaha dalam kisah sukses ini adalah Nina Tursinah, pemilik Nusa Wasana Sejati Group.


Bisnis Batu Onyx Untungnya Menggiurkan

Hantaman krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tak mempengaruhi bisnis batu onyx, batu alam tembus cahaya berwarna kehijauan yang kerap dijadikan hiasan. Malahan kini para pebisnis batu onyx yang berpusat di Tulungagung (Jawa Timur) mampu meraup untung puluhan juta rupiah per bulan. Maklum, batu onix memang mempunyai penggemar yang fanatik karena keindahannya.

Seorang pengrajin batu onyx asal Tulungagung bernama Imam Hanafi mengaku dirinya dalam sebulan mampu mengantungi untung yang sangat lumayan.” Sekarang dalam sebulan saya bisa memperoleh omzet kotor Rp 50 juta, terkadang bisa lebih," jelas Imam. Sebelumnya, ia mengaku hanya memperoleh omzet kotor sekitar Rp 10 juta per bulannya.

Menurut Imam, pelanggan terbanyak batu onyx masih datang dari dalam negeri. Tapi, ia menyebutkan bahwa produknya juga sudah menembus pasar luar negeri walau tidak secara khusus diekspor olehnya sendiri. “Saya masih harus lewat perantaraan tangan orang kedua atau ketiga bila mau menjual ke luar negeri,” tutur Imam. Otomatis, ia tidak bisa secara optimal menangguk untung karena panjangnya rantai penjualan.

Kini, Imam melihat ada kecenderungan baru dari para buyer dari luar negeri dalam membeli produk batu hiasnya. Alih-alih lewat perantara, para pembeli asing sekarang malah langsung mendatangi pabrik batu onyx di Tulungagung. Malahan, para pembeli itu langsung membayar dengan tunai, tentu dengan mata uang rupiah. "Saya jadi tahu kalau penjualan batu onyx sangat bagus di luar negeri, terutama di Jerman,” cerita Imam.

Untuk batu onyx yang telah dibentuk seperti sebutir telur, Imam menjualnya dengan harga Rp 1000 per butir. Sedangkan yang paling mahal adalah batu onix berbentuk meja dan hiasan kuda yang mencapai Rp 4 juta. Dengan kata lain semakin besar batu hias onyxnya, maka harganya pun makin mahal.

Ketika ditanya alasannya berkecimpung dalam bisnis batu hias ini, Imam menjawab bahwa dirinya yakin prospek batu onyx sangat bagus. Tak heran bila lalu ia memantapkan diri terjun secara total menggarap batu alam di tahun 1982 dengan modal awal Rp 3 juta. Mulanya, ia memasarkan produknya dengan cara door to door di dalam kota Tulungagung dengan menggunakan sepeda motor. Setelah usahanya maju, sekarang Imam lebih banyak menggunakan jasa ekspedisi. Jumlah karyawannya pun kini telah mencapai 11 orang.

Pasokan batu onyx diperoleh Imam dari para penambang batu yang menjual dengan harga Rp 500 per kilogram. Dalam satu bulan, usaha yang dijalankan Imam mampu menghabiskan 8 ton batu.

Berbeda dengan UKM lainnya yang umumnya mengkuatirkan masalah permodalan, Imam mengaku kendala yang dihadapinya justru terletak pada strategi menjaga usahanya agar tetap tetap bertahan. Sebab, menurutnya, kini tingkat persaingan semakin sengit akibat banyaknya penjual kerajinan Onyx yang padda akhirnya mengakibatkan persaingan pada harga produk.

Nah, untuk mengatasi permasalahan itu maka bisa ditempuh alternatif lain yaitu membentuk wadah bersama para pengrajin batu onyx Tulungagung. Entah berbentuk koperasi atau asosiasi, setidaknya dengan adanya wadah bersama itu maka persaingan adu banting harga bisa diminimalisir. Selain itu, pasar ekspor pun akan semakin mudah ditembus jika para pengrajin batu onyx bisa menyatukan langkahnya ke pasar global.
[rr/ db]



 Tas Kualitas Ekspor Berharga Lokal


Jika anda sedang mencari produsen tas berkualitas ekspor yang sanggup menjual produknya dengan harga murah, rasanya kompleks Pusat Industri Kecil (PIK) Penggilingan di Jakarta Timur layak dikunjungi. Di sentra industri tersebut, berbagai macam model tas dilego dengan harga sangat miring oleh produsennya. Bayangkan, tas yang biasa dipakai untuk seminar ada yang dijual hanya seharga Rp 1.750. Alias lebih murah dari harga satu bungkus rokok!

Padahal, mutu tas buatan PIK Penggilingan itu tidak bisa dianggap remeh. Menurut penuturan Kepala Produksi PT Aneka Maju di Penggilingan bernama Salam (56), produk tasnya malah sudah diekspor ke Brunei dan Malaysia dalam jumlah besar. Jelas, hanya tas bermutu bagus yang bisa dilempar ke pasar luar negeri.

Selidik punya selidik, ternyata harga super miring tas made in Penggilingan memang ada penyebabnya. Berdasarkan penuturan Salam, di PIK Penggilingan memang ada sebuah konsensus unik. “ Di kawasan PIK Penggilingan, siapapun berhak membanting harga hingga seminim dan semurah mungkin. Namun tidak diperbolehkan menjelek-jelekkan saingannya, “ terang Salam. Jadi, lanjutnya, para produsen tas memang menjadikan ajang banting harga sebagai senjata andalannya meraih pembeli.

Rupanya, filosofi bahwa konsumen selalu mencari barang termurah benar-benar disadari para produsen tas di PIK Penggilingan. “Meskipun harga produk kami murah, tapi kami tetap bersaing dalam hal kualitas,” kata Salam. Tidak kalah pentingnya, ia menuturkan satu lagi kiat mendapatkan pelanggan yaitu selalu menepati waktu pembuatan tas. “Jangan sampai waktu yang dijanjikan habis, tasnya belum jadi. Pembeli bisa batal menjadi langganan,” tambahnya.

Paduan harga murah, kualitas ekspor, dan ketepatan waktu ternyata cukup efektif dalam menjaring para pembeli. Tas jemaah haji dari Indonesia sebagian juga dibuat oleh para pengrajin tas di PIK Penggilingan macam perusahaan dimana Salam bekerja. Hebatnya, hanya dengan tenaga sebanyak 30 orang, ribuan tas jemaah haji sanggup diselesaikan hanya dalam tempo satu minggu.

Berbagai model tas, mulai dari tas seminar, tas wanita, sampai “tas kantoran” juga disanggupi untuk dibuat. Harga yang dipatok untuk setiap tas juga disesuaikan dengan faktor kesulitan pembuatannya. Semakin rumit desain yang dipesan maka semakin tinggi pula harganya. Selain itu, jumlah pesanan pun menentukan harga. Untuk model tas seminar, Salam menjual tas dengan bahan baik dan desain rumit seharga Rp 17.500. Sedangkan tas jemaah haji dilego antara Rp 60.000 sampai dengan Rp. 90.000.

Para pekerja di PIK Penggilingan mampu merampungkan dua lusin tas per hari jika desain dan tingkat kesulitannya sederhana. Jika desainnya rumit, dalam satu hari mampu diproduksi 5 buah tas. Jika pesanan waktunya mepet, tak jarang jumlah pekerja ditambah dan harus bekerja lembur.

Menurut Salam, lantaran keterbatasan modal dan bahan baku maka kebanyakan pengrajin tas hanya berproduksi berdasarkan pemesanan. “Tapi alhamdulillah tiap hari ada saja yang kami kerjakan,” ujar Salam. Yang pasti, para pengrajin tas di PIK Penggilingan menyanggupi mengerjakan berapapun banyaknya pesanan yang datang.

Bagi konsumen yang hanya ingin membeli tas dalam partai kecil, para pengrajin PIK Penggilingan juga menyediakan semacam kios yang berfungsi juga sebagai ruang pamer bagi pembeli dari luar negeri.

Tak mengherankan para pedagang tas banyak yang mengambil dagangannya di PIK Penggilingan. Menurut penuturan seorang pedagang tas yang sedang mengambil pesanannya, mutu tas bikinan PIK Penggilingan sangat bersaing. “Saingan berat tas dari PIK ini adalah tas asal Bandung,” ujar Yarlis, sang pedagang tas itu.

Hanya saja, dengan lokasinya di Jakarta, PIK Penggilingan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan produk Bandung yaitu kecepatan informasi model tas yang sedang ngetrend dan kedekatannya dengan pelabuhan ekspor yaitu Tanjung Priok. Nah, yang terakhir ini jelas cukup lumayan dalam menghemat ongkos transport sehingga mampu menekan harga produk tas yang diekspor.
[rr/ dam]



Adu Kreatif Di Bisnis Warnet


Menuruti nasehat orang tua ternyata memang ada benarnya. Hal itu dirasakan oleh Rudi Tanuwijaya (22 tahun), pemuda yang tinggal di daerah Karet Kuningan, Jakarta. Sepulang dari bersekolah di Amerika sekitar 1,5 tahun yang lalu, seorang teman mengajak Rudi berkongsi mendirikan warung internet (warnet). Walau mengaku sempat tertarik dengan ajakan itu, namun Rudi akhirnya memilih menuruti nasehat orang tuanya yang menyarankan agar membuka sendiri usaha warnet.

Bermodalkan uang Rp 100 juta, Rudi pun segera merombak garasi rumahnya yang berukuran 8x4 meter menjadi sebuah warnet dengan 8 unit komputer. “Saya paling banyak menghabiskan modal untuk merenovasi bangunan. Kalau untuk beli komputer malah tidak begitu mahal,” ujar pria lajang ini. Maklum, menurut Rudi, perangkat komputer warnetnya didapatkan dari seorang kakaknya yang kebetulan bekerja di perusahaan dealer komputer.

Setelah semua persiapan selesai, dibukalah usaha milik Rudi dengan nama “Warnet V-net”. Tarip yang dikenakan pada pengguna internet di warnetnya adalah Rp 5000 perjam.

Yang menarik, sebelum memutuskan membuka warnet sendiri, Rudi sempat melakukan “survey pasar” terlebih dulu. Puluhan warnet di seputar Jabotabek pun dijelajahinya untuk membaca keinginan para pengguna komputer. ”Saya akhirnya tahu bahwa konsumen warnet paling jengkel bila sambungan internetnya lamban,” cerita Rudi. Bercermin dari temuan itu, Rudi lantas memakai dua modem bagi pengguna internet di warnetnya. Bahkan untuk lebih memuaskan pelanggannya, ia telah menyiapkan fasilitas satelit untuk koneksi internet.

“Dengan akses cepat, pengguna internet otomatis menjadi pelanggan karena nggak pernah jengkel,” jelas Rudi sambil tersenyum.

Kini, Rudi mengaku modal yang dikeluarkannya telah kembali dan pendapatan kotor yang diraihnya dalam sebulan mencapai Rp 12 juta. Penuturan Rudy tentang break event point yang diperolehnya dalam waktu tidak berapa lama memang masuk akal. Maklum saja, selain tidak banyak kompetitor, fasilitas di Warnet V-net untuk berselancar di jagat maya pun terbilang paling bagus.

Situasi yang sangat berbeda terjadi di sepanjang jalan Margonda Raya, Depok. Di kawasan yang dikelilingi dua universitas yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma itu, puluhan warnet berebut menjaring pelanggan yang kebanyakan adalah mahasiswa. Tak pelak, perang harga dan perang fasilitas digelar secara terbuka.

Warnet Linknet yang berada di sekitar kampus Gunadarma menempuh kiat khusus untuk mendapatkan pelanggan setia. Bagi pelanggan yang mendaftarkan diri sebagai anggota warnet dengan uang iuran RP 10 ribu per bulan, maka mereka akan mendapatkan harga diskon. “Jadi, anggota kami hanya membayar Rp 1500 per 15 menit. Tarif normalnya adalah Rp 2000,” jelas Susi yang menjaga warnet itu.

Fasilitas lain yang warnet Linknet adalah minuman ringan bagi pemakaian satu jam. Selain itu, tersedia pula kupon bagi pemakaian 1 jam dan kelipatannya yang diundi seminggu sekali. Hadiahnya adalah akses gratis selama 2 jam. Dengan 6 unit komputer, Susi menuturkan warnetnya dapat mengantongi keuntungan bersih sampai Rp 400 ribu per bulan.

Lain lagi cara yang ditempuh Alizar (61 tahun), pemilik warnet Smartnet yang letaknya tidak berjauhan dari Linknet.Pensiunan karyawan Pertamina ini memilih mendadani warnetnya dengan gaya lesehan ala Malioboro. “Biar para pelanggan bisa merasa lebih santai,” ujar Alizar yang menetapkan tarif Rp 6000 perjam. Ia mengaku pendapatan yang diperolehnya mencapai Rp 300 ribu per bulan.

Rupanya, bisnis warnet memang masih menjanjikan. Dan, kreativitas dan terobosan baru dari pebisnis warnet menjadi ujung tombak dalam menjaring pelanggan setia.
[bw/ dam]
 
Kiat Sukses Penyamakan Kulit Milik Sarjana IAIN

Untuk mendapatkan yang terbaik memang diperlukan ketekunan, perjuangan, dan kerja keras. Semangat itulah yang selalu membara di dalam diri Yusuf Tojiri (34 tahun), seorang pengrajin penyamakan kulit di Garut. Dengan berbekal semangat tak kenal menyerah itu, kini Yusuf sudah bisa tersenyum karena tiap bulannya ia mampu mengantungi laba bersih sebesar Rp 20 juta, dari omzet per bulan yang dalam mencapai Rp 300 juta.

Jumlah yang cukup lumayan mengingat modal awal yang ditanamkan Yusuf di tahun 1992 hanyalah sebesar Rp 10 juta. Cerita sukses Yusuf dimulai saat ia menamatkan pendidikan pendidikannya di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung di tahun 1992. Rupanya, faktor lingkungan tempat tinggalnya sangat mempengaruhi Yusuf dalam memilih mata pencaharian. Maklum, tetangga-tetangga Yusuf mayoritas memang menggeluti usaha penyamakan kulit.

“Terus terang, saya memulai usaha penyamakan kulit karena ketertarikan saya pada usaha ini,” ujar Yusuf.

Tanpa membuang banyak waktu, Yusuf segera mendirikan Perusahaan Dagang (PD) Endies yang beralamat di Jl. Balong Suci No. 402, Garut, Jawa Barat. Saat itu, ia hanya dibantu 2 orang karyawannya. Walau terhitung skalanya kecil bila dibandingkan pengrajin lainnya yang sudah senior, namun hal itu tidak membuat Yusuf berkecil hati.

Dalam mengembangkan usahanya, Yusuf mempunyai kiat-kiat tersendiri. Tanpa henti-hentinya, bapak dua orang anak ini selalu memperbaiki kualitas mutu produk kulitnya. Sebagai acuan, Yusuf selalu mengikuti standarisasi perkumpulan pengrajin kulit Garut.

Dan, usahanya tidak sia-sia. Sekarang produk kulit dari PD Endies sudah mampu menyamai kualitas produk serupa dari pabrikan besar. “Kunci kulit yang kualitasnya bagus adalah unsur kimianya ramah lingkungan, serta kepadatan dan kelenturan kulitnya. “Jadi, kalau mau meningkatkan kualitas maka kita tidak lagi harus bersusah payah mencari pasar. Sebab, pasarlah yang akan mencari kita,” tandas Yusuf.

Apresiasi pasar yang positif terhadap kulit hasil penyamakan Yusuf terlihat dari makin bertambahnya permintaan kulit dari pembelinya yang berasal dari Bali dan Yogya. Kebanyakan, jelas Yusuf, kulit produksinya dibuat sebagai bahan baku jaket yang diekspor ke Australia, Amerika, dan Eropa. Bahkan, Yusuf sempat merasa kewalahan karena derasnya permintaan pasar.

Oleh sebab itu, untuk memperbesar usahanya, di tahun 1997 Yusuf mengajukan permohonan pinjaman lunak pada Jabar Ventura. “Alhamdulillah, ternyata permohonan saya dikabulkan sebesar Rp 100 juta sehingga saya bisa memperbesar usaha,” ujarnya. Selain bantuan modal, Jabar Ventura juga memberikan bantuan berupa pengembangan usaha melalui pelatihan manajemen usaha. “Saya merasa bantuan dari Jabar Ventura sangat positif sekali. Apalagi untuk pengembangan usaha macam penertiban administratif,” tutur Yusuf.

Setalah mendapat bantuan dari Jabar Ventura, Yusuf pun mampu meningkatkan usahanya. Rata-rata, dengan memakai bahan baku kulit domba mentah yang didapat dari Garut, Bandung, Cirebon, dan Tasikmalaya, Yusuf mampu memproduksi 1000 lembar kulit jadi per minggu. Dan, bahan mentah yang dipakai berjumlah 8000 square feet.

Sayangnya, saat ini ada kendala yang menghadang dalam perolehan bahan baku. Akibat kebijakan pemeritah yang melarang impor kulit, kini terjadi “rebutan” bahan baku kulit mentah di antara pengusaha peyamakan kulit. “Tak jarang, kami harus berlomba mendapatkan kulit mentah dengan perusahaan yang besar,” keluh Yusuf yang tergolong pengusaha kelas home industry.

Tapi, hambatan tadi sama sekali tidak menyurutkan obsesi Yusuf untuk mendirikan pabrik penyamakan kulit pada tahun ini. Tidak sembarang pabrik, ia menginginkan pabrik miliknya nanti haruslah ramah lingkungan. Menurut Yusuf, limbah industri penyamakan kulit yang paling berbahaya adalah chrome yang merupakan bahan kimia beracun bagi manusia. Chrome biasa digunakan dalam proses tanning kulit mentah.

Nah, berbekal pengetahuan dari seorang temannya yang berasal dari Yogyakarta, Yusuf merencanakan akan menggunakan proses daur ulang chrome yang dinamakan Chrome Recovery. Dengan cara ini, limbah asal bisa digunakan lagi dalam produksi penyamakan kulit.

Jadi, dengan berdirinya pabrik, nantinya Yusuf bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Selain dapat meningkatkan kualitas dan kapasitas produksinya, penghematan biaya produksi dapat didapat dengan memakai sistem Chrome Recovery. Pundi-pundi Yusuf pun akan semakin penuh.

DARI BERBAGAI SUMBER

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit

KISAH PELAYAN MENJADI MANAGER JARINGAN HOTEL DUNIA