Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit


Cerita Petani Sawit Sukses dari Ende Merantau ke Kutai


Memiliki penghasilan besar adalah keinginan tiap orang, tak terkecuali Ahmad (43). Pria asal Ende, Nusa Tenggara Timur itu memilih mengadu nasib ke Kutai Timur, Kalimantan Timur, untuk menjadi petani.
Dengan uang yang dimilikinya, Ahmad membeli enam hektare tanah di Desa Suka Maju, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kaltim. Di tanah miliknya itu, Ahmad bertani kelapa sawit. Alhasil, kini penghasilannya mencapai Rp 18 juta per bulan.
Dalam sebulan, kebun kelapa sawit milik Ahmad bisa dua kali panen. Dari penjualan tandan buah segar (TBS) sawit setiap dua kali dalam satu bulan dia memperoleh hasil kotor rata-rata hingga Rp 21 juta.
“Jadi pendapatan kotor sebesar Rp 24 juta kemudian dikurangi biaya operasional, obat dan pupuk serta pekerja, saya masih memperoleh Rp 9 juta atau Rp 18 juta per bulan,” katanya, Sabtu (20/7).
Ahmad yang didampingi istri Idawati dan ketiga anaknya saat berada di Sangatta, mengatakan, kebun kelapa sawit miliknya telah ditanam sejak 2002. Saat ini dia mengaku sudah menikmati hasil jerih payahnya.
“Saya dengan keluarga sangat bersyukur kepada Tuhan dengan rezeki yang diberikan. Saya dan keluarga juga sangat berterima kasih kepada Pemkab Kutai Timur selama ini memberikan perhatian kepada semua petani,” ucapnya, seperti dilansir Antara.
Menurutnya, bibit kelapa sawit dibagikan kepada warga secara gratis oleh Pemkab melalui Dinas Perkebunan, untuk ditanam di atas lahan masing-masing. “Syukur sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati,” kata Ahmad, yang mengendarai mobil Suzuki pickup nomor polisi KT-8251-CD.
Dia mengatakan, untuk penjualan TBS sawit tidak sulit, karena berapapun banyaknya semua dibeli oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kedatangan Ahmad bersama istri dan anaknya ke Sangatta menurut mereka untuk melanjutkan perjalanan ke Tenggarong, Kutai Kartanagera, Kaltim, mengunjungi keluarga sang istri.
“Kebetulan saya asli berasal dari daerah Ende, NTT, sedangkan istri asli Kutai. Kami ke Tenggarong untuk Lebaran bersama keluarga,” ujar petani sukses itu.
Dia mengantar istri dan anak dulu, kemudian balik lagi ke Wahau mengurus kebun. “Nanti dekat lebaran saya nyusul lagi ke Tenggarong,” katanya.

Cerita Sukses Usman dan Purba dari Berkebun Sawit


Rumah di Jl Pancasila No 1, Dusun Tani Jaya, Desa Pusat Damai , Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu tampak beda. Terlihat kebun sawit seluas 0,2 hektar usia sembilan bulan di pekarangannya.
Kebun tersebut milik warga suku Dayak Kendayan bernama Usman (40). Saat ditemui di kediamannya, Kamis, 25/10, Usman menuturkan sudah mengenal kelapa sawit sejak dini. Perkenalannya dimulai sejak 1986, ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri 24, Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Saat itu, ia menjadi buruh lepas selama dua bulan di perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII). “Saat itu, saya merasakan betapa sakit menjadi buruh yang hanya dibayar Rp 1.500 per hari,” ujarnya.
Pada 1999, Usman berpikir untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara swakelola untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. “Saat itu, saya sama sekali tidak membayangkan akan berhasil membuka kebun kelapa sawit seluas 18 hektar,” cerita alumnus Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Kalbar) ini.
Tiga tahun kemudian, 18 hektar kebun sawit itu panen perdana 1,2 ton tandan buah sawit (TBS). Kebun sawit yang berlokasi di Ngabang, Kabupaten Landak, Kalbar, ini terus ia kembangkan hingga sekarang.
Kini, Usman adalah pemilik 215 hektar kebun sawit. “Seluas 58 hektar dari kebun itu sudah berproduksi, dan hasilnya mampu membiayai kebun baru, dan meremajakan tanaman tua,” lanjut anak kedua dari enam bersaudara ini.
Kunci sukses
Usman menilai, kebun sawit punya prospek cemerlang di masa depan, karena pengelolaannya tidak membutuhkan keahlian khusus. Kerjanya sederhana, tak ada penyakit tanaman, yang ada hanya “hama manusia” saja. ”Dari usaha kelapa sawit, saya dapat meningkatkan perekomonian keluarga. Sampai saat ini, saya masih terus menanam dan mengembangkan kelapa sawit,” demikian alumnus Universitas Kapuas Sintang, Kalbar ini.
Selain itu, ia menilai kebun sawit menguntungkan jika dikelola secara mandiri, tidak bermitra dengan perusahaan. Menurut hasil penelitian tesisnya yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Dae­rah Kabupaten Sanggau dalam Pengaturan Perkebunan Kelapa Sawit Pola Kemitraan di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau”, para petani kelapa sawit hanya mendapatkan penghasilan Rp 300.000 per bulan jika bermitra dengan perusahaan. “Dari sini terlihat jelas bahwa dalam pola ke­mitraan, pihak petani yang paling dirugikan. Jika ingin sukses, se­baiknya perkebunan kelapa sawit dikelola secara mandiri,” beber Usman yang juga alumnus Program Magister Ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura, Pontianak ini.
Usman menyarankan, jika petani punya lahan lima hektar misalnya, sebaiknya ia menanam, mengelola, dan menjual hasil kebun sawit secara mandiri. Dengan cara itu, petani dapat hidup lebih sejahtera.
Menurut warga Paroki St Perawan Maria Tak Bernoda, Pusat Damai, Ke­uskupan Sanggau ini, seorang perkebun sawit harus mampu merawat kebunnya se­cara optimal, antara lain dengan membe­ri pupuk yang tidak berlebihan. “Kita ini orang biasa, tidak perlu kebun yang be­sar, yang penting terawat dengan baik,” ujar pria kelahiran Pampang, 10 Desember 1972 ini.
Kendati terpaksa harus bermitra, alangkah baiknya tidak menyerahkan seluruh lahan perkebunan kepada pihak perusahaan. Usman mencontohkan, jika petani punya lahan kebun seluas 10 hektar, cukup diserahkan kepada perusahaan dua hektar.
Bermitra dengan perusahaan ibarat “batu loncatan”. Salah satu keuntungan bermitra dengan perusahaan adalah terbangunnya infrastruktur jalan yang tadinya tidak ada. Namun, jangan serahkan seluruh lahan perkebunan, jika tidak ingin menjadi buruh di tanah sendiri. Sebab, buruh hanya akan mendapatkan upah yang minimum, serta diatur pihak perusahaan.
Saat ini, Usman telah mempekerjakan 22 tenaga terdiri dari dua pengawas ke­bun, 12 karyawan tetap, serta de­lapan buruh lepas. Dua belas orang di antaranya berasal dari Jawa Tengah. Upah yang didapat para karyawan rata-rata Rp 1.500.000 per bulan.
Keunggulan sawit
Sukses juga diraih Digdo Purba (57), warga Paroki Santa Theresia Nobal, Ke­uskupan Sintang, Kalbar. Pada 1999, Purba membuka lahan seluas 10 hektar di Desa Nobal untuk ditanami ke­lapa sawit. Awalnya, ia bekerjasama de­ngan perusahaan selama enam tahun. Sehingga, ada pembagian hasil antara Purba dengan perusahaan. “Delapan puluh persen untuk perusahaan, dua puluh persen untuk saya,” katanya.
Setelah masa kerjasama berakhir, Purba mengelola kebun sawit seluas 10 hektar itu secara mandiri. Laba yang ia peroleh dari kebun itu, ia kembangkan dengan membuka lagi lahan seluas de­lapan hektar. Saat ini, Purba memiliki 18 hektar kebun sawit yang ia kelola se­cara mandiri.
Dari hasil berkebun, Purba berhasil membiayai kuliah tiga anaknya, dan dua anak yang masih di SD. “Yang pertama lulus S1 Universitas Trisakti. Anak kedua sedang mengambil Program S2 di Universitas Sumatra Utara, dan anak ke­tiga kuliah Program S1 di Universitas Bina Nusantara Jakarta,” ungkapnya.
Menurut Purba, berkebun kelapa sawit lebih menguntungkan daripada berkebun karet. Tiga alasan utama ia jabarkan ketika diwawancarai di rumahnya di Desa Nobal, Kabupaten Sintang, Kalbar, Sabtu, 20/10.
“Pertama, jika berkebun karet, bila hujan, kita tidak bisa menyadap,” ungkapnya. Bila menyadap di saat hujan, getah karet bisa menyatu dengan air hujan. “Akibatnya, panen kita gagal,” je­lasnya.
Selain itu, jika pohon karet sering disadap hingga ke bagian batang, maka be­berapa tahun kemudian pohon karet akan tumbang. “Memang tetesan getah le­bih deras ketika disadap pada bagian batang, tapi tunggu empat tahun lagi, pohon karet itu akan roboh,” ucapnya. Inilah faktor kedua yang menjadi pertimbangan Purba.
Lalu, faktor ketiga, Purba melihat minimnya harga jual hasil panen. Harga getah karet di Pontianak tidak pasti. “Tidak ada ketentuan harga, sebab yang me­nentukan para distributor yang lebih dikenal dengan sebutan tengkulak,” kata Purba. Sehingga, satu kilogram getah karet bisa dihargai Rp 4.000.
Karena mempertimbangkan ketiga faktor tersebut, Purba memilih berkebun sawit. “Sejak saya bertani, Puji Tuhan anak-anak saya bisa sekolah sampai sarjana,” ujarnya.
Aprianita Ganadi/Birgitta Ajeng -

Dari Sepeda Kumbang ke Toyota Fortuner (Kisah Sukses Petani Sawit dari Hutan Pelelawan)



SEPEDA kumbang tua tergantung di dinding. Warnanya kusam, terbalut karat.
“Inilah harta saya satu-satunya saat saya meninggalkan desa, bertransmigrasi ke sini tahun 1990,” kata Suprianto, petani sawit di Kecamatan Pangkalan Lesung, Pelelawan, Riau, kemarin.
Kini, Supri (panggilan akrabnya) ke mana-mana mengendarai Toyota Fortuner yang dibelinya tahun lalu seharga Rp420 juta. Dua mobilnya yang lain digunakan untuk mengangkut hasil panen sawit. Bahkan, dua mobilnya yang lain lagi, diberikan kepada dua anaknya yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
Supri kini jadi simbol petani sukses. Dia menjadi mitra PT Sari Lembah Subur, produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) anak perusahaan PT Astra Agro Lestari (Grup Astra Internasional). PT Sari Lembah Subur memiliki dua pabrik pengolahan CPO di Pelelawan. Pabrik 1 memproduksi 60 ton CPO per jam, pabrik 2 kapasitasnya 30 ton per jam.
Rumah Supri tampak megah senilai sekitar Rp900 juta di Pangkalan Lesung, Riau, mempertegas kesuksesannya. Rumah dua lantai itu kelihatan moncer di tengah kebun sawit. Padahal, rumah itu pada 1990 sangat sederhana, sebagaimana umumnya rumah untuk para transmigran.
Ditanya wartawan, apa kiat suksesnya? Supri tak segera menjawab. Matanya memandang kebun sawit, seolah ia berusaha mengingat-ingat. “Apa, ya,” gumamnya. “Pokoknya, saya kerja terus, pantang menyerah,” katnya.
Supri kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 1963. Ia mengenyam pendidikan sampai SMP. Dia menyebutnya S-2 “Bukan sarjana, lho, tapi SD dan SMP,” ujarnya ketawa.
Setelah dewasa dia bekerja sebagai kuli bangunan, lantas meningkat jadi tukang bangunan. Kenalan dengan gadis asal Trenggalek, Jawa Timur, bernama Miasih, saat mereka sama-sama main di sebuah lapangan bola di Trenggalek. Mereka pun berpacaran.
Tahun 1988 Supri-Miasih menikah secara sederhana di rumah orang tua Miasih di Trenggalek. “Perayaannya sederhana sekali. Hanya dihadiri keluarga dan sebagian teman kami,” kenang Supri.
Miasih yang mendampingi Supri saat wawancara, tersenyum memandang suaminya yang sedang bercerita. Dia menimpali, “Waktu itu saya masih umur 16,” katanya.
Meski penghasilan Supri tidak stabil, tapi pengantin baru ini tetap bahagia. “Kalau saya dapat garapan (pekerjaan) membangun rumah, kami bisa makan enak. Kalau sepi garapan, kami makan seadanya,” kenang Supri.
Upaya Mengubah Nasib
Tapi, ketika anak pertama mereka, Mawan Haryanto, lahir pada 5 Mei 1990, keluarga muda ini mulai gelisah. “Kalau hidup kita begini terus, bagaimana membiayai sekolah anak kita, Pak?” kata Miasih pada suaminya. Mereka mulai galau.
Supri diberitahu tetangganya bahwa ada empat transmigran di Riau yang balik kampung, meninggalkan rumah jatah transmigrasi. “Tanpa banyak pikir, saya berniat menggantikannya. Kebetulan, isteri mendukung niat ini,” kenangnya.
Tapi, ada biaya administrasi untuk itu. Besarnya Rp350.000. “Saya berusaha sana-sini, akhirnya dapat uang segitu. Maka, kami sekeluarga berangkat,” ceritanya.
Apa saja yang dibawa dari desa? “Pakaian, sedikit perabot dapur, alat pertukangan, dan sepeda kumbang yang biasa saya pakai,” jawabnya. Mawan saat itu masih bayi lima bulan. Mereka diangkut kapal menuju Riau.
Tiba di lokasi, Supri dan isterinya kaget. “Kondisinya sepi di tengah hutan. Jarak dengan tetangga sangat jauh, tidak seperti di Tulungagung,” ceritanya. Supri membawa oblik (lampu minyak) sebab sudah diberitahu bahwa belum ada listrik.
Rumah jatah transmigrasi itu ukuran 5 x 7 meter di atas lahan setengah hektare. Ada satu kamar, ruang tamu, dan dapur. Atap seng, dinding papan, lantai tanah. Di dalam kamar ada balai kayu untuk tempat tidur. Oleh Supri diberi alas tikar untuk tidur mereka.
“Selama seminggu kami tidak bisa tidur nyenyak, sebab tiap malam anak saya selalu nangis, digigit nyamuk,” kenangnya. Siang harinya si bayi tetap tidak bisa tidur, sebab atap seng membuat suhu dalam rumah terasa panas.
“Sampai saya akali dengan membuat bentangan plastik di atas tempat tidur, supaya tidak terlalu panas. Dengan begitu anak saya bisa tidur,” tuturnya.
Bagaimana makanan? “Ada jatah beras dan ikan asin. Tapi, sejak hari kedua saya sudah mulai menanam padi, jagung, palawija di pekarangan. Bibitnya, minta tetangga,” jawabnya.
Kemudian pekerjaan bertanam diserahkan ke isterinya, sedangkan Supri mencari pekerjaan (sebagai tukang bangunan) di Air Molek, sekitar 25 kilometer dari rumahnya. “Saya berangkat pagi buta, numpang truk yang lewat. Pulangnya sore, numpang truk juga,” katanya.
Rejeki dari buah sawit
Sesuai aturan, transmigran mendapat jatah tanah garapan dua hektar, selain setengah hektar pekarangan rumah. Namun, jatah tanah garapan Supri baru dia terima dua tahun kemudian.
Sejak itulah, lahan dua hektar digarap maksimal. “Saya tanami sawit, sebab hasil panen langsung dibeli PT Sari Lembah Subur (SLS). Bibitnya juga pinjam dari SLS,” katanya.
Ekonomi keluarga Supri jadi membaik dengan menjadi petani sawit. Pada 1993 lahirlah anak kedua, Rini Widowati (kini masih kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, sementara Mawan sudah lulus dari almamater yang sama dan bertugas sebagai dokter di Jember, Jatim).
Tak puas menjadi petani sawit, Supri membuka usaha pembuatan bahan rumah tangga dari kayu. Produknya pintu, jendela, kusen, lemari, meja, kursi. Ini sejalan dengan keahliannya sebagai tukang bangunan. Awalnya, dia membuka usaha di halaman rumahnya, pada 2004 dengan empat karyawan. Setahun kemudian dia membuka cabang di Air Molek dengan empat karyawan juga.
Ditanya, berapa omzet usaha usaha itu? Supri tersenyum, enggan menyebut angka. Sedangkan penghasilan dari kebun sawit berapa? Lagi-lagi, ia enggan menyebutkan angka.
Apakah anda punya investasi? “Saya punya kebun sawit 50 hektare di Kalimantan,” jawabnya. Pengelolaanya dia percayakan kepada saudaranya. Total penghasilan Supri sebenarnya melebihi gaji direksi bank swasta tingkat menengah.
Kesejahteraan keluarga Supri terukur ketika dia memperbaiki rumahnya. Pada 2005 (15 tahun sejak dia masuk Riau) Supri sudah punya tabungan lebih dari Rp30 juta.
“Waktu merehab rumah ini (2005), tabungan isteri saya Rp28 juta buat beli bahan bangunan,” kenangnya. Itu belum termasuk ongkos kerja yang dia kerjakan dibantu beberapa tukang dari Jawa Timur. Juga tidak termasuk perabotan kayu yang diproduksi sendiri. Hasilnya, bangunan rumah berlantai dua itu memang tampak megah.
Bagaimana kinerja Supri sebagai pemasok sawit ke PT SLS? “Yang tahu persis sebenarnya pihak KUD Amanah,” jawab Administratur PT SLS, Nyoman Pande Sutantra. “Tapi, melihat kesuksesan dia, mestinya kinerja dia bagus,” tambahnya.
Menurut Nyoman, rata-rata petani pemasok sawit ke PT SLS berkinerja bagus. Kriterianya teruji melalui kualitas sawit yang dipasok ke PT SLS. Jika petani menanam bibit sawit berkualitas bagus, pasti hasilnya bagus juga.
Di kalangan tetangga, Supri dikenal dermawan. “Kalau ada tetangga yang kesulitan, Pak Supri tidak segan-segan membantu,” kata salah seorang tetangganya.
Namun, tidak ada keluarga Supri yang melanjutkan jadi petani sawit. Dua anaknya bakal sama-sama praktek dokter di Jawa Timur, kota kelahiran orang tuanya. Jika Supri sudah tua, tak ada lagi yang melanjutkan usahanya sebagai petani.
Kendati begitu, bagi Supri itu tidak masalah. “Justru bagus. Bapak-ibunya petani, anak-anaknya jadi dokter. Saya bersyukur pada Allah atas semua karunia-Nya ini,” katanya. (iz)

Dari Perotan, Kini Berpenghasilan Rp10 Juta Perbulan (Kisah Petani Sawit)


PERKEBUNAN Inti rakyat (PIR) kelapa sawit menyisahkan cerita panjang bagi petani dan buruhnya. Dari mulai cerita sedih, gagal dan harus menjual lahan selalu sering mengemuka. Tetapi, tidak sedikit petani dan buruh tani sawit perlahan taraf kehidupannya membaik akibat PIR. Benarkah kisah sukses para petani ini karena keteguhannya? Atau karena keuletannya? Berikut Mercusuar menyusuri dataran Toili – lahan terbesar yang banyak petani plasma dengan perkebunan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati.
Oleh: Andono Wibisono/ Aji Suriansyah
Wilayah Kecamatan Toili dan Toili Barat Kabupaten Banggai kini mulai ditumbuhi kelapa sawit. Di areal dataran ini, sesuai dengan Izin usaha tetap dari BKPMD Sulteng ke PT KLS seluas 9.081,52 hektar dengan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor : 15/HGU/2000-BPN Pusat tanggal 11 Oktober 2000 lalu. Belum lagi dengan keterlibatan plasma (lahan petani) yang memang merupakan fatsun dari pola inti rakyat, lahan kelapa sawit mulai banyak di sepanjang jalan yang tim susuri.
Adalah Sawal (38) sejak tahun 1986 ia adalah perotan masuk ke luar hutan. Umumnya semua warga yang laki-laki berprofesi perotan. Sawal yang berasal dari Desa Balingara, Kecamatan Ampana Kabupaten Tojo Unauna (Touna) akhirnya mencoba pindah ke Toili tahun 1998. ‘’Masih merotan waktu itu. Tanah di sini (desanya) masih berhutan,’’ akunya yang masih nampak kotor pakaiannya usai membersihkan lahannya.
Kini, sawal dapat bernafas lega. omset perbulannya telah mencapai Rp10 juta. ‘buah’ kerja kerasnya menjadi plasma sawit tak sia-sia dengan areal lahan yang kini telah dimiliki enam hektar. Awalnya, sawal memperoleh aral konversi dari pemerintah tahun 2004. dengan modal lahan dan ketekunan ia berniat menjadi petani plasma KLS. ‘’Jadi saya sendiri bermohon waktu itu,’’ ungkap Sawal sambil menyeruput rokok di tangannya. Tidak benar kalau dirinya dipaksa menjadi plasma kala itu oleh KLS.
Cerita memilukan juga diungkap Raida (55) ketika ditemui di Desa Samalore Kecamatan Toili, Jum’at (19/3). ‘’Itu rumah gubuk saya dulu,’’ ujarnya sambil menunjuk sebuah bangunan gubuk dari kayu dan pitate bambu. Perempuan setengah abad ini mengaku mulanya ia dan suaminya hanya berkebun coklat dan tanaman keras lainnya.
‘’Dengan modal empat hektar waktu itu masih murah harganya, saya bermohon menjadi plasma di Kurnia. Awalnya memang sulit. Banyak cobaan dan harus selalu dengan sabar waktu itu. Makan apa adanya,’’ ungkapnya dengan bibir gemetaran menahan rasa kesedihan. Keuletan perempuan perokok ini berbuah segar bak buah tandan buah segar. Kini, raida telah memiliki 15 hektar lahan sawit dengan status plasma murni. ‘’Saya dibantu bank perkreditan rakyat Cipta Dana Prima untuk menambah lahan. Sejak tahun 2008 sudah lunas, dan kini ia telah memperoleh kucuran dana lagi dari BPR itu sebanyak Rp50 juta. ‘’Alhamdulillah saya bisa membeli tanah untuk lahan sawit dan sekarang sudah memiliki rumah bangunan permanent ini Pak,’’ ungkapnya sambil menyuguhkan minuman bersoda ke Mercusuar di rumahnya yang permanent dengan sofa merah jambu.
Kisah keduanya juga dialami anak muda yang juga sukses membangun keuletannya di Samalore. Dialah Ardin Ambo Ai (33). Berawal dari lahan konversi satu setengah hektar (2004), Ardin kini telah memiliki delapan hektar lahan sawit dengan status plasma. Diceritakannya, ia dengan petani lainnya dengan membentuk Kelompok Tani Sinar Kayuku mengajukan ke KLS menjadi peserta plasma. Setelah dikabulkan, ia dengan kelompoknya selalu bertekad untuk dapat meraih sukses. ‘’Buktinya saya sekarang tiap bulan bisa pegang uang empat sampai lima juta rupiah. Delapan hektar lahan yang saya peroleh kini masih saya cicil dengan cara kredit di BPR Cipta Dana Prima,’’ tuturnya bangga.
Lantas mengapa ada pula petani yang gagal. Atau menolak perkebunan kelapa sawit? Kata Ardin, ’’Yang tidak tahan dan ulet pasti menjual lahannya. Ada yang ke perusahaan ada juga yang ke masyarakat. Sekarang kami sudah mulai memetik hasilnya, mereka mulai iri dan dengki. Waktu itu saya sudah katakana, janganlah dijual lahan. Karena itu satu-satunya milik kita,’’ ungkap anak muda dua anak ini.
Senada dengan Ardin, Sawal dan Raida pun turut menimpali. ‘’Mereka itu orang-orang yang menyesal sebenarnya. Kami juga kasihan. Tapi sebenarnya, kalau mereka demo itu tidak betul. Karena mereka bukan lagi petani sawit. Yang petani hanya satu orang yang kita kenal,’’ ujar Sawal tegas. Raida pun juga mengangguk-anggukkan kepalanya. ‘’Lihat itu daeng. Sekarang sudah berhasil dan bisa beli mobil truk dua. Saya juga kepingin begitu tapi tetap kerja dan harus mau susah-susah dulu,’’ akunya sambil malu-malu menghirup rokok di depan Mercusuar.
Dari mulut ketiganya juga keluar kata-kata keprihatinan. Ketiganya berharap, apa yang ‘diteriakkan’ para pendemo segera dicarikan jalan keluarnya oleh pemerintah daerah Kabupaten Banggai. ‘’Kalau saya Bupati, banyak lahan masih tak terolah, beri mereka lahan dan konversi secepatnya. Silahkan lagi jadi petani. Ini hanya karena penyesalan mereka (pendemo) tak lagi memiliki lahan atau faktor lainnya,’’ ungkap Ardin.
Berplasma, kata ketiganya, juga diajarkan bagaimana menjaga dan merawat serta mengolah hasilnya. Setiap bulan dilakukan monitoring baik berkaitan dengan pupuk dari PPKS Medan. Kala mengambil hasil panen TBS (tandan buah segar), petani sawit juga memperoleh ‘chek’ dari tim perusahaan. ‘’Kami selalu diarahkan. Kurang pupuklah, kurang tebangan dan lain-lainnya. Kami selalu diarahkan agar panen lebih baik lagi,’’ aku Rasida.
Sebagai komoditas andalan sebagai sumber devisa negara non migas, kelapa sawit menciptakan peluang kerja, dan pelestarian lingkungan hidup sesuai dengan hasil riset Pusat Penelitian Kelapa Sawit (Indonesian Oil Palm Reserch Intitute). Olehnya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga didorong untuk melakukan pabrik atau pengolahan kelapa sawit (PKS), baik dari CPO dan PKO.
KLS sendiri, kata Manager Pabriknya, Ir Klimun S masih mengolah CPO, dan kualitasnya masih rendah. ‘’Ya karena rotasi panen plasma belum dapat dijaga. Terlebih plasma di perkebunan kita hamper 70 persen. Kalau sudah dijaga maka kami yakin kualitas CPO kita sangat baik. Di sini peran pemerintah sebenarnya yang terpenting,’’ tandas putra Jawa kelahiran Sumatera Barat itu.
KLS juga kini sedang mengembangkan hasil olahan TBS yaitu berupa tandan kosong untuk dijadikan kompos (pupuk). Direncanakan pula, KLS akan mengembangkan hasil pangkasan daun dan batang sawit untuk pakan ternak. ‘’Alatnya sudah mulai disiapkan. Bila sudah siap maka akan diolah hasil pangkasan dan dicampur urea sudah jadi pakan ternak,’’ terang Klimun yang menambahkan bahwa kualitas olah pabrik (PKS) PT KLS kualitasnya sama dengan pabrik-pabrik lainnya di wilayah Sumatera. ****
Sumber : http://www.harianmercusuar.com

Jadi Petani Sawit Bisa Beli Fortuner & Land Rover, Wow…!


Kehidupan ekonomi petani kelapa sawit di Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan, Riau tergolong cukup sejahtera. Hanya berkebun kelapa sawit, mereka bisa membangun rumah dan membeli kendaraan roda empat kelas atas seperti Toyota Fortuner, Land Rover dan lain-lain.
“Alhamdulillah saya sudah bisa bangun rumah, banyak juga yang beli kendaraan, Innova, Land Rover, Fortuner, saya sendiri beli Innova, semua dari sawit,” ungkap salah satu petani di Ukui, Riau Sunaryo kepada detikFinance, Rabu (2/5/12).
Sunaryo mengakui dengan menjadi petani sawit, hidupnya lebih sejahtera dibanding pekerjaan sebelumnya petani padi. Ia beralasan dengan berkebun sawit, dalam sebulan ia bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 16 juta.
“Saya garap 8 hektar, dalam satu hektar rata-rata taruh lah Rp 1,5-2 juta, jadi rata-rata bisa Rp 16 juta,” tutur Sunaryo.
Sunaryo yang telah menggarap sawit selama 24 tahun ini pun telah menunaikan ibadah haji berkali-kali. Ia mengaku, sampai sekarang telah 2 kali pergi haji ke Tanah Suci.
“Alhamdulillah saya sudah naik haji 2 kali, Insya Allah tahun 2013 dengan bapak ibu saya, waktu pertama saya sendiri, kedua saya sama istri dan mertuanya. Bahkan musim haji kemarin, desa ini memberangkatkan 22 kepala keluarga untuk pergi haji, semuanya petani sawit,” sambungnya.
Bahkan, dia telah mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang kuliah. Kenyataan ini bagi kebanyakan petani sawit di Ukui, merupakan hal yang lumrah. “Saya bisa menyekolahkan anak, anak saya kuliah di Semarang. Untuk anak petani disini semua yang sudah tamat SMA , pasti masuk kuliah,” kata Sunaryo.
Berdasarkan pengamatan detikFinance, rata-rata taraf hidup perekonomian penduduk sekitar Ukui, Riau terlihat sangat berkecukupan. Hal ini ditandai dengan banyaknya rumah mewah tegak berdiri milik petani yang berdampingan dengan luasnya perkebunan sawit.


Kisah Sukses Para Petani : Mandiri berkat Kelapa Sawit


Belasan petani kelapa sawit berkumpul di rumah Aziz Purba (52) di Desa Banjaran Godang, Kecamatan Kotarih, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Minggu (18/12). Mereka tengah berdiskusi dan mencari solusi agar para petani kelapa sawit terus maju. Aziz adalah salah satu contoh petani kelapa sawit yang sukses.
Dia berbagi tips dan strategi bertani kelapa sawit (Elais guineensis jacq).
Aziz mengenal tanaman dengan pelepah berduri ini sejak 1987 ketika dia bekerja sebagai pegawai di perkebunan kelapa sawit milik pengusaha berdarah China. Tahun 1997, dia mulai berupaya mandiri dengan membeli lahan seluas 2 hektar seharga Rp 20 juta.
Lahan ini masih berupa belantara yang ditumbuhi semak, rumput, dan ilalang. Dia lantas membersihkannya dan menanaminya dengan bibit kelapa sawit.
Empat tahun kemudian, kebunnya mulai berbuah dan panennya melimpah. Hasilnya mencapai 3 ton sampai 4 ton per bulan.
Kebun ini tergolong produktif untuk ukuran kebun kelapa sawit petani. Rata- rata kebun kelapa sawit petani hanya menghasilkan 1,5 ton per bulan. Padahal potensinya dapat mencapai 2,5 ton-3 ton per bulan.
”Kalau pupuknya bagus, hasilnya juga bagus,” kata Aziz, yang menerapkan pemberian pupuk minimal 2 kilogram per tahun per pohon.
Dari hasil panen yang melimpah itu, Aziz menambah investasinya dengan memperluas lahan kebun kelapa sawit. Sejak 2008, lahannya telah mencapai 12 hektar dengan hasil panen rata-rata 1,5 ton per bulan per hektar.
Untuk mengembangkan usahanya, Aziz merangkap sebagai tengkulak tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dari petani. Setidaknya dia memperoleh keuntungan Rp 30 per kilo- gram dengan omzet mencapai 300 ton per hari.
Awal tahun depan, Aziz membangun gudang TBS di atas lahan seluas 1.200 meter persegi persis di samping rumahnya. Bapak tiga anak ini telah menyiapkan modal Rp 700 juta yang antara lain untuk membeli mesin timbang dan bangunan fisik gudang. ”Kalau ada gudang, TBS bisa saya simpan beberapa hari seandainya pabrik kelapa sawit telah memenuhi kuota,” ujarnya.
Sudarto (47) mencoba mengikuti langkah sukses Aziz. Lima tahun lalu dia membeli 3 hektar lahan kelapa sawit seharga Rp 75 juta. Kebetulan saat itu ada pembagian bibit kelapa sawit dari sebuah partai politik yang tengah berkampanye. Sudarto memperoleh jatah 250.000 bibit. Bibit lainnya dia upayakan dengan cara membeli secara mandiri.
Sekarang dia sudah mulai panen dengan hasil 4,5 ton sampai 6 ton per bulan. Sebagian uang hasil panen dia gunakan untuk menutupi kebutuhan seharai- hari. Sisanya dia tabung untuk memperluas lahan kelapa sawitnya. ”Semoga saja bisa sesukses Pak Aziz,” kata Sudarto.
Sunardi (47), warga yang tinggal di Desa Dolok Menampang, Kecamatan Dolok Masihul, pun sukses berkebun kelapa sawit. Awalnya dia hanya menyewa lahan seluas 2 hektar sejak 1988. Tahun 1999, pemilik lahan memintanya untuk membeli lahan yang disewa itu.
Usahanya terus berkembang dan kini Sunardi memiliki 60 hektar kebun kelapa sawit di tiga tempat berbeda. Nilai asetnya itu mencapai Rp 12 miliar. Beberapa pengusaha berniat membeli kebun itu, tetapi Sunardi menolaknya. ”Saya menjaganya agar anak-anak saya nanti hidupnya enak,” ujarnya.
Tak banyak bantuan
Di Serdang Bedagai terdapat 11.865,86 hektar lahan kelapa sawit milik petani. Sebanyak 9.495,48 hektar merupakan kebun produktif (menghasilkan). Sisanya, seluas 2.551,51 hektar tidak produktif lantaran sudah terlalu tua atau terlalu muda usia tanamannya.
Data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Serdang Bedagai menunjukkan, jumlah petani kelapa sawit mencapai 12.409 jiwa. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Kabupaten Serdang Bedagai, Mohammad Sofyan Daulay, memperkirakan, 1.700 petani di antaranya telah sukses. Salah satu indikasinya, mereka memiliki lebih dari 5 hektar kebun kelapa sawit per orang.
Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Serdang Bedagai Mega Hadi menjelaskan, pihaknya tidak memberikan bantuan finansial kepada petani kelapa sawit. Bantuan yang mereka berikan berbentuk pelatihan dan penyuluhan tentang pola bertani yang benar dan produktif. Dananya Rp 200 juta per tahun.
Pelatihan dan penyuluhan yang mereka gelar sejak tiga tahun terakhir itu efektif untuk membentengi petani dari penjualan bibit ataupun pupuk palsu. Sebelumnya, banyak kebun kelapa sawit petani yang produksinya tidak maksimal lantaran bibit dan pupuknya palsu.
Bantuan lainnya berupa rekomendasi. Petani yang hendak membeli bibit dari perusahaan besar, seperti PT Socfindo, misalnya, mendapat rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serdang Bedagai. Berbekal surat rekomendasi itu, petani memperoleh fasilitas pemotongan harga bibit sebesar 10 persen.
”Bantuan lain kami berikan untuk membangun infrastruktur perkebunan, seperti pembangunan jalan produktif. Jumlahnya Rp 2 miliar per tahun dari dana Bantuan Daerah Bawahan Provinsi Sumatera Utara,” ujarnya.
Dengan pembangunan jalan produktif itu, petani bisa langsung mengangkut hasil panennya menggunakan truk. Mereka tidak perlu lagi membawa kereta dorong yang lebih memakan waktu dan tenaga.
Pajak lancar
Dia menambahkan, Pemkab Serdang Bedagai tidak membebani retribusi atau pajak bagi petani kelapa sawit. Oleh karena itu, tak ada pendapatan asli daerah dari sektor kelapa sawit. Namun, peningkatan kesejahteraan para petani kelapa sawit ini langsung berdampak pada kelancaran pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Serdang Bedagai. Saat hasil panen melimpah, petani taat pajak. Begitu juga sebaliknya.


Kisah Sukses Pengusaha Sawit Tjandra Mindharta Gozali



Tjandra Mindharta Gozali (59) bukanlah nama asing di dunia usaha Indonesia. Kemampuannya mengintip dan mampu memanfaatkan peluang menjadi kuncinya dalam berbisnis. Keotodidakannya mengantarkan Tjandra menjadi salah satu pebisnis sukses.
Di usianya yang hampir memasuki kepala enam, Tjandra Gozali –begitu ia biasa disapa– menjabat Presiden Direktur (Presdir) PT Gozco Plantation Tbk, sebuah perusahaan kelapa sawit yang kini terus melakukan ekspansi bahkan merambah hingga bisnis gas alam.
Ia juga memimpin PT Fortune Mate Indonesia Tbk., perusahaan properti yang memiliki lahan beribu-ribu hektare di Surabaya.
Tjandra mengawali bisnis sawit pada tahun1999. Ia melihat sawit mempunyai potensi besar dan Indonesia adalah satu dari sedikit negara tropis di dunia yang kondisi iklim dan tanahnya cocok untuk pengembangan kelapa sawit berskala luas. Terlebih, kelapa sawit memiliki banyak produk turunan dan bisa memenuhi beragam keperluan, dari makanan, bahan pokok berbagai industri, hingga sumber energi berupa biodiesel dan dapat terus diproduksi.
Selain itu, menurut Tjandra, pekerjaan di bisnis sawit tidak terlalu ngoyo. “Orang seperti saya, kalau nanti sudah mencapai usia 70 atau 80 tahun, berharap masih bisa kerja di kebun dengan santai. Sawit itu sekali tanam, selama 20 tahun tinggal memetik terus. Yang harus dilakukan hanya pemupukan dan perawatan. Nah ini cocok buat orang tua seperti saya. Itu awal mula idenya,” ujar Tjandra.
Awal bisnis ini, pria yang dipercaya menjadi konsul kehormatan Mongolia untuk Surabaya dan Jakarta ini mengambil alih sekitar 4 ribu hektare lahan di Muara Enim dari salah satu rekannya. Muara Enim dinilainya cocok karena syarat untuk tanaman sawit adalah curah hujan di atas 220 mm per tahun dan sinar matahari yang kuat, sehingga yang terbaik adalah di wilayah garis khatulistiwa.
Untuk investasi di bisnis sawit ini, Tjandra harus merogoh kocek hingga Rp 70 miliar ditambah menanggung utang kredit macet perusahaan yang dibelinya itu di BNI sekitar Rp 180 miliar.
Hingga tahun 2003, bisnis sawitnya belum berkembang, bahkan sempat terjadi pencurian pupuk, dan sebagainya.
“Waktu itu saya tidak bisa konsentrasi penuh, karena masih memikirkan soal sepatu yang jumlah karyawannya mencapai ribuan. Padahal karyawan saya sudah banyak yang menyarankan untuk menutup usaha sepatu itu karena rugi terus. Sampai 2003 merugi terus, tiap bulan ruginya berkisar Rp 2-3 miliar,” papar Tjandra.
Sekedar diketahui, sebelum beralih ke bisnis sawit dan turunannya, Tjandra pernah menekuni bisnis sepatu.
Pada tahun 1989, banyak industri sepatu dari Taiwan yang melakukan relokasi karena biaya produksi di sana mahal. Tjandra pun melihat peluang baru di bisnis sepatu. Ia mendapat kontak pengusaha Taiwan yang ingin merelokasi usahanya. “Waktu itu cukup ramai, kami sampai buka dua pabrik. Pabriknya berada di Tambak Sawah Sidoarjo,” ujarnya.
Tjandra mengatakan industri sepatu sedikit berbeda karena sifatnya yang padat karya. Saat itu, cerita pria yang juga besan pengusaha kaya Eddy William Katuari, pihak Taiwan berperan di bidang pengembangan, pemasaran dan penjualan, sedangkan Tjandra di bagian keuangan, manajemen dan produksi. “Produksi paling puncak kami pernah ekspor hingga 2,5 juta pasang per bulan,” ujarnya.
Bisnis sepatu tersebut kian berkembang dan Tjandra menggunakan bendera PT Fortune Mate Indonesia Tbk. (FMII), PT Tong Chuang Indonesia, PT Surya Intrindo Makmur(SIM) dan PT Shoe Link Indonesia. Besarnya kepemilikan Tjandra di perusahaan sepatu tersebut bermacam-macam, mulai 30% hingga 70%.
“Pihak Taiwan menyerahkan semua kepada kami untuk operasional. Kamilah yang paling tahu dan mengerti soal karyawan yang kebanyakan perempuan. Jumlah karyawan kami pernah mencapai puncaknya yakni 30 ribu orang,” katanya.
Sayang, tahun 2003, ia terpaksa menutup usaha sepatunya. Pasalnya, perusahaan Taiwan tersebut memutuskan beralih ke China dan Vietnam karena biaya buruh yang lebih murah. Tjandra pun melihat bisnis sepatu di Indonesia tidak lagi kompetitif karena mahalnya biaya buruh akibat adanya Keputusan Menteri No. 13 tentang Pesangon, yang membuat beban pengusaha semakin berat. Di tahun 2003 itu, Tjandra mem-PHK-kan lebih dari 20 ribu karyawannya dengan pesangon lebih dari Rp 180 miliar. “Kami pikir waktu itu kami ada kas dan jangan sampai kami tetap jalan terus kemudian berada dalam kondisi rugi. Itu malah berisiko. Tanggung jawab kami harus dituntaskan. Begitu pasar mulai merosot dan harga kalah bersaing, kami putuskan untuk berhenti,” tutur Tjandra.
Sejak 2008, semua perusahaan tersebut sudah tidak lagi beroperasi di bisnis sepatu. Dan, setelah tidak lagi menjalankan usaha produksi alas kaki, FMII mengubah bisnis inti ke bidang properti dengan mengakuisisi dua perusahaan real estate, yaitu PT Masterin dan PT Multi Bangun di tahun 2008. Kini, FMII memiliki lahan di sekitar Osowilangun, Benowo seluas sekitar 800 ha, dalam waktu dekat akan dibangun menjadi perumahan dan kawasan komersial.
Selain itu, FMII juga mulai mengerjakan kluster seperti Taman Sari. “Di Lamong Bay, milik Pelindo, jalan menuju pantai berasal dari kami. Rencana kami selanjutnya, tanah di sekitar situ untuk mendukung pelabuhan. Ekspedisi Muatan Kapal Laut, gudang, dan sebagainya,” ujar Tjandra.
Singkat  cerita setelah menuntaskan semua kewajibannya pada karyawan, Tjandra pun mulai bisa konsentrasi penuh ke bisnis sawit. Dan, kebetulan di tahun 2003 itu putra sulung Tjandra, Krisna D Ghozali baru kembali dari sekolah di Amerika Serikat. Sebelumnya, sewaktu di AS ia sudah bekerja di Deutschebank, tetapi ingin pulang dan membantu meneruskan usaha ayahnya.
Kepada putranya, Tjandra menceritakan prospek bisnis sawit lebih bagus daripada sepatu. “Sawit tidak dimiliki oleh semua negara. Apalagi di masa mendatang, akan dijadikan sebagai energi alternatif seperti biodiesel dan sebagainya,” kata Tjandra
Ia juga menekankan pada Krisna bisnis sepatu sudah mulai turun dan struktur organisasi di perusahaan sepatu saat itu sudah lengkap. Sementara di kebun sawit, Krisna benar-benar harus berjuang dari bawah.
Dengan gambaran ini, Krisna berani mencoba tantangan baru dengan mengembangkan bisnis sawit ayahnya, tinggal di perkebunan sawit, menanam sawit, dan merangkul semua pihak di sekitar perkebunan. “Setelah satu tahun, dia senang, karena bisa mengembangkan usaha sawit itu. Dalam waktu dua-tiga tahun, dia sudah menguasai medan. Ketika sudah berkembang, kami mulai mengakuisisi perusahaan lain,” tutur Tjandra.
Ke depan, Tjandra mengaku akan fokus di bisnis sawit dan properti, sedangkan bisnis banknya lebih merupakan bisnis pendukung. Sekedar diketahui, di struktur organisasi Bank Yudha Bhakti yang didirikan sejak 1990, Tjandra masih tercatat salah satu pemegang saham bank umum yang termasuk dalam golongan aset Rp 1-10 triliun, dan berasas prudent banking. Menurutnya, Yudha Bhakti selama 1997-2010 mencatatkan prestasi yang gemilang dan membagikan dividen tahunan. Namun, ia menegaskan, tidak pernah menggunakan uang dari Yudha Bhakti untuk mengembangkan usahanya yang lain.
Bagi Tjandra, yang terpenting mampu bangkit dan berjalan lagi setelah tersandung dan jatuh. Pada awal menjalani usaha, karena masih kurang pengalaman dan jejaring, Tjandra pernah mengalami jatuh-bangun bahkan sampai kondisi yang cukup parah, tetapi akhirnya ia mampu bangkit kembali. “Satu-satunya kunci untuk hal itu adalah menyelesaikan semua kewajiban yang ada. Dengan demikan rekan bisnis yakin akan goodwill kami, sehingga dalam waktu yang pendek semua bisa pulih untuk bangkit lagi. Demikian pula dengan kewajiban pada bank, semua kewajiban harus diselesaikan, kami harus bertanggung jawab. Pedoman itu harus dipegang dan dijalankan,” tuturnya menegaskan.
Ia selalu mengutamakan kredibilitas, keterbukaan dan komitmen dalam berbisnis. Dalam budaya Cina, kredibilitas adalah dasar utama dari semua hubungan, termasuk hubungan bisnis. Bila seseorang memiliki kredibilitas yang baik di mata orang lain atau pelaku usaha, akan lebih mudah baginya menjalin hubungan bisnis baru dan mengembangkan bisnis yang sudah ada. Selain itu, keterbukaan dengan rekan bisnis atau calon rekan bisnis juga penting, termasuk kejujuran, serta kewajaran dalam menilai dan memutuskan segala sesuatu. Dan, komitmen pun harus menyertai semua yang sudah diputuskan, yang berarti jika telah berkomitmen harus menjalankan dengan sepenuh hati, tidak menganaktirikan rencana yang sudah tersusun dan fokus pada tujuan yang sudah ditetapkan di awal.
Terasah Sejak Kecil
Tjandra yang juga tak lain adalah kakak kandung Henry J. Gunawan, pemilik PT Surya Inti Permata memang memiliki jiwa kewirausahaan seperti orangtuanya yang perjalanan hidupnya sarat dengan pengalaman dan jatuh-bangun di kancah bisnis.
Ia mengakui, dirinya adalah tipe orang yang tidak bisa diam dan harus selalu ada yang dikerjakan. Setelah dewasa, kebiasaaan itu terarah pada bisnis, dan yang pertama membuatnya tertarik dan terjun ke dunia wirausaha adalah contoh dan didikan orang tuanya.
Ayah Tjandra, Gunawan Poernomo, pernah mendirikan kongsi bisnis gula bernama PT Argad, bersama dengan Irawan, rekanan dari Jakarta. Argad adalah perusahaan yang menjadi anggota sindikasi pengadaan gula di bawah Departemen Perdagangan. Tahun 1969, Tjandra ditunjuk oleh orang tuanya sebagai wakil di perusahaan itu. Saat itu di Indonesia hanya ada 12 anggota sindikasi, dan Irawan adalah orang yang cukup dekat dengan Menteri Perdagangan Soemitro Djojohadikusumo. “Saat itu saya masih belajar. Kami mendapat target mendistribusikan gula 40-60 ribu ton per bulan. Kami distribusikan ke pedagang besar, menengah dan seterusnya. Tapi Argad bubar karena penyaluran gula saat itu diteruskan oleh Bulog,” ujar anak ketiga dari 8 bersaudara ini.
Sebenarnya, Tjandra telah mulai mencari uang sendiri di tahun 1967. Saat itu ia menjalankan usaha fotografi di tempat asalnya, Jember. Setelah penutupan SMP Tiong Hoa, tempatnya bersekolah, Tjandra –yang memang hobi fotografi – berusaha mengisi waktu dan mengambil peluang usaha jasa foto untuk KTP. “Saat itu banyak penduduk yang belum ber-KTP. Mereka harus foto, sementara toko foto belum banyak dan tidak murah, maka saya mengambil kesempatan mencari tambahan uang saku buat membeli peralatan foto yang memang dibutuhkan buat menunjang hobi saya,” cerita ayah tiga anak ini.
Tjandra menjemput bola keliling desa, menghubungi kelurahan untuk mendapat order foto, hingga ia mendapat pesanan menangani 12 desa. “Waktu penyelesaiannya lumayan lama, hampir dua tahun,” kenangnya.
Pria yang hobi olahraga dan membaca ini memulai usahanya sendiri secara resmi dengan mendirikan Express, perusahaan yang membidangi ekspor-impor barang kebutuhan rumah tangga (houseware), seperti panci dan sebagainya dari Taiwan dan Hong Kong tahun 1974. Saat itu Tjandra melihat ada salah satu temannya yang sudah masuk di bisnis ini dan ia pun tertarik bergabung. “Sebenarnya, sejak 1972 saya sudah minta izin orangtua untuk meninggalkan Jakarta karena ingin bikin usaha sendiri. Tapi baru diizinkan pada 1974. Kami coba cari channel di luar, lalu dapat. Merek Maspion dulu memang ada, tapi masih kecil. Lebih banyak yang impor,” ujarnya.
 Ia tidak mengambil barang dari China karena saat itu barang dari China masih kalah dibanding Taiwan. Di sinilah jiwa kewirausahaan Tjandra terasah. Dari Surabaya, ia langsung ke Taiwan mencari pemasok. Ini tergolong nekat mengingat dirinya tidak memiliki kenalan dan teman di Taiwan. Sesampainya di hotel, ia mencari nomor kontak pemasok di Yellow Pages lalu dihubunginya nomor demi nomor. “Bahasa yang saya gunakan campuran antara Cina, Inggris dan Kantonis. Dulu di sana, bahasa Cina masih dianggap hina,” kata Tjandra. Setelah sekitar seminggu berada di Taiwan, ia menelepon dan mendatangi para pemasok. Dengan perlahan tetapi pasti, kemudian Tjandra menemukan pemasok yang cocok dalam hal harga dan sesuai dengan kebutuhan. Ia mengaku menjalani bisnis ini hingga 1977.
Selanjutnya, tidak puas hanya dengan trading, Tjandra memulai lagi langkah inovatifnya, masuk ke bidang manufaktur dengan memproduksi kaleng cat. Ia memasok ke Atlantic Paint, Avian, Emco, dan lain-lain.
Berdasarkan pengalamannya ke luar negeri dan berhadapan dengan banyak pedagang lain, Tjandra menjadi tahu soal kualitas mesin dan jumlah modal yang dibutuhkan untuk memproduksi kaleng. Ia pun membeli mesin bekas untuk kebutuhan plong dan tekuk.
Tahun 1980, perusahaannya mulai melakukan modernisasi. Dengan menggunakan bendera Indocan, ia membeli lahan di Surabaya Industrial Estate Rungkut, dan mengimpor mesin dari Taiwan. “Mesinnya merek Ching Ie dan mampu menghasilkan hingga 50 kaleng per menit,” katanya.
Tahun 1981, kembali dilakukan modernisasi dengan mendatangkan mesin dari Jerman, merek Rieckerman, yang mampu memproduksi hingga 200 kaleng per menit. Akhirnya, bisnis kaleng yang ia tekuni mampu memproduksi hingga jutaan kaleng per bulan. Ia juga memiliki lima klien besar untuk produk mur dan bautnya, seperti Grand Master, Rakuda, dan tiga perusahaan lain yang tidak ia sebutkan namanya.
Menurut Tjandra, semua detail mengenai operasional bisnis tersebut ia pelajari dari lapangan. “Jika kami ikut dalam operasional, kami akan tahu masalahnya, penyakitnya, dan sekaligus cara menanganinya. Semua itu dari pengalaman di lapangan,” ujarnya lugas.
Dalam hal permodalan, ia menggunakan dana dari koceknya sendiri dan keuntungan yang ia peroleh dari bisnis sebelumnya, serta pinjaman bank. Tjandra tidak meminta bantuan modal dari orang tua ataupun memanfaatkan jejaring yang ia miliki saat bekerja di perusahaan ayahnya.
Usia yang masih muda saat itu membuat Tjandra ingin mencoba berbagai peluang bisnis. Begitu melihat peluang yang lebih baik, ia segera mencobanya. Ia pun beralih ke bisnis manufaktur mur baut di tahun 1982, serta karung plastik anyaman atau sak, yang biasa digunakan untuk kemasan pupuk di tahun 1983. Sementara bisnis kaleng Indocan dilanjutkan oleh adiknya. Ia memproduksi mur baut untuk industry pendukung. Peluang ini ada, karena biasanya pabrik harus mengimpor dengan kuantitas deran syarat tertentu, dan ada masalah delivery time yang membuat waktu kedatangan produk mur baut tidak tentu.
Ia mengimpor mesin untuk memproduksi mur baut dari Taiwan. Tjandra tidak ingat nilai investasinya, yang pasti lebih mahal dibanding mesin kaleng. Adapun mesin produksi karung plastik ia datangkan dari Jepang. Ia juga mengimpor biji plastik dari Jepang. Tjandra memasok karung plastik ke Petrokimia dan Pusri. (diolah dari Swa Online)


Kisah Sukses Petani Sawit : Dulu Bagai Bulan Kesiangan, Kini Bulanan Dapat Jutaan



Kisah Sukses Petani sawit Riau Sunarto (Sumber  RiauPos)
Sunarto saat pertama tiba di Riau dari Jawa Tengah, tahun 1991, masih kelihatan kurus. Sunarto saat ini di 2012, rumahnya megah, mobilnya mewah. Sunarto adalah salah seorang petani sawit yang hidup sejahtera di Riau saat ini. (Foto : Riaupos.co)
Menjadi petani tidak lagi identik dengan kemiskinan. Apalagi menjadi petani sawit di Riau. Uang jutaan, kekayaan dan tentu saja kesejahteraan, sudah pasti dalam genggaman!
Laporan Zulmansyah, Riau
ADALAH Tumingan yang jadi bukti nyata. Lelaki kurus tinggi legam berusia 54 tahun ini, sejak 1993 lalu memilih menjadi petani sawit di Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) Mekar Sari di Sungai Pagar, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Itu berarti sudah hampir 20 tahun Tumingan bersama istrinya Nur, melakoni hidup sebagai petani sawit.
Sebelum menjadi petani sawit, Tumingan yang berasal dari Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis adalah buruh angkat pedagang antar-pulau. Hidupnya miskin, karena upah yang diperolehnya paling banyak Rp10 ribu per hari. Upah itu, hanya cukup untuk dua kali makan seorang bujangan.
Tumingan, selama dua tahun, juga pernah mencoba menjadi petani kelapa di pedalaman Kabupaten Indragiri Hilir, sekaligus bekerja sambilan di pabrik kopra kecil-kecilan atas ajakan pamannya. Namun hasilnya tidak memadai dan hidupnya tetap saja dalam belenggu kemiskinan dan penderitaan. ‘’Sebelum menjadi petani sawit, hidup saya benar-benar bagai bulan kesiangan, selalu lesu, pucat tanpa gairah. Sekarang, setelah menjadi petani sawit, bulanan selalu dapat uang jutaan. Alhamdulillah…,’’ kata Tumingan sumringah.
Awal ikut TSM Mekar Sari di Kamparkiri, Tumingan hanya dapat lahan garapan sekapling lahan sawit berukuran 18.000 M2 atau hampir 2 hektare. Tapi saat ini–setelah hampir 20 tahun– lahan garapan sawit miliknya sudah 10 kapling atau sekitar 20 hektare luasnya. ‘’Sudah cukup untuk saya, keluarga dan menyekolahkan anak-anak sampai tamat perguruan tinggi,’’ kata Tumingan bangga, seraya menyebut anak tertuanya sudah tamat FKIP Universitas Islam Riau dan yang nomor dua saat ini di Fakultas Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Qasim.
Cerita lelaki berputra empat ini, setiap hektare kebun sawitnya bisa menghasilkan dua sampai tiga ton buah sawit per panen, bergantung pupuk dan musim. Bila harga sawit sedang bagus mencapai Rp1.400 per kilogram, maka dari setiap kapling lahan sawitnya, Tumingan bisa memperoleh uang lebih Rp8 juta. ‘’Kalau 10 kapling ya bisa hampir Rp100 juta. Tapi itukan pendapatan kotor, belum dikurangi biaya pupuk, ongkos angkut dan lain-lain. Kalau harga sawit lagi bagus, minimal Rp5 juta sampai Rp6 juta per kapling alhamdulillah dapat di bawa pulang ke rumah,’’ ungkap Tumingan.
Dulunya, hasil berkebun sawit ditabung Tumingan untuk membeli lahan, menambah dan memperluas areal garapan kebun sawit miliknya. Tapi sekarang, hasil kebun sawit dibuat untuk membangun rumah megah, membeli kenderaan bermotor dan menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat perguruan tinggi. ‘’Sebagian uang sawit masih ada ditabung juga untuk bekal berangkat haji,’’ kata Tumingan, semangat.
Kisah sukses menjadi petani sawit, juga diceritakan Sunarto, 52 tahun, perantau asal Jawa Tengah yang kini bermukim dan berkebun sawit di Kerinci Kanan, Siak . Sunarto yang datang ke Riau bersama sejumlah perantau asal Wonogiri, Boyolali dan Seragen, pada awalnya mengikuti program transmigrasi di tahun 1994 dengan jatah lahan garapan sawit 2 hektare dari pemerintah, ditambah lahan untuk tanam palawija 0,5 hektare. ‘’Saya juga dijatahi Rp100 ribu per bulan untuk biaya hidup,’’ kata Sunarto memulai kisah hidupnya di Riau sebagai petani.
Karena niatnya merantau jauh meninggalkan tanah Jawa harus sukses, maka Sunarto bersama istrinya bersungguh-sungguh menjalani hidup sebagai petani sawit. Pahit getir awal membuka lahan dijalani Sunarto dengan iklas dan tabah. ‘’Alhamdullillah, akhirnya saya sukses sekarang ini. Menjadi petani sawit di Riau adalah pilihan yang tepat bagi saya dan istri,’’ kata Sunarto mengenang.
Selama 18 tahun bersungguh-sungguh menjadi petani sawit, lahan garapan  Sunarto sudah tidak 2 hektare lagi, melainkan telah bertambah luas menjadi 16 hektare. ‘’Sekarang, penghasilan saya antara Rp30 juta sampai Rp40 juta per bulan. Bukan Rp100 ribu lagi,’’ kata Sunarto mengenang.
Kisah petani sawit lainnya adalah kisah pasangan Darimi (58)-Jaan (55), yang memang tidak seberuntung Tumingan dan Sunarto. Darimi, perantau asal Lubuk Alung Sumatera Barat ini bertani sawit di Dusun Bakal Desa Tualang Kecamatan Tualang Kabupaten Siak. Sudah lima belas tahun lamanya mantan nelayan ini berkebun sawit. Lahangarapannya pun cuma 3 hektare saja—dari dahulu sampai sekarang— tetap 3 hektare saja. ‘’Waktu kami beli, masih semak belantara. Harganya hanya Rp800 ribu per hektare,’’ jelas Jaan.
‘’Kebun kami, sekali panen, setiap 14 hari, dapat 2 ton. Sebulan dapatlah 4 ton. Tapi harga sekarang bulan Oktober ini lagi jatuh, cuma Rp750 per kilogram sawit. Syukur masih bisa dapat Rp3 juta per bulan,’’ tambah Jaan, akhir pekan lalu.
Ketika harga sawit bagus, jelas Jaan, dirinya bersama suami bisa mendapatkan lebih Rp6 juta per bulan. ‘’Dengan uang jutaan begitu, tentu kami bisa menyekolahkan anak kami sampai tamat universitas, sekaligus juga masih bisa ditabung,’’ ungkap Jaan.
Diakui Jaan, tidak semua petani sawit di Dusun Bakal bisa hidup sukses. Ada juga tetangganya yang gagal berkebun sawit. Mereka yang gagal adalah petani yang kurang tangguh, kurang gigih dan kurang bersungguh-sungguh. Ditambah pula lahan garapan mereka kurang dari sehektare.
Camat Tualang Roni Rachmat SSTP mengungkapkan, khusus di Dusun Bakal Tualang, tempat Darimi-Jaan bermukim, terdapat 2.700 jiwa. ‘’Sebagian besar mereka memang petani sawit. Sebagian lainnya bekerja di perusahaan perkebunan sawit,’’ ungkap Roni, Kamis (25/10).
Menjadi petani sawit, dilakukan masyarakat tempatan setelah melihat banyak perusahaan membuka lahan perkebunan, juga karena banyaknya transmigrasi yang masuk berkebun sawit. Warga tempatan Dusun Bakal dahulu banyak menjadi nelayan, hanya sebagian kecil bertanam palawija. ‘’Sekarang, hampir semua kepala keluarga di Dusun Bakal itu memiliki lahan perkebunan sawit. Pilihan menjadi petani sawit tampaknya memang memberi kesejahteraan bagi mereka saat ini,’’ kata Camat Tualang.
Success story petani sawit di Riau bukan cuma cerita berlebih-lebihan dari para petani. Penelitian Prof Dr Ir Sumardjo MS, Kepala CARE IPB dan Guru Besar IPB menyebutkan, tingkat pendapatan petani sawit di Riau bisa mencapai Rp3,8 juta/ha/bulan, bersih. Maka, setiap petani sawit di Riau yang memiliki lahan sekapling saja atau hanya 2 hektare luasnya, pendapatannya bisa mencapai Rp7,2 juta/kapling/bulan.
Bahkan, petani sawit yang bercocok-tanam di lahan rawa atau gambut pun, penghasilannya bisa mencapai Rp2,9 juta/ha/bulan, bersih. Pendapatan jutaan Rupiah seperti itu, jelas Sumardjo yang juga Penyuluh Pertanian Nasional ini, menyebabkan tingkat ekonomi petani sawit di Riau tinggi-tinggi.
Hasil penelitian Sumardjo juga mengungkapkan, jumlah petani sawit di Riau mencapai 352.022 Kepala Keluarga (KK), jauh lebih besar dari petani non-sawit yang hanya 271.259 KK. Begitu pun dengan luas areal lahan garapan perkebunan, totalnya 845.230,56 hektare, melebihi luas areal perkebunan sawit milik perusahaan yang hanya 769.992,85 hektare (selengkapnya lihat tabel). Itu berarti—bila dirata-rata—setiap KK petani sawit di Riau memiliki luas lahan garapan hampir 2,5 hektare.

Menjadikan Petani Indonesia Sejahtera 

Pada peringatan HUT RI tahun 1963, Presiden Soekarno dengan lantang menyampaikan pidato bertajuk ‘’Jalannya Revolusi Kita (Jarek): Tanah untuk Tani!’’ Karena negeri ini bertanah subur, Presiden Soekarno menyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai dengan pertanian, asal semua petani memiliki tanah garapan, bukan sebagai buruh tani!
Keyakinan Presiden pertama RI itu—yang diungkapkannya lebih setengah abad lalu—masih relevan dengan keadaan saat ini. Menjadi petani, asal memiliki tanah garapan yang cukup, bisa hidup sejahtera. Tumingan, Sunarto dan Darimi, adalah contoh petani-petani di Riau yang bisa hidup melepaskan diri dari kemiskinan, bahkan kini bisa hidup sejahtera karena luasnya tanah garapan mereka.
Salah satu sukses dari Empat Sukses Pembangunan Pertanian Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan petani itu adalah dengan menyediakan lahan garapan yang cukup untuk petani. Solusi lainnya adalah memberikan subsidi kepada petani, apakah itu subsidi bibit, subsidi pupuk, bantuan peralatan pertanian dan sebagainya.
Untuk petani sawit di Riau, beberapa kelompok tani pada awal pembukaan lahan garapannya juga mendapatkan subsidi, seperti yang dialami Tumingan dan Sunarto. Sebagaimana diungkapkan Ir H Muhibbul Basar MSi, Kepala Balai Benih Dinas Perkebunan Riau, yang menyebutkan petani sawit di 10 kabupaten/kota di Riau sebagian ada yang mendapatkan subsidi bibit unggul.
‘’Anggaran subsidi bibit sawit unggul itu, ada yang dari APBD Riau dan ada juga dari APBN. Jumlahnya milyaran Rupiah. Dengan memakai bibit sawit unggul, potensi penghasilan petani sawit Riau bisa di atas Rp3,5 juta per hektare per panen,’’ kata Muhibbul.
Sementara itu, Wakil Ketua KP3K (Komisi Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan) Riau Ir H A Kadir Hamid tegas menyebutkan sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun di daerah berkomitmen untuk pro-petani, dan harus segera diwujudkan dalam bentuk program-program yang nyata. Salah satunya adalah subsidi atas harga pokok produksi petani. ‘’Negara-negara maju saja mensubsidi petaninya. Karena itu, kalau pemerintah ini punya political will pro-petani, maka subsidi untuk petani adalah keharusan,’’ kata Kadir Hamid didampingi Sekretaris Ir H Muharnes.
Kadir Hamid mencontohkan, negara maju yang mensubsidi petaninya adalah Jepang yang mensubsidi 65 persen dari harga produksi, Amerika Serikat mensubsidi 24 persen, Uni Eropa mensubsidi sampai 49 persen. ‘’Bahkan di Korea Selatan, subsidi untuk petani mencapai 74 persen. Sehingga rakyatnya mau mengelola lahan-lahan pertanian dengan sungguh-sungguh, karena hasilnya sudah pasti bisa menghidupi dan menyejahterakan,’’ kata mantan Kepala Kanwil Pertanian Riau itu.
Kalau kebijakan subsidi ini berjalan baik, tinggal memperluas tanah garapan untuk petani. Tanah garapan itu masih sangat cukup di Indonesia karena berdasarkan data yang disampaikan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) H Oesman Sapta usai bertemu dengan Kepala BPN Pusat Hendarman Soepandji pertengahan Oktober lalu, saat ini masih terdapat 4,8 juta hektare lahan terlantar yang bisa digarap. ‘’HKTI mengusulkan kepada pemerintah agar petani dapat menggarap lahan terlantar yang ada di Indonesia itu, sehingga selain dapat meningkatkan pendapatan dan mengangkat kesejahteraan petani, juga sekaligus dapat meningkatkan produksi pertanian Indonesia,’’ kata Oesman.
Kajian HKTI, dengan pemberian lahan garapan seluas 1 sampai 2 hektare untuk satu kepala keluarga petani di Jawa dan 2 sampai 3 hektare untuk petani di luar Jawa, kesejahteraan untuk petani di Indonesia diyakini dapat diwujudkan.
Itu berarti—kata kuncinya—cukup dua strategi saja untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia. Pertama, komitmen pro-petani harus segera diwujudkan pemerintah dengan subsidi harga pokok produksi yang memadai seperti di negara-negara maju. Kedua, menyegerakan membagi-bagikan lahan terlantar untuk garapan petani sebagaimana usul HKTI. Dengan subsidi dan ketercukupan lahan garapan, maka tidak akan ada lagi petani di Indonesia yang miskin. Semua petani bisa sejahtera. Bukan hanya petani yang bertanam sawit saja se-perti di Riau yang bisa sejahtera, melainkan semua petani, apapun yang ditanamnya; padi, jagung, kedelai, coklat, semuanya.., akan membawa kesejahteraan bagi mereka, petani Indonesia. Buktikanlah.***


Kisah Sukses Sugiharti, Petani Berprestasi Nasional 2012


SUGIHARTI merupakan Ketua pada kelompok tani Tunas Karya, Jorong Kurnia Kamang, Nagari Kamang, Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung, terlahir pada tanggal 23 Februari 1969 di Padang Panjang.
Kelompok tani ini juga telah bergabung pada Gapoktan Kerukunan Tani Mandiri. Pendidikan terakhir beliau adalah S1 Ekonomi. Memiliki 3 orang anak dari suami yang bekerja sebagai seorang petani sawit.
Kegiatan yang dilakukan Sugiharti sehari-harinya adalah menjalankan tugas sebagai pengelola usaha tani kelapa sawit seluas 4 ha dengan produktivitas mencapai 5 ton/ha/bulan, kakao seluas 0.5 ha dengan produksi 40 kg/bulan, pinang berjumlah 100 pohon dengan produksi 100 kg/bulan, ternak sapi berjumlah 15 ekor dengan luas kandang 400 m², ternak ayam buras berjumlah 100 ekor dengan luas kandang 48 m², dan ternak itik berjumlah 250 ekor dengan luas kandang 1.600 m².
Ternak sapi beliau juga berintegrasi dengan kebun kelapa sawit miliknya, sehingga dapat saling menguntungkan antara lain kotoran sapinya dapat menjadi pupuk organic di areal kebun kelapa sawit sehingga dapat memperbaiki struktur tanah dan menambah unsur hara tanah, pengendalian gulma pada kebun kelapa sawit dapat berkurang dengan adanya sapi yang memakan rumput-rumputan, sapi dapat digunakan sebagai alat angkut hasil panen buah kelapa sawit melalui gerobak yang ditarik.
Kemudian kebun kelapa sawit dapat menjadi ladang makanan bagi sapi untuk penggemukannya. Selain di bidang pertanian, Sugiharti juga mengelola kolam ikan antara lain ikan lele berjumlah 29.600 ekor dengan luas kolam 296 m², ikan nila berjumlah 8.700 ekor dengan luas kolam 580 m², ikan patin berjumlah 10.000 ekor dengan luas kolam 500 m², dan ikan gabus berjumlah 250 ekor dengan luas kolam 500 m².
Tidak hanya di hulu, Sugiharti juga mengelola industri hilir berupa pengolahan ikan lele asap (salai) dengan produksi 150 kg/bulan. Dalam bidang kehutanan, Sugiharti juga menanam pohon mahoni dan pohon jati masing-masing sebanyak 100 pohon yang ditanam pada sekeliling batas kebun miliknya. Sugiharti dalam mengelola unit usahanya dibantu juga oleh suami dan karyawan yang berjumlah 8 orang.
Dari segi permodalan, Sugiharti pada tahun 1998 mendapatkan kredit dari KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) sebanyak Rp. 6.500.000,-. Kemudian pada tahun 2008, beliau mendapatkan kredit dari Bank Pembangunan Daerah (Bank Nagari) sebanyak Rp. 50.000.000,-. Selanjutnya pada tahun 2010 mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri sebanyak Rp. 330.000.000,-.
Semua pinjaman tersebut digunakan oleh Sugiharti untuk modal bagi usaha taninya seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam perjalanannya, Sugiharti terus bersemangat dalam mengembangkan usaha taninya, terbukti dengan telah banyaknya warga masyarakat lain termasuk di luar daerah yang telah mengikuti jejaknya untuk berkolam ikan.
Saat ini Sugiharti telah mencoba untuk mengembangkan hasil olahan ikan berupa dendeng ikan, abon ikan, crispy ikan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan pakan ikan. Pemerintah Daerah melalui Instansi terkait juga memberikan perhatian yang cukup besar kepada Sugiharti dengan mengirim beliau untuk mengikuti pelatihan-pelatihan baik di bidang budidaya pertanian, perikanan maupun hasil olahannya.
Selain itu, hasil olahan yang diusahakan oleh beliau juga selalu diikutkan pada pameran-pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sijunjung maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. (M. Iwan Kurniawan, SP – PP Kab. Sijunjung)


Kisah Sukses Yulianto; Waralaba Kelapa Sawit



Yulianto adalah mantan petani plasma tebu Kabupaten Pelaihari, Kalimantan Selatan. Ia kini telah menjadi pewaralaba sukses. Mitra bisnisnya telah menjangkau seluruh pulau Kalimantan, kecuali Kalimantan Barat. Kesuksesannya bukan tanpa alasan. Ia memiliki kejelian tinggi terhadap prospek bisnis waralaba bibit kelapa sawit.
Sebelumnya, ia berwirausaha di bidang komoditi tebu. Kemudian ia beralih ke kelapa sawit. Yulianto memenuhi syarat legalisasi pewaralaba dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan untuk membuat TRUP.
Usahanya ini didukung juga dengan adanya bantuan pemerintah pusat kepada kelompok tani melalui sistem Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) untuk menanam bibit kelapa sawit pada tahun 2003. Yulianto bernaung di bawah bendera Koperasi Agro Berseri Pelaihari. Awalnya, ia mencoba menangkarkan bibit kelapa sawit sebanyak 180.000 batang untuk lahan seluas 1.000 hektare.
A. Modal
Modal yang dibutuhkan untuk menangkarkan bibit sebanyak 180.000 batang cukup besar, yakni sekitar 200 juta. Selain itu, dana APBN baru akan cair pada bulan Juli—Agustus 2003, sedangkan pekerjaan harus dimulai pada bulan Januari 2003.
Namun, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan bersedia memfasilitasi program waralaba (bibit siap tanam) kelapa sawit dari PPKS. Akhirnya, penangkaran tetap dimulai dengan 180.000 batang pada tahun 2003.
Selama empat tahun berikutnya, jumlah bibit bertambah menjadi 200.000 batang. Usaha pembibitan memiliki keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut digunakan untuk memperluas lahan dan menambah modal kerja hingga skala usaha menjadi bertambah besar. Selain itu, kerja keras dan disiplin dalam pengelolaan keuangan juga menjadi faktor berkembangnya usahanya.
B. Pemasaran.
Banyak petani yang datang memesan sendiri dikarenakan kebun pembibitannya memang dekat dengan wilayah pertanaman kelapa sawit milik petani. Yulianto mencoba untuk mengikuti tender pengadaan bibit dari Pemerintah Kalimantan Selatan.
Konsumen menginginkan bibit yang kondisinya bagus. Pasalnya, kepuasan konsumen adalah kunci keberhasilan usaha. Setelah konsumen merasa puas, biasanya akan datang konsumen baru.
Konsumen baru, umumnya mendapatkan informasi dari konsumen yang telah terlebih dahulu membeli bibit. Pemasaran bibit dari Yulianto saat ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan wilayah Kalimantan Selatan. Namun, hingga ke Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, baik untuk keperluan proyek pemerintah, perkebunan rakyat, maupun perkebunan besar swasta.
Dengan keberanian dan kerja keras, Anda bisa mengikuti jejak Yulianto. Anda tinggal mengikut berbagai pola dan teknisnya secara mudah dalam buku “Meraup Untung dari Bisnis Waralaba Bibit Kelapa Sawit”.
Di dalam buku yang diterbitkan AgroMedia Pustaka ini dibahas mengenai waralaba secara umum, bentuk, pelaku, dan potensi waralaba kelapa sawit, persiapan waralaba kelapa sawit, seperti modal, persiapan lahan, pengajuan permohonan, dan pembayaran, pembibitan, sampai kepada sistem pemasaran, baik melalui tender, promosi, maupun internet.
Selain itu, diberikan pula analisis usaha agar Anda bisa membuat asumsi analisa biaya, pendapatan, dan keuntungan. Kesuksesan Anda adalah cerminan dari sejauh mana Anda membaca peluang dan metode yang diterapkan.
Selamat mencoba!


Kisah Sunarto, Petani Kelapa Sawit


KOMPAS.com – Memimpikan kehidupan yang lebih baik. Itulah yang membuat Sunarto (59) memboyong keluarganya ke Desa Buatan, Kabupaten Siak, Riau, dengan ikut program transmigrasi pada 1991. Sampai di sana dia bekerja sebagai petani kelapa sawit.
“Tiga tahun pertama adalah masa-masa sulit. Saya diupah Rp 1.500 per hari, dengan perhitungan kerja selama 20 hari maka sebulan saya hanya mendapatkan Rp 30.000. Setelah tiga tahun kerja saya mendapatkan kompensasi lahan kelapa sawit seluas 2 hektar dari pemerintah untuk saya kelola”, kata Sunarto, Rabu (17/4/2013).
Lahan seluas dua hektar pun bukan diberikan gratis, karena Sunarto harus melunasi pinjaman sebesar Rp 9,7 juta. Setelah melunasi dalam waktu kurang lebih 5 tahun, Sunarto mulai merasakan manis jerih payahnya dari bertani Sawit.
Krisis moneter 1997 justru menjadi masa-masa indah bagi Sunarto dan puluhan petani sawit. Harga sawit melonjak di kisaran Rp 500-700. Dari situlah dia bisa membeli motor dan membangun rumah.
“Dari dua hektar lahan, saya bisa mendapatkan untung Rp 3 juta per bulannya. Sekarang saya memiliki sekitar 12 hektar lahan kelapa sawit, berati tiap bulannya saya dapat Rp 18 juta,” kata Sunarto yang kini menjadi ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Bhirawa Bakti.
Sunarto merupakan salah satu petani kelapa sawit di kebun plasma yang dinaungi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit Asian Agri. Tercatat ada 10.928 hektar kebun plasma kelapa sawit yang dikelola oleh 3.997 petani yang bernaung di 12 KUD.
Untuk tetap menjaga kualitas kelapa sawit petani kebun plasma dibina langsung oleh Asian Agri. Pasokan bibit dan pupuk disediakan. Lalu hasil panen dibeli oleh Asian Agri untuk diolah.
Pada 2005, seluruh KUD di Buatan telah mendapatkan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Untuk mendapatkan sertifikasi ini para petani mendapatkan penyuluhan mengenai standar bertani kelapa sawit yang ramah lingkungan.
“Kalau dulu kita sering membakar batang kering, sekarang dengan adanya RSPO kita tidak membakar lagi. Selain itu menjadi lebih tertib dalam berkebun mulai dari cara pemupukan, penggunaan alat keselamatan cara memanen, semua menggunakan standar RSPO,” kata Sunarto.
Sertifikasi ini diakui para petani membuat produktivitas kelapa sawit mereka meningkat dan memudahkan mereka untuk menjual hasil kebunnya ke negara yang menerapkan RSPO sebagai salah satu syarat.



Pendapatan Petani Sawit PT Letawa Rp30 Juta/Bulan



Mamuju Utara, Sulbar (ANTARA News) – Pendapatan petani sawit binaan perusahaan PT Letawa yang beroperasi di Kecamatan Tikke Raya Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat mencapai Rp30 juta per bulan.
Salah seorang petani di Kecamatan Tikke Raya, Hadi, di Mamuju Utara (Matra), Sabtu, mengaku memperoleh penghasilan Rp30 juta per bulan dari hasil penjualan sawit yang dikelolanya ke perusahaan PT Letawa.
Ia mengaku, keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan sawitnya ke PT Letawa yang merupakan anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk yang merupakan perusahaan sawit terbesar di Sulbar, sekitar Rp30 juta per bulan, itu diperoleh dari lahan perkebunan sawit yang dikelolanya seluas delapan hektare.
“Lahan sawit kami seluas delapan hektare mampu menghasilkan 15 ton sawit, yang bila dijual maka kami akan diperoleh keuntungan bersih sekitar Rp30 juta per bulan,” katanya.
Menurut dia, dengan penghasilan dari lahan perkebunan sawit yang dikembangkannya sejak tahun 2002 itu dirinya menjadi salah satu petani sawit sukses di Kabupaten Matra yang penghasilannya sudah mampu meningkatkan kesejahteraannya.
Ia berterima kasih kepada PT Letawa yang selama ini telah membina petani plasma seperti dirinya, hingga kesejahteraannya dapat meningkat dari sebelumnya, dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
“Dulu kami hidup dalam keadaan serba sulit tetapi karena sawit yang kami kembangkan ini, maka kami merasa lebih sejahtera, itu semua berkat PT Letawa yang membantu dengan membina petani sawit plasma mengembangkan sawitnya di Matra,” katanya.
Sementara itu Head Of Public Relation PT Astra Agro Lestari Tbk, Topan Mahdi mengatakan, tingginya penjualan hasil produksi sawit petani di Matra membuat kesejahteraan petani lebih tinggi dari kesejahteraan karyawan perusahaan PT Letawa yang hanya mendapatkan gaji di atas upah minimun provinsi Sulbar sebesar Rp1,1 juta.
Ia mengatakan, dengan kesejahteraan petani sawit maka perusahaan sawit PT Letawa yang memiliki luas lahan perkebunan sekitar 7.499 hektare berdasarkan hak guna usaha yang dimilikinya, telah memberikan andil bagi pertumbuhan ekonomi daerah. (T.KR-MFH/F003)
COPYRIGHT © 2011
Sumber : http://makassar.antaranews.com



Petani Sawit dari Semarang, Sukses Lewat Transmigrasi



Sawit-centre.com, Sumatera Barat-Banyak cara untuk mecapai kesuksesan. Termasuk Pujiyono penduduk asal Semarang, Jawa Tengah yang lebih memilih menjadi petani sawit di Desa Sungai Pulai, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat untuk menggapi kesuksesan.
Pujiyono petani sawit asal Sumatera Barat ini mulai menampakan hasilnya setelah menjadi petani sawit transmigran selama 20 tahun lamanya. Mulanya menjadi petani transmigran dengan mendapatkan lahan seluas 2,5 hektar.
Tapi ternyata lahan yang didapatkannya adalah lahan gambut, sehingga tak heran jika lahan yang digarap sulit untuk dijadikan lahan pertanian. “Tanah gambut sulit diolah karena airnya berwarna coklat, bahkan kita mandi airnya pun berwarna coklat,” keluh pujiyono.
Walhasil untuk menutupi kebutuhan hidup, sehari-harinya masih mengadahkan tangan dari pemerintah seperti beras, gula, minyak goreng, telur ayam, dan lain-lain.
Namun sebagai seorang transmigran tidak boleh patah arang. Hingga akhirnya di tahun 1997, mendapat kesempatan mengikuti program kredit untuk menanam dan mengembangkan benih kelapa sawit yang dikeluarkan Bank BRI. Terbukti tanaman sawit yang ditanam di lahan gambut hasilnya lebih baik daripada tanaman lainnya.
“Hasilnya saya dapat menyekolahkan dua anak saya. Saya juga sudah dapat membeli mobil dan rumah pribadi untuk keluarga,” ungkap Pujiyono.
Kesuksesan tidak sampai disitu saja. Di tahun 2012 dicobanya untuk mendaftar menjadi seorang Wali Nagari karena pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan memekarkan beberapa wilayah di perbatasan dengan provinsi Bengkulu menjadi 10 Nagari. Ternyata berhasil terpilih untuk masa jabatan 2012-2018.
“Saat ini saya membawahi 135 kepala keluarga atau sekitar 1600 jiwa di Nagari Sungai Pulai. Mereka berasal dari beberapa kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan sekitar 20% warga lokal,” pungkas Pujiyono.



Transmigrasi, Supri Meraup Rezeki dari Buah Sawit



KONOTASI sawit merusak lingkungan perlu diubah. Sawit tak sekadar berguna bagi hajat hidup manusia tetapi mampu mengubah status ekonomi. Adalah Suprianto yang menikmati berkah buah sawit. Petani sawit kelahiran Tulungagung, Jawa Timur pada 1963 ini menceritakan kisah suksesnya. Ia mengenyam pendidikan sampai SMP. Supri menyebutnya S-2 “Bukan sarjana lho, tapi SD dan SMP,” ujarnya ketawa.
Setelah dewasa ia bekerja sebagai kuli bangunan, lantas meningkat jadi tukang bangunan. Kenalan dengan gadis asal Trenggalek, Jawa Timur, bernama Miasih, saat mereka sama-sama main di sebuah lapangan bola di Trenggalek. Mereka pun berpacaran. Pada 1988 Supri-Miasih menikah secara sederhana di rumah orang tua Miasih di Trenggalek. “Perayaannya sederhana sekali. Hanya dihadiri keluarga dan sebagian teman kami,” kata Supri mengenang.
Miasih yang mendampingi Supri saat wawancara, tersenyum memandang suaminya yang sedang bercerita. Ia menimpali, “Waktu itu saya masih umur 16,” katanya. Meski penghasilan Supri tidak stabil, tapi pengantin baru ini tetap bahagia. “Kalau saya dapat garapan (pekerjaan) membangun rumah, kami bisa makan enak. Kalau sepi garapan, kami makan seadanya.”
Tapi, ketika anak pertama mereka, Mawan Haryanto, lahir pada 5 Mei 1990, keluarga muda ini mulai gelisah. “Kalau hidup begini terus, bagaimana membiayai sekolah anak, Pak?” kata Miasih pada suaminya. Mereka mulai galau. Supri diberitahu tetangganya, bahwa ada empat transmigran di Riau yang balik kampung, meninggalkan rumah jatah transmigrasi. “Tanpa banyak pikir, saya berniat menggantikannya. Kebetulan, istri mendukung niat ini,” katanya.
Tapi, ada biaya administrasi untuk itu. Besarnya Rp350 ribu. “Saya berusaha sana-sini, akhirnya dapat uang segitu. Maka, kami sekeluarga berangkat.” Apa saja yang dibawa dari desa? “Pakaian, sedikit perabot dapur, alat pertukangan dan sepeda kumbang yang biasa saya pakai,” jawabnya. Mawan saat itu masih bayi lima bulan. Mereka diangkut kapal menuju Riau. Tiba di lokasi, Supri dan istrinya kaget. “Kondisinya sepi di tengah hutan. Jarak dengan tetangga sangat jauh, tidak seperti di Tulungagung.”
Alkisah, sesuai aturan, transmigran mendapat jatah tanah garapan dua hektare, selain setengah hektare pekarangan rumah. Namun, jatah tanah garapan Supri baru dia terima dua tahun kemudian. Sejak itulah, lahan dua hektare digarap maksimal. “Saya tanami sawit, sebab hasil panen langsung dibeli PT Sari Lembah Subur (SLS). Bibitnya juga pinjam dari SLS,” katanya.
Ekonomi keluarga Supri jadi membaik dengan menjadi petani sawit. Pada 1993 lahirlah anak kedua, Rini Widowati (kini masih kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, sementara Mawan sudah lulus dari almamater yang sama dan bertugas sebagai dokter di Jember, Jatim). Tak puas menjadi petani sawit, Supri membuka usaha pembuatan bahan rumah tangga dari kayu. Produknya pintu, jendela, kusen, lemari, meja, kursi.
Ini sejalan dengan keahliannya sebagai tukang bangunan. Awalnya dia membuka usaha di halaman rumahnya, pada 2004 dengan empat karyawan. Setahun kemudian dia membuka cabang di Air Molek dengan empat karyawan juga. Ditanya, berapa omzet usahaitu? Supri tersenyum, enggan menyebut angka. Sedangkan penghasilan dari kebun sawit berapa? Lagi-lagi, ia enggan menyebutkan angka. Apakah anda punya investasi? “Saya punya kebun sawit 50 hektare di Kalimantan,” jawabnya.
Pengelolaanya ia percayakan kepada saudaranya. Total penghasilan Supri sebenarnya melebihi gaji direksi bank swasta tingkat menengah. Kesejahteraan keluarga Supri terukur ketika ia memperbaiki rumahnya. Pada 2005 (15 tahun sejak dia masuk Riau) Supri sudah punya tabungan lebih dari Rp30 juta. “Waktu merehab rumah ini (2005), tabungan istri saya Rp28 juta buat beli bahan bangunan,” kenangnya. Itu belum termasuk ongkos kerja yang ia kerjakan dibantu beberapa tukang dari Jawa Timur. Juga tidak termasuk perabotan kayu yang diproduksi sendiri. Hasilnya, bangunan rumah berlantai dua itu memang tampak megah.
Bagaimana kinerja Supri sebagai pemasok sawit ke PT SLS? “Yang tahu persis sebenarnya pihak KUD Amanah,” jawab Administratur PT SLS, Nyoman Pande Sutantra. “Tapi, melihat kesuksesan dia, mestinya kinerja dia bagus,” tambahnya. Menurut Nyoman, rata-rata petani pemasok sawit ke PT SLS berkinerja bagus. Kriterianya teruji melalui kualitas sawit yang dipasok ke PT SLS. Jika petani menanam bibit sawit berkualitas bagus, pasti hasilnya bagus juga. n
Sumber : http://www.jurnas.com/halaman/10/2013-05-30/248847

Komentar

Amisha mengatakan…
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Postingan populer dari blog ini

KISAH (NYATA) DI BALIK RASYAD FOUNDATION

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Contoh Soal Pretest PPG dan Jawaban