Cerita Supir Grab



Kemarin malam, setelah makan nasi tumpeng untuk merayakan ultah saya yang ke 25, suami mengajak saya dan 3 pasukan untuk cari yang segar-segar, es buah maksudnya. Karena hawanya agak mendung dan dingin-dingin empuk, jadi diputuskanlah untuk pesan taksi online, sebut saja Grab. Wkwk.

3 menit setelah orderan kami diterima, Pak Supir menelpon nomer HP suami menanyakan alamat kami di blok apa nomer berapa. Setelah info alamat diterima, telepon ditutup dan kami kembali bersiap pergi. Pintu depan sudah dikunci saat mobil Wuling tiba di depan pagar. Sungguh #PAS.

Kami langsung masuk mobil. Saya, Kakak Kimya si Sulung dan Jay, putra ketiga kami, langsung naik di belakang lewat pintu samping. Sedangkan Suami naik di kursi depan dengan pak supir yang masih muda sembari memangku Mas Kalih.

AC dimatikan, pintu dikuci, langsung kami capcus menuju salah satu pujasera di tengah kota. Seperti biasa di dalam mobil kami bercerita-cerita supaya suasananya tidak kaku. Melihat baju yang dipakai pak supir berlogo salah satu perusahaan finance, Pak Suami bertanya: "Kerja di Adir* tho, Mas?"

"Mboten, Mas. Sudah resign saya... Ini karena kaosnya enak saja makanya masih sering saya pake." Pak supir menjawab sambil tertawa.

Kami berdua senyum-senyum juga, kaos seragam dari perusahaan itu memang enak dipake, ga bikin sumuk dan awet padahal Pak Suami sudah resign dari Adir* itu 6 tahun yang lalu dan kaosnya masih sering dipake sampai sekarang. Hahaha.

"Sekarang ngasto dimana, Mas?", Lanjut Pak Suami bertanya.

"Nggih niki, nge-Grab niki, Mas... Soalnya istri saya sakit, jadi saya resign nemenin istri."

Kami hanya ber 'oooo' ria sambil manggut-manggut. Mau tanya sakit apa kok rasanya terlalu personal. Saya hanya salut kepada pak Driver karena berani resign demi menemani istri.

"Kalau yang sakit badannya masih enak, Mas. Istri saya sakit pikirannya." Pak Supir melanjutkan.

Glek. Saya tertegun. Maksudnya stress? Atau gimana? Kok sampe suaminya resign. Tanya saya dalam hati.

"Ooo, nggih Mas." Jawab Pak Suami, menanggapi. Mau bertanya lebih lanjut kok rasanya ndak etis.

"Gara-gara lahiran secar itu, Mas. Sama ibu saya, mbak-mbak saya, tetangga, ipar-ipar itu gak disupport malah dicelatu karena gak bisa lahiran normal. Padahal istri saya sudah bukaan lengkap sehari semalam sudah sakit di rumah bidan. Tapi bayi gak turun-turun, terus dirujuk ke Binasehat. Kata Fahmi (dokter obgyn), air ketuban sudah keruh harus segera operasi. Namanya saya panik ya, Mas. Ga tega juga lihat istri gulang guling kesakitan, saya langsung iya. Pake askes dari kantor.

Orang tua dan mertua saya kabari. Saya sholat isya itu sudah dinihari di mushola, setelah istri masuk ruang operasi. Pas saya selesai sholat, orang tua dan mertua saya sudah nunggu di depan ruang operasi, Mas. Pas sudah keluar anaknya, lega mas, Alhamdulillah cowok. Besoknya istri baru bisa keluar dari ruang post operasi. Bukannya memberi support, tapi istri disambut dengan 'kenapa kok secar? Ga kuat ngeden? Jarang gerak? Kurang iman' dan lain sebagainya, oleh Ibu saya bahkan oleh ibu mertua saya.

Dari situ istri saya hanya diam, saya pegang tangannya, menguatkan. Siangnya, ipar-ipar itu pada datang, Mas. Tambah lagi hujatannya. Kali ini yang dihujat masalah 'ngabisin uang' karena secar biayanya mahal. Tapi nyawa istri lagi bertaruh, Mas. Masak sempat saya mikir uang. Setelah keluarga pulang, tinggal kami berdua di kamar perawatan, istri saya nangis ngguguk Mas. Ingat perkataan ibu saya, katanya. Ibu saya memang bilang, belum jadi ibu kalau belum ngerasakan ngeden. Padahal istri saya itu udah mau pingsan, Mas karena ngeden ga bisa-bisa. Saya cuma nyabar-nyabari dan ngadem-ngademi.

Setelah 3 hari, kami pulang dari RS menuju kontrakan kami. Karena cuti saya sudah habis, saya masuk kerja. Kalau pagi, istri ditemani ibu saya. Habis magrib ibu saya pulang, ganti saya yang nemani. Saya lihat dari hari ke hari kok istri saya itu suka ngelamun, terus tiba-tiba nangis sendiri. Puncaknya, ketika si kecil umur 1 bulan setengah, Mas. Si kecil nangis tengah malam, minta nenen. Istri saya ngamuk kayak orang kesetanan, lalu anak saya dibanting di kasur matras di bawah yang saya pakai tidur. Saya ngamuk. Kok bisa kaya gitu sama anaknya.

Istri saya makin ngamuk, mulai malam itu dia resmi ga mau nenenin si kecil. Saya ngambek, Mas. Gak saya sapa itu berhari-hari. Sampe pas minggu subuh-subuh saya habis sholat, istri saya 'njegur' di bak mandi dengan kran dihidupkan. Kebetulan bak mandi saya itu tinggi, Mas. Kalau orang duduk, dan baknya penuh, itu sampe di atas kepala airnya.

Saya ngamuk sejadi-jadinya. Saya katain istri saya stress, edan, gila dan sebagainya. Saya tetap merasa benar. Sampai lama-lama istri saya jadi tambah parah level stressnya. Saya googling, tanya sana sini, kok katanya suruh bawa ke poli jiwa di Jember Klinik.

Senin, anak saya titipkan ke ibu saya karena mertua saya sudah sepuh dan rumahnya agak jauh, Mas. Saya bawa ke poli jiwa sesuai arahan teman-teman. Ternyata kata dokternya istri saya kena baby blues.

Kaget saya, Mas. Saya ga paham sama kaya gituan. Tapi dokternya kooperatif, semuanya dijelaskan dengan rinci. Istri saya dijadualkan konsultasi beberapa kali. Saya lakoni, Mas. Kata dokternya, istri saya sering dicelatu sama Ibu saya dengan kata-kata yang menyakitkan, cenderung menyalahkan, menghujat. Dan istri saya kebawa perasaan, dan akhirnya sampai seperti ini. Kata dokter, istri saya butuh pendampingan oleh orang-orang yang mensupport dia.

Mendengar itu, saya memutuskan resign. Ibu saya, saya larang ketemu istri. Akhirnya setelah terapi hampir 8 bulanan istri saya ada kemajuan, Mas. Masih sering 'ndomblong' tapi sudah ga menyakiti diri dan anak.

Tapi yaa gitu, saya ga bisa lama-lama ninggal. Yang dekat-dekat saja saya ambil. Kasihan soalnya. Dia berjuang seluruh nyawa, dan jadi stress kaya gini, Mas. Kalau bukan saya, ya siapa lagi?"

Pak supir bercerita panjang lebar. Suami hanya membalas dengan,
"Yang sabar nggih, Mas. Istri saya ini tiga kali secar, dan tiap habis operasi selalu mendengar kata-kata yang ga enak dikuping. Kuncinya cuma satu, sabar. Kita sebagai lelaki yang harus sabar. Kalau istri curhat, dengarkan dengan sabar. Kalau istri nangis, ya kudu sabar. Kalau kita mulai gak sabar, yakinlah kalau penderitaan istri akan bertambah karena bertambah satu orang lagi yang dia rasa sedang menyalahkannya."

Pak supir manggut-manggut lalu berterimakasih pada suami, basa-basi. Kami sudah sampai di tujuan, kami masuk dan pak supir pergi.

***
Seringkali mulut kita ini kok remnya blong untuk tidak bertanya : lahiran normal atau secar? kenapa kok secar? Ga kuat ngeden ta? Kurang gerak pas hamil ta?

Bagi yang bertanya, mungkin itu hanya lips service, alias abang-abang lambe untuk menunjukkan perhatian. Tapi bagaimana jika dilihat dari sudut pandang yang ditanya?

Yuk ibu-ibu, kita sama-sama menahan diri dari bertanya proses kelahiran, menghakimi proses kelahiran kecuali yang bersangkutan bercerita dengan sukarela.

Karena bisa jadi satu kalimat dari mulut kita, akan membuat nya menangis dan menyakiti dirinya.

Ucapkan doa dan kalimat yang baik-baik saja saat menyambut kelahiran, karena baby blues itu nyata dan post partum depression itu ada di sekitar kita. Jangan lagi ada wanita yang 'sakit' karena 'kata-kata' seperti istri pak supir Grab.

Untuk para suami, jadilah suami sabar dan siaga. Tetap sayangi kami, para istri, dengan sepenuh jiwa dan segenap raga.

Sekian dan terima kasih

Copas
Dari seseorang atas nama nidta jameelah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH (NYATA) DI BALIK RASYAD FOUNDATION

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Contoh Soal Pretest PPG dan Jawaban