Belajar Ilmu Ikhlas dari Penjual Kerupuk
“Hayo siapa yang belum bayar patungan makanan? Nggak apa-apa deh, aku ikhlas. Semoga yang bayarnya kurang nanti murus-murus perutnya…”
Sehari-harinya kata ikhlas sering terlontar dengan murahnya dari bibir kita. Tapi seberapa banyak sih dari kita yang benar-benar paham tentang arti ikhlas yang sebenarnya? Berapa pula diantara kita yang sudah mengamalkan ikhlas yang sesungguhnya? Ikhlas memang begitu mudah diucapkan namun sulit untuk ditunaikan.
Kapan kita bisa merasa ikhlas? Ketika kita sudah memiliki harta berlebih sehingga tidak merasa kekurangan lagi? Ketika semua yang kita inginkan sudah tersedia sehingga kita tidak merasa kerugian? Ada banyak teori tentang pencapaian ikhlas, dan sebuah kisah yang dihadapi salah seorang pengguna Facebook ini memberi pandangan yang lain tentang arti ikhlas sebenarnya.
Belum lama ini seorang ibu membagi cerita pertemuannya dengan penjual kerupuk tuna netra; sebuah pertemuan yang sudah menyentuh hatinya.
Seorang ibu tengah mengantar anaknya ke salah satu perumahan tempat teman sang anak tinggal di Bekasi. Di tengah jalan ia bertemu penjual kerupuk yang tengah berdagang sambil duduk–mungkin sekalian mengaso–di dekat pintu masuk perumahan. Karena memang ingin membeli kerupuk, tanpa pikir panjang Ibu Siti menghampiri sang penjual.
Penjualnya adalah seorang kakek tua, sebuah kupluk hijau bertenger di kepalanya. Tanya jawab sederhana layaknya jual beli biasa pun berlangsung. Setelah pembelian disepakati — sembilan ribu rupiah untuk tiga plastik kerupuk — selembar uang Rp. 10.000,- pun akhirnya diserahkan ke kakek penjual.
Betapa terkejutnya Ibu Siti ketika menyaksikan kakek tua tersebut ternyata tuna netra. Hal sesederhana menerima uang dan mencari letak tas pinggangnya harus dilakukan dengan meraba-raba. Kondisinya yang mengundang iba ternyata tidak membuat sang kakek patah semangat, berjualan di bawah matahari yang menyengat.
Jawaban sederhana dari sang kakek penjual kerupuk dapat membuka mata kita tentang arti ikhlas. Ikhlas yang tak diucapkan lantang namun dapat dirasakan.
“Uangnya berapa neng? Bentar ya kembaliannya”
Kakek itu bermaksud memberi uang kembalian pada ibu pembeli, meskipun hanya 1000 rupiah saja. Tas pinggang tempat uangnya dia buka dan keluarkan isinya. Hampir seluruh uang yang ada di dalamnya nyaris berhamburan keluar. Perkataan sang kakek setelah itu membuat sang ibu terperajat.
“Pilih Neng, kembaliannya…”
Karena ketidakmampuannya dalam melihat dan memilih uang kembalian, sang kakek memasrahkannya kepada pembeli untuk mengambil uang kembalian mereka sendiri. Tentunya langkah seperti ini sangat asing dan mengejutkan bagi kita orang biasa. Pikiran-pikiran negatif kerap hinggap di kepala perihal mempercayakan hal berharga seperti uang.
Pembeli: Pak, kalau saya kasih uangnya 2000 terus saya ambil kembalinya 10 ribu, Bapak ‘kan ngga tahu. Terus Bapak rugi, dong?Kakek: Gusti Allah ngga akan salah alamat kasih rejeki, Neng. Kalau sekarang saya harus rugi, saya yakin Gusti Allah pasti lagi nyiapin rejeki lain buat saya…Pembeli: Subhannallah…
Sang kakek kembali bertanya apakah uang kembalian yang menjadi hak si ibu pembeli sudah diambil, kemudian dijawab tidak usah karena itu telah menjadi salah satu rejeki buat sang kakek penjual kerupuk pada hari itu.
Sang kakek boleh tua, tak bisa melihat apa-apa dan cuma mengandalkan penghasilan dari berjualan kerupuk semata. Tapi hatinya yang begitu ikhlas, menyentuh perasaan.
Soal harta, dibandingkan dengan kita atau sang ibu pembeli, kakek itu jelas kekurangan. Fisik yang sudah renta dan indra penglihatan yang sudah tak sempurna, jelas juga menempatkan sang kakek pada posisi tak beruntung dalam pandangan banyak orang.
Akan tetapi, sang kakek sama sekali tidak mengemis belas kasihan dari orang lain. Beliau terus berusaha secara jujur untuk menyambung hidup sehari-hari dengan cara halal. Selain itu rasa percayanya kepada pembeli — memasrahkan uang bayaran dan kembalian pada kejujuran mereka — membuat kita dapat melihat salah satu bentuk ikhlas yang sebenarnya.
Ia tak punya harta berlebih atau tubuh yang sempurna, selembar dua lembar uang ribuan sangat berarti dan dibutuhkannya. Tapi tak ada rasa curiga, tak rela dan serakah dalam sikap dan keputusannya. Ada rasa pasrah dan tulus dengan kebersihan hati yang bergema dari tutur dan sikap sang kakek.
Tentu ikhlas ada bermacam-macam tingkatan dan wujudnya, namun kita bisa belajar dari kakek buta penjual kerupuk ini, bahwa tanpa harta berlimpah dan kenikmatan yang meruah kamu juga bisa ikhlas dan menjalani hidup dengan ketulusan. Semoga hidup kita semakin damai dan tentram setelah kita mampu menguasainya.
Terima kasih kepada Ibu Siti Sukma Herawati yang telah membagi kisah inspiratif ini melalui akun media sosialnya.
Komentar