TINGKATKAN TARAF HIDUP DENGAN MENJADI PETANI SAWIT

Siapa bilang kehidupan petani atau peternak selalu pas-pasan? Kalau “petani dan peternak berdasi” memang identik dengan pengusaha besar. Tapi, fakta sejumlah peternak dan petani sawit di Riau yang hidup makmur ini benar-benar terjadi. Mereka mampu meninggalkan garis kemiskinan setelah bekerja keras, ulet, kreatif, dan tak kalah pentingnya mau dibina oleh PT Asian Agri, perusahaan perkebunan sawit yang masuk 5 besar di Indonesia.
Berkat kemitraan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) Asian Agri, para petani sawit dan peternak yang tergabung dalam KUD Jaya Makmur rata-rata memiliki penghasilan kotor Rp6,9 juta per bulan untuk tiap kavling kebun sawit. Asal tahu saja seorang petani di sana umumnya memiliki 2 kavling hingga 50 kavling (1 kavling = 2 hektar).

Rumah mewah petani sawit di Riau, H.Musimin
Rumah mewah petani sawit di Riau, H.Musimin
Bagi petani yang kreatif, selain usaha kebun sawit juga merambah peternakan sapi dengan memanfaatkan limbah tanaman sawit untuk pakan ternak. Hasilnya, sapi-sapi itu tumbuh sehat dan besar sehingga memiliki harga jual Rp36 juta – 50 juta per ekor sapi. Sementara itu, kotoran sapi digunakan untuk pupuk kebun sawit, sehingga lebih hemat biaya pembelian pupuk dan hasil panen meningkat.
Pengelolaan kebun sawit dan ternak sapi yang terintegrasi merupakan bagian program ISKA (Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit) yang diterapkan Asian Agri (melalui PT Indosawit) sejak tahun 2007. Program ini mudah diterapkan dan banyak manfaatnya. Lihat saja di awal program hanya ada 40 ekor sapi, tapi kini populasinya sudah mencapai ratusan sapi.
Makmurnya kehidupan petani sawit di Riau juga tercermin dari gemuknya pundi-pundi KUD Jaya Makmur yang menaungi anggotanya. Bila awal berdiri tahun 1992 KUD ini hanya memiliki aset kecil, kini kas koperasi mencapai miliaran rupiah. Bidang usahanya simpan pinjam, warung serba ada, sarana produksi, dan sebagainya.
Martinus Ginting, staf CSR Asian Agri, menjelaskan, hingga kini Asian Agri telah membina sekitar 30 ribu petani. Sejak beroperasi tahun 1979, Asian Agri memiliki kebun inti seluas 100 ribu hektar; kebun plasma 60 ribu hektar; kebun swadaya 10.660 hektar yang bermitra dengan 4.000 petani swadaya. Lokasi kebun tersebar di Riau, Jambi dan Sumatera Utara.
Inilah beberapa kisah sukses petani sawit binaan Asian Agri yang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain agar tidak meremehkan pekerjaan dan jasa seorang petani.
H. Musimin, Jadi Milyuner dari Berkebun Sawit
Kalau saja Musimin tidak bertekad mengubah nasib, mungkin sampai sekarang tetap menjadi kuli bangunan atau hidup kekurangan di Jakarta yang hingar bingar itu. “Dulu saya merantau di Jakarta sebagai kuli bangunan sejak menikah tahun 1987 hingga 1991. Tinggal di kontrakan bangunan kecil dan makan nasi bungkus tiap hari, ” kenang Musimin (51 tahun) yang berasal dari Cilacap itu.
Bosan dengan kemelaratan di Jakarta, suatu ketika Musimin diajak temannya untuk ikut program Transmigrasi. Meski awalnya ragu, tapi karena didukung sang isteri bernama Sutinah, dia pun berangkat juga ke Riau untuk transmigrasi tahun 1991.
Awal menginjakkan kaki di bumi Riau, kondisinya masih hutan belantara, sepi dan rawan kejahatan. Beda jauh dengan sekarang yang jalanan mulus, infrastruktur meningkat, hamparan kebun sawit teratur dan banyak penduduknya.
H.Musimin dan Hj. Sutinah bahu membahu mengubah nasib
(ki-ka) Hj.Sutinah dan H. Musimin  bahu membahu mengubah nasib
Sebagai transmigran, dari pemerintah keluarga Musimin berhak mendapatkan tempat tinggal rumah papan yang sederhana, lahan 1 kavling, jatah beras dan lauk pauk (ikan asin, minyak goreng) untuk hidup selama 2 tahun gratis.
“Sebenarnya lahan sawit dari pemerintah itu tidak murni gratis, tapi kami harus mencicil dengan harga murah setiap panen tiba,” ujar pria yang menjadi transmigran sejak usia 28 tahun itu. Lahan sawit itu kredit ke pemerintah selama 4 tahun dan pendapatan dipotong 30% dari hasil panen sawit.
Kala itu, tiap pagi Musimin harus menempuh perjalanan jauh untuk menuju ke ladang sawit dengan jalan kaki. Di sela-sela kesibukannya bercocok tanam di ladang sendiri (dari jam 7.00-14.00), dia juga menjadi buruh paruh waktu di ladang orang lain demi menambah penghasilan. Dikisahkan, tahun 1991 pendapatannya sebagai buruh Rp1.250 per hari. Lalu, tahun 1993 upah buruh naik menjadi Rp1.800. Kini, upah pasaran buruh mencapai Rp76.000 per hari.
Hidup dalam keprihatinan selama 3 tahun pertama sebagai transmigran, diakui Musimin sempat membuatnya ingin pulang kampung. Maklum, saat itu banyak teman-teman transmigran yang tidak kuat, sehingga tergoda balik ke Jawa. Apalagi saat itu banyak kejahatan seperti perampokan di sana. “Kalau tidak sungguh-sungguh ingin mengubah nasib di sini, pasti saya sekeluarga juga ikutan pulang ke kampung,” pria yang tidak tamat Sekolah Dasar itu berujar.
Di tengah keterbatasan itu, muncul ide Sutinah untuk mengusir kejenuhan dan bantu suami mencari nafkah, yaitu mencoba beberapa usaha. Mulai dari buka warung ala kadarnya, jualan bakso, keliling dagang tempe dan rias pengantin sederhana. “Keterampilan itu saya dapatkan sejak ada di kampung asal dan sekolah saya kan terakhir di kejuruan SMK,” ucap Sutinah dengan wajah sumringah.
Waktu terus berjalan. Kehidupan suami isteri ini pun dilalui dengan rutinuitas. Keteguhan dan kegigihan Musimin dan Sutinah sedikit demi sedikit berbuah manis. Lihat saja, tahun 1995, panen perdana kebun sawit Musimin dimulai. Saat itu produksinya mencapai 1 ton dengan harga jual sawit Rp200/kg. Kalau sekarang, harga pasarannya stabil di kisaran Rp1.700/kg dengan rata-rata volume panen 4-6 ton per bulan.
Jumlah panen yang terus meningkat diiringi dengan usaha sampingan isteri, membuat perekonomian rumah tangga Musimin terus membaik. Puncaknya, saat terjadi krismon tahun 1997-1998 harga sawit melambung di Rp2 juta/kg. Inilah momen titik balik para petani sawit yang bak mendapatkan durian runtuh. Bisa ditebak, kantong Musimin dkk menjadi tebal dari penjualan panen sawit.
Untuk apa saja rezeki nomplok itu? “Hasil panen sawit itu saya belikan lagi lahan untuk kebun sawit, beli tanah dan membangun rumah,” kata kakek seorang cucu ini. Rumah dan kebun Musimin berlokasi di Desa Kumbara Utama, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Ya, seiring pergantian hari, kondisi Musimin memang sudah berubah drastis. Sebagai mantan kuli bangunan, dia tahu betul bagaimana mendesain rumah yang kokoh dan indah. Maka, dia menggandeng kontraktor yang juga temannya sendiri untuk membangun rumah mewah seluas 224 meterpersegi yang menghabiskan dana Rp1 miliar. “Untuk luas rumahnya ukuran 14×16 meter, sedangkan luas pekarangan 500 meterpersegi,” tambah Sutinah (47 tahun).
Selain rumah mewah, saat ini jumlah kebun sawit Musimin juga bertambah luas: 8 kavling kebun hasil plasma dengan Asian Agri dan 6 kavling kebun di luar plasma (swadaya). Bagaimana dengan kendaraan? “Meski rumah sudah saya siapin garasi yang muat dua mobil, tapi sampai sekarang saya belum beli mobil karena belum perlu. Kendaraan kami hanya 4 motor,” tutur Musimin merendah.
Agar kehidupan pewarisnya lebih baik, Musimin juga menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Dari 4 anaknya, 1 orang sedang kuliah S1 di Riau, 1 orang lulus STM, 1 orang masih SMP plus 1 anak masih kelas 5 SD.
Pengalaman lain dari hasil menjadi petani sawit sukses? “Kalau pulang kampung bisa naik pesawat. Saya dan isteri juga sudah menunaikan ibadah haji tahun 2010,” ucapnya lega. Apalagi, kini bisnis Sutinah berkembang dengan memasuki usaha klinik herbal, totok wajah dan MLM Tupperware.
“Saya yang mengajukan diri untuk menjadi plasma mitra binaan Asian Agri. Kami berterima kasih dengan dukungan Asian Agri yang cukup lama selama ini. Rencananya kami akan mengembangkan usaha ke ternak ayam dalam waktu dekat,” kata Musimin tentang rencana pengembangan usahanya tahun 2015.
Apa kunci suksesnya? “Kerja keras,” ujarnya tandas. Dia pun sudah mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi generasi penerus petani sawit, salah satunya anak sulung yang sudah mengikuti jejaknya.
Rustamari, Tekad 100% Mengubah Nasib
“Kalau bukan kita yang berusaha memperbaiki nasib, siapa lagi. Tekad saya 100% ingin mengubah nasib,” ungkap Rustamari (47 tahun) tentang alasannya menjadi petani sawit.Hasrat meningkatkan taraf hidup itu awalnya diwujudkan dengan menjadi peserta transmigrasi di era Presiden Soeharto. Sama halnya dengan transmigran lain, dia pun diberi kredit lahan sawit untuk dikelola.
Rustamari, Ketua KUD Jaya Makmur (kemej kotak kotak) bersama tim Asian Agri
Rustamari, Ketua KUD Jaya Makmur (kemeja kotak kotak) bersama tim Asian Agri
Dari Surabaya, Rustamari merantau ke Riau. Dia mengisahkan, “Tahun 1991 saya merantau di Riau waktu masih umur 27 tahun. Sebagai angkatan pertama transmigrasi di sini di tengah hutan, ya ada rasa cemas dan takut juga.”
Perjalanan hidup Rustamari penuh liku. Tahun 1994 masa sulit sebagai petani sawit transmigran belum dilalui juga. Sebab dia harus menjual sebagian kebun sawitnya untuk membayar utang. Toh, dia pantang menyerah. Terus bekerja lebih keras mengelola kebun sawit dan tekun berusaha.
Harga sawit yang meroket saat krismon juga menjadi berkah bagi Rustamari. Salah satunya, dia mampu melunasi utang yang diprediksi 15 tahun lunas, malah 5 tahun bisa dibayar. “Bayangkan saja harga sawit dari Rp8/kg tahun 1994 tiba – tiba melonjak di Rp2 juta/kg tahun 1997-1998. Kalau sekarang stabil harganya di Rp1.500-2.000/kg,” jelas pria kelahiran Solo tahun 1967 itu.
Sekarang Rustamari pun menikmati jerih payahnya sebagai petani sawit. Rumah besar menjadi tempat tinggalnya berikut mobil sport dan beberapa motor sebagai alat transportasi keluarganya.
Kebun sawit Rustamari juga berkembang. Bila awalnya dikasih kredit pemerintah 1 kavling seluas 2 hektar, saat ini kebunnya menjadi 6 kavling alias 12 hektar. Bahkan, dia mampu mempekerjakan 4 buruh tani dengan gaji Rp3 juta/bulan untuk tiap orang. Menurutnya, harga lahan di Riau tahun 2000 sebesar Rp 20 juta/hektar, kini pasarannya naik menjadi Rp280 juta/hektar.
Kemampuannya untuk berbicara di depan umum dan jiwa kepemimpinan yang menonjol menjadi daya tarik Rustamari sehingga didapuk sebagai Ketua KUD Jaya Makmur yang dirintisnya bersama rekan-rekan tahun 1992 sampai sekarang.
Sebagai pengurus KUD Jaya Makmur yang memiliki 20 kelompok petani sawit, Rustamari sering mengajak teman-temannya untuk menjadi mitra petani plasma Asian Agri. “Bergabung dengan Asian Agri enak sekali. Makanya sampai sekarang kami masih bekerja sama,” klaim Rustamari yang hendak mengembangkan usaha ternak ayam kampung dengan bibit asal Yogyakarta.
Senada dengan Musimin yang mengkader anaknya menjadi petani sawit sejak dini, Rustamari pun demikian. “Bagaimanapun anak-anak harus ada yang meneruskan kebun sawit orangtuanya,” jelasnya seraya mengatakan anak sulungnya baru saja menggondol gelar Sarjana dan memutuskan untuk menjadi petani sawit sebagaimana sang ayah.
H. Misnatun, Juragan Sapi di Riau
Menjadi petani sawit atau peternak sapi bukanlah cita-cita Misnatun. Sedari kecil hidupnya sarat dengan keprihatinan. Mata pencaharian keluarganya di sebuah desa di Jember, Jawa Timur sebagai buruh tani di sawah tidak mampu menyekolahkan hingga tinggi. Tidak heran bila dia hanya mengenyam pendidikan terakhir di SMP. “Orang miskin seperti saya ini tidak punya cita-cita waktu kecil,” ujar pria bertubuh subur ini.
(Kanan) H. Misnatun dengan petugas pembimbing peternakan sapi dari Asian Agri
(Kanan) H. Misnatun dengan petugas pembimbing peternakan sapi dari Asian Agri
Namun, garis nasibnya berubah sejak Misnatun memutuskan ikut transmigrasi ke Riau. Sebagai petani pendatang, dia dkk dituntut untuk bekerja lebih giat jika ingin survive di perantauan. Pergi ke ladang, ke pasar atau ke mana saja selalu dilakoni dengan jalan kaki. Pola hidupnya juga sangat hemat mulai dari makanan maupun pakaian. Hasilnya? Tidak sia-sia selama 23 tahun merantau dia berhasil memiliki 50 kavling kebun sawit seluas 100 hektar di daerah Bukit Harapan, Provinsi Riau.
Sukses ‘membiakkan’ kebun sawitnya tidak membuat Misnatun puas. Tahun 2009 dia menjajal peruntungan lain: beternak sapi. Mengapa? “Sebagai orang Madura sudah menjadi tradisi di tiap rumah memiliki 2-3 sapi. Lagi pula peternakan sapi ini bisa digabungkan dengan perkebunan sawit. Ini hasil binaan Asian Agri,” jelas Misnatun yang sebelum merantau ke Riau bekerja sebagai buruh giling padi di kampungnya itu.
Untuk merintis usaha ternak sapi itu, awalnya Misnatun cuma memiliki 5 ekor sapi. Pemeliharaan sapi ini dengan arahan Asian Agri melalui PT Indosawit dengan program ISKA untuk menggunakan pakan ternak dari limbah samping tanaman sawit. Pakan itu selain lebih bergizi bagi sapi juga lebih hemat. Tak lupa Misnatun memandikan sapi dan membersihkan kandangnya agar sapi-sapi itu tumbuh sehat dan gemuk.
Berkat ketelatenan Misnatun merawat sapi-sapinya, jumlah hewan itu terus beranak pinak hingga 150 ekor. “Tapi sekarang sapinya tinggal 70 ekor, karena pas Idhul Adha kemarin banyak terjual. Bagi peternak sapi yang merasakan manfaat Program Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit dari Asian Agri, pasti terus ketagihan,” celotehnya dengan tergelak. Harga sapi milik Misnatun dari beberapa varietas itu dijual seharga Rp38 juta sampai Rp50 juta tiap ekornya.
Terus bertambahnya jumlah ternak sapi, membuat Misnatun kewalahan untuk mengurus sendiri. Maka, dia pun mempekerjakan 10 karyawan yang diambil dari kampungnya di Jember. “Saya ajak saudara, teman atau tetangga yang mau bekerja keras dan memperbaiki nasib untuk merantau di sini melalui ternak sapi atau menjadi petani sawit,” dia menguraikan alasannya.
Tidak hanya bertangan dingin mengelola kebun sawit, Misnatun pun piawai membesarkan usaha ternak sapinya. Tidak heran bila dia ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Ternak Soneta yang awalnya memiliki 11 anggota. Setelah usaha berjalan baik, perkumpulan peternak sapi ini mendapat suntikan modal dari Bank Riau dan BRI sekitar Rp500 juta.
Untuk memasarkan sapi-sapinya tidak sulit. Para pembeli dari Pekanbaru sering datang sendiri ke kandangnya. Apalagi kalau hari raya Idul Adha penjualan melesat beberapa kali lipat. “Ya, berkebun sawit dan ternak sapi sudah menjadi jalan hidup saya. Yang penting kerja keras dan rajin,” Misnatun membeberkan rahasia suksesnya.
Keberhasilan Misnatun juga tak luput dari peran sang isteri, Susiyati (36 tahun). Isterinya selain sibuk mengurus rumah tangga, juga membuka usaha kelontong untuk menambah penghasilan keluarga. Gotong royong suami isteri dalam mencari nafkah semakin memperkokoh sendi perekonomian keluargaanya. Hartanya terus bertambah.
Walaupun penampilan Misnatun terlihat sederhana, siapa sangka jika dia memiliki aset ternak sapi yang nilainya mencapai miliaran, kebun sawit 100 hektar bernilai miliaran. Aset ini masih ditambah dengan membeli rumah di Pekanbaru senilai Rp650 juta; beli rumah, sawah 3 hektar, kebun jati seluas 5.000 meterpersegi di Jember; mobil Toyota Rush dan Mitsubushi Pajero, dan lainnya.“Juga bisa pulang kampung kapan saja naik pesawat,” ujar Misnatun yang sudah bergelar haji ini.
Soal regenerasi petani sawit, Misnatun berharap seperti ungkapan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya’. Itulah sebabnya sejak anak-anaknya masih kecil sudah diajarkan bagaimana menjadi petani sawit yang baik. ”Salah seorang anak saya ada yang sudah kuliah di sebuah universitas di Riau. Mudah-mudahan bisa melanjutkan usaha orangtua, ” tutur ayah empat anak ini dengan nada bangga. (EVA)
sumber : http://swa.co.id/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit

KISAH PELAYAN MENJADI MANAGER JARINGAN HOTEL DUNIA