Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Beliau adalah orang yang rela menahan rasa sakit dan segala beban ketika mengandung dan melahirkan kita. Bahkan hingga setelah kita besar dan tumbuh, beliau adalah orang yang paling bangga dengan sekecil apapun hal baik yang kita lakukan. Beliau juga akan selalu berada di garis paling depan untuk menjaga kita dari segala macam gangguan duniawi.
Tgl 22 Desember yg lalu  Indonesia  merayakan sebuah hari spesial, yaitu Hari Ibu. Berbagai kalangan, umur, dan jenjang sosial turut merayakannya dengan berbagai hal. Ada yang mengirimkan bunga untuk ibundanya, ada juga yang hanya sekedar mencium dan mengatakan ‘terima kasih’ kepada ibunya.
Sebelumnya, mari simak kisah yang dilansir dari vemale.com di bawah ini :
Seorang perempuan renta memilih tinggal bersama anak bungsunya yang telah menikah. Semua anaknya yang lain telah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Perempuan itu merasa bahagia dapat tinggal bersama anaknya, apalagi ditambah kehadiran cucunya yang baru berusia enam tahun.
Perempuan tua itu sudah sangat lemah. Lututnya sering gemetar tak kuat lagi menyangga beban tubuhnya sendiri. Tangannya pun sering bergetar saat memegang benda. Penglihatannya mulai rabun.
Sudah menjadi tradisi keluarga, setiap akhir minggu, seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan malam bersama. Di ruang makan yang cukup luas, berkumpul seluruh anak-anak perempuan tua itu membawa serta keluarganya. Mereka sengaja datang dari luar kota untuk merayakan tradisi keluarga yang sudah sejak dulu dilakukan. Saat seperti inilah yang sangat dinanti sang perempuan tua itu.
Pada saat makan malam seperti inilah, terkadang perempuan tua yang sudah pikun itu sering membuat kacau acara. Tangannya yang lemah dan gemetar serta penglihatan yang mulai rabun, membuatnya sulit untuk memilih serta menyantap makanan. Tak jarang, sendok dan garpu jatuh ke lantai, sayur sup tumpah membasahi taplak meja, karena ia tak mampu lagi menyangga mangkuk sup. Semua anak dan menantunya menjadi jengkel dan gusar dengan tingkah perempuan tua itu. Mereka merasa sangat direpotkan dengan semua kejadian itu. Si sulung lalu berkata, "kita harus melakukan sesuatu. Aku sudah muak dan bosan melihat kejadian seperti ini terus menerus, sehingga kita tidak bisa menikmati makanan yang kita santap."
Lalu, mereka akhirnya sepakat untuk membuatkan sebuah meja kecil untuk ibu mereka. Meja kecil itu ditempatkan di salah satu sudut ruang makan, terpisah dari meja makan utama. Di kursi serta meja itulah, perempuan tua itu akan duduk untuk menikmati makan malamnya, sendirian. Meja kecil itu juga dilengkapi dengan piring dan gelas kayu, agar tak pecah saat terjatuh.
Tak ada lagi kekacauan di malam berikutnya. Semua orang makan dengan lahap, anak-anaknya menyantap makanan dengan lahap tanpa terganggu oleh ulah sang ibu. Agar perempuan tua itu tidak memecahkan piring serta gelas, anak-anaknya membuatkan juga mangkuk serta gelas dari kayu.
Begitulah seterusnya, acara makan malam mereka tidak lagi terganggu sehingga mereka benar-benar menikmati kelezatan makanan yang mereka santap. Di sudut ruangan, perempuan itu tetap berusaha menikmati makan malamnya, meski kali ini ia harus tersingkir dari anak-anaknya sendiri. Perempuan tua itu merasa sangat sedih. Air matanya mengalir melewati gurat keriput di pipinya saat ia menyuapkan nasi ke mulutnya yang tak lagi bergigi.
Sejak si nenek disingkirkan di sudut ruangan, cucunya yang biasa bermain dengannya merekam kejadian yang menimpa neneknya itu ke dalam otaknya. Setiap acara makan malam bersama, ia selalu melihat kesedihan di wajah tua neneknya. Suatu malam, setelah acara makan malam bersama selesai, ia mengambil sepotong kayu dan meraut kedua ujungnya. Ayahnya yang melihat hal itu lalu bertanya, "Nak, kamu sedang membuat apa?"
"Oh, aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu, seperti halnya Ayah membuatkan untuk nenek. Kalau Ayah dan Ibu sudah tua seperti nenek, aku akan meletakkan meja ini di sudut ruang makan, persis seperti nenek," ujar anak itu sembari melanjutkan pekerjaannya.
Jawaban spontan itu membuat kedua orangtuanya terkejut dan sangat terpukul. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya yang baru berumur enam tahun, mampu berkata seperti itu. Bersamaan dengan itu, airmata mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, mereka mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Setelah kejadian malam itu, Si Bungsu selalu memapah ibunya ke meja makan untuk bersantap dan duduk berkumpul bersama dengan anak-anaknya. Tak ada lagi omelan yang keluar dari mulut mereka pada saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak meja ternoda. Mereka makan bersama lagi di meja utama. Dan anak kecil itu, kini tak lagi meraut untuk membuat meja kayu.
Sahabat ku  yang Berbahagia,
Ketika kita mulai perhitungan dengan apa yang kita berikan terhadap ibu kita, hendaklah berpikir sejenak dengan tenang. Apa saja yang telah dilakukan ibunda kita kepada kita? Mereka telah melakukan lebih banyak dari apa yang kita berikan, bahkan hingga mengorbankan nyawanya. Terlebih lagi semua itu dilakukan tanpa meminta sedikitpun imbalan dari kita.
Maka, mulai sekarang, sayangilah ibu Anda, dan ingat! Anda adalah orang yang beruntung masih memiliki ibu ketika banyak orang di luar sana membutuhkan sosok seorang ibu.
Salam Bakti Luar Biasa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit

KISAH PELAYAN MENJADI MANAGER JARINGAN HOTEL DUNIA