kisah-petani-sukses-ketika-padang-kritis-jadi-lahan-produktif

“Tetapi, cita-cita saya adalah kebun saya itu tidak boleh sama dengan kebun umumnya di kampung ini. Saya harus siapkan kebun untuk masa depan saya dan terlebih untuk anak-anak,” 
Markus Mangu Lajar, diantara tanaman kopi miliknya. (Foto : FBC/Yogi Making)
LEWOLEBA,FBC-Musim hujan tahun akhir 2013 hingga awal 2014 merupakan malapetaka bagi masyarakat petani di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Ratusan hektar lahan padi dan jagung miilik petani terancam gagal panen, kenyataan ini sungguh mencemaskan, terumama bagi petani yang hanya menggantungkan hidupnya pada padi dan jagung.
Namun tidak bagi Markus Mangu Lajar, petani asal desa Nubahaeraka, yang dulunya pernah hidup merantau di luar Lembata ini. Melalui usaha pertaniannya, Markus  kini  mampu menghasilkan pundi-pundi uang bernilai ratusan juta rupiah dari kebun yang dulunya berupa lahan gundul, kritis dan jadi langganan kebakaran hutan.
Markus tidak sendirian.  Melalui  sentuhan tangan Yayasan Bina Sejahtera (YBS), lahan yang dulunya bahkan tak pernah dilirik oleh petani lain di desanya, berhasil diubah menjadi taman uang. Dari lahan seluas lebih dari 1 hektar itu, setiap tahunnya Markus memanen uang ratusan juta.
Lahan Kritis jadi Produktif
Dari Lewoleba- ibukota Kabupaten Lembata, kami mendengar informasi yang menyebutkan  Markus Mangu Lajar berhasil mengubah lahan kritis menjadi lahan produktif. Kami pun segera  menyambangi Desa Nubahaeraka, guna menggali kisah suksesnya dan melihat dari dekat lahan yang konon di tanami pohon-pohon uang, berikut ulasan lengkapnya.
Di era 1980, situasi kekeringan menyulitkan petani untuk berkebun. Kondisi alam ini mempersulit perekonomian desa-desa di Lembata, tidak terkecuali di Desa Nubahaeraka, desa asal Markus Mangu Lajar.
Markus Mangu Lajar saat memanen alfokat. (Foto : FBC/Yogi Making)
Kondisi yang dialami warga, juga membawa pengaruh yang besar bagi perjalanan hidup Markus Mangu. Ketika itu ia masih  lajang. Ia memutuskan  untuk merantau ke Manggarai.
Di Manggarai, selama perantauan ia mengerjakan apa saja untuk menyambung hidupnya. Di belahan barat pulau Flores inilah, ia juga  akhirnya  menemukan belahan jiwanya.
“Saat saya kembali dari Manggarai, orang tua dan keluarga tanya, apa oleh-oleh yang dibawa. Saya hanya bilang saya bawa oleh-oleh isteri dan anak,” kenang Markus.
Ia menuturkan, sekembali dari Manggarai dan mengalami situasi kampung ia pun menjadi bingung.  “Setelah tinggal beberapa di kampung saya bingung, apa harus saya kerjakan, sekolah juga terbatas, apalagi uang. Tetapi saya punya semangat untuk berusaha,” ujarnya.
Berbekal semangat dan warisan tanah milik orang tuanya Markus mulai memilih untuk “menceburkan” diri  menjadi petani. Awalnya, dari lahan warisan orang tua itu, ia mulai menanam pisang. Ia pun perlahan mulai menikmati hasil tanamannya karena ratusan anakan pisang yang ia punya mulai dibeli dari warga setempat.
Sejak itu, seluruh perhatian dicurahkan untuk mengelola lahan yang baru ditanami pisang, hingga satu ketika, secara tak sengaja dia bertemu dengan Markus Sidhu Batafor, Pengelola YBS.
Dari pertemuan singkat itu, dia tahu kalau YBS adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat non pemerintah (NGO)yang giat melakukan pendampingan dan mengajak petani untuk merubah lahan kritis menjadi lahan produktif dengan kampanye “back to nature”.
Semangat Markus untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pertanian mulai muncul. Dia lalu membentuk kelompok tani dan meminta YBS untuk mendampingi. Kelompok tani bentukan Markus itu beranggotakan tiga rumah tangga petani.
“Kelompok kami awalnya hanya tiga keluarga. Setiap hari kami kerja buka padang untuk dijadikan kebun. Tetapi, cita-cita saya adalah kebun saya itu tidak boleh sama dengan kebun umumnya di kampung ini. Saya harus siapkan kebun untuk masa depan saya dan terlebih untuk anak-anak,” kenangnya.
Pendampingan YBS 
Lajar kian bersemangat kala YBS yang dikomandani oleh Purnawirawan Kolonel Markus Sidhu Batafor mulai melakukan pendampingan. Kampanye kembali ke alam diterapkan secara sungguh.
Saat itu, hamparan terjal yang disebut sebagai “Kuat” oleh masyarakat setempat, dipenuhi semak belukar. Padang itu didominasi ilalang dan tanaman perdu liar, Gersang dan terlantar. Setiap tahunnya, padang Kuat, demikian warga setempat menamakan padang itu, selalu menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi lahan kritis ini tidak membuat Markus patah semangat. Ilmu pertanian lahan kering yang ditularkan penyuluh YBS dia terapkan. Markus kian terobsesi untuk merubah lahan kering itu menjadi pohon uang tat kala hadir Benyamin Michel seorang pria bule berkebangsaan Ingris, tenaga Volentir yang dikirim Oxfam GB untuk mengabdi bersama Yayasan Bina Sejahtera di Lembata.
Bersama Ben, demikan pria bule itu disapa, mereka menebas gulma, menebang perdu liar  membangun terasering, dan menanam gamal sebagai tanaman penguat teras.
“Gama-gamal itu, tidak sekadar penguat teras tetapi juga menghijaukan lahan, memperbaiki iklim lokal, dan memperbaiki stuktur tanah, begitu kata teman-teman pendamping dari YBS dulu” kata Markus.
Awal ketika lahan itu dibuka, Markus hanya menanam kacang tanah. Kacang-kacang ini, selain untuk di panen,   batang  dan daun kacang tanah ternyata mengandung banyak unsur hara. Sekitar tahun 1996, atau satu tahun setelah lahan kuat dibuka, Markus mulai menanam tanaman jangka panjang.
Terhadap lahan itu, Lajar bermimpi untuk menanam beberapa jenis tanaman yang bisa di panen dalam waktu berbeda. Mimpi Lajar, disampaikan kepada staf YBS, bersama seorang staf YBS mereka membuat sketsa perencanaan kebun, dengan memperhitungkan kondisi lahan, iklim dan jenis tanah.
Beberapa tanaman dipilih Markus untuk di tanam. “Saya bilang ke Pak Elias bahwa, saya mau kebun saya itu akan menjadi pohon uang” ujarnya.
Mengerti akan mimpi Markus, Elias staf YBS itu lalu merancang kebun masa depan milik Mangu Lajar. Dari lahan seluas lebih dari 1 hektar, beberapa tanaman direncakan untuk ditanam berupa, Kemiri, Alpokat, Kopi, dan Siri.
Ke Kebun Markus
Ayah tiga orang anak itu bersemangat saat didatangi floresbangkit.com, Ia mengajak kami menuju dua lahan kebun miliknya yang letaknya tak berjauhan. Menurut Lajar dua lahan itu, masing-masing seluas lebih dari 1 hektar.
Keladi, diantara pohon-pohon uang milik Markus Mangu Lajar (Foto : FBC/Yogi Making)
Kemiri muda usia menjulang tinggi sementara butiran kemiri berserakan di tanah, buah alpokat bergelanntungan di ujung dahan, sementara dahan kopi mengeluarkan bulir-bulir yang lebat.
Tidak terbayang, areal yang dipenuhi tanaman komoditi ini adalah areal gersang, tandus pada era 1980-an. Kebun itu terawat baik.  
Mangu Lajar menuturkan, Yayasan Bina Sejahtera mengajarkan kepadanya untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia, baik sebagai penyubur tanah maupun pembasmi hama.
YBS sangat menganjurkan untuk menerapkan pola pertanian yang ramah lingkungan, gulma liar setelah di bersihkan tidak boleh di bakar, dahan gamal yang mulai tinggi, harus pangkas dan daunya di hampar diatas lahan, kelak daun-daun itu akan berubah menjadi humus tanah. 
Demikian juga dengan terasering, selain untuk menahan erosi, terasering juga bermanfaat untuk memperlancar resapan air hujan kedalam tanah. Dengan demikian, dikala musim panas, lahan yang lain tampak kering, tetapi lahan milik Markus lembab, tanaman tetap hijau.
Kami tidak saja diajak melihat kebun uang di Kuat, tetapi Markus juga membawa kami untuk melihat lahan lainnya. Tak beda dengan lahan kuat, lahan Markus lainnya terletak di lembah Bauraja. Tampak Alpokat berbuah lebat, demikian juga kopi dan KKO. Dan menariknya, di pintu masuk kebun kami disambut dengan buah markisa yang menghambur di tanah.
“Ama (Bapak-red) buah markisa ini saya lepas saja, kadang saya ambil untuk kasih makan babi,” kata Lajar.
Lahan Marskus di lembah Bauraja desa Nuba Alojo itu, sedikit berbeda dengan lahan miliknya di Kuat. Di lahan seluah 1 hektar itu, selain dipenuhi tanaman komoditi, markus juga menama keladi.
“Keladi ini setiap satu tahun saya penen, saya jual ke peternakan babi milik Misi Katolik Lewoleba dengan harga Rp. 1. 500 per kilo, sementara kemiri sekarang Rp. 15 ribu, kalau alpokat satu kilo Rp. 10 ribu, kopi sekarang dengan harga Rp. 15 ribu per kilo,” urai Markus.
Dia mengatakan, dalam setahun pohon uangnya itu menghasilkan ratusan juta rupiah. Dari penuturan itu, kemudian diketahui kalau petani sukses di lahan kritis itu tidak hanya menanam tanaman komoditi, pada lahan lainnya Lajar menanam Jati, dan mohoni yang jumlahnya hampir mencapai ribuan.
“Saya tanam bukan untuk saya, tapi untuk anak-anak saya. Dari pohon-pohon uang itu, saya bisa sekolahkan anak, dan bangun rumah, bahkan saya naik pesawat untuk kunjung anak yang sekolah di Bali,” katanya.
Tidak Gelisah
Di tengah hamparan “pohon uang” milik Markus, FBC pun mulai ingat akan musim yang kini tak menentu dan banyak petani lain yang harus berjuang untuk mengatasi. FBC pun bertanya dan meminta komentarnya tentang  minimnya curah hujan dan ancaman gagal panen.
Sambil tersenyum Markus menjawab. “Saya tidak gelisah. Pohon-pohon ini masih memberi saya hidup. Dan semua ini karena Bapak Sidhu Batafor juga dan staf-stafnya yang setia mendampingi kami. Terimakasih YBS,” bangga Lajar.
Musim yang tak menentu dan alam yang kritis memang punya ceritra sendiri. Tapi suksesnya Markus mengatasi kondisi itu sungguh jadi kekaguman buat kami. Tapi semua itu tak berdiri sendiri. Seluruh cerita Markus tidak lepas pengakuan akan adanya pendampingan. Mungkin inilah penyambung yang mesti jadi pelajaran.
Sukses petani di desa Nubahaeraka, Atadei, Kabupaten Lembata ini memberi bukti bahwa, masyarakat petani harus terus didampingi, dibimbing dan dimotivasi terlebih dengan menerapkan sistim pertanian yang ramah lingkungan.
Buah Alfokat bergelantungan di lahan milik Markus Mangu, selalu memikat untuk di panen. (Foto : FBC/Yogi Making)
Petani harus diajari untuk mengerti bahwa pemenuhan kebutuhan pangan tidak serta merta dilakukan hanya dengan peningkatan produksi beras dan jagung, tetapi lebih dari itu, mereka harus bisa diajari untuk mencintai alam, dengan tidak menerapkan cara-cara instan seperti penggunaan pestisida dan herbisida karena cara instan seperti itu hanya akan membuat sikap ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi modern.
Peningkatan produksi yang diterjemahkan melalui program-program kongkrit seperti penggunaan benih unggulan yang disediakan pemerintah seperti, pupuk dengan dosis tertentu, pengendalian hama dengan pestisida, sistem berbudidaya termutakhir dan sebagainya saat diterapkan di lapangan meninggalkan banyak jejak.
Tak hanya peningkatan produksi, penerapannya yang terus-menerus juga telah mengubah tatanan sosial, sistem ekologis alam, dan sendi-sendi ekonomi rumah tangga petani. Dan diatas semua itu, upaya menggenjot produksi di tengah-tengah suasana kapitalistik telah menggerus pelan-pelan mentalitas dan kecerdasan petani sebagai bagian dari kekayaan lokal.
Kami pun meninggalkan perkebunan Markus Lajar. Kami ingat, budaya masyarakat wilayah ini memang sangat dekat dengan alam. Hanya saja perkembangan yang terlampau cepat seringkali menggoda masyarakat untuk tidak yakin akan kecintaan pada alam yang dimiliki. Lagi-lagi pendampingan itu yang diperlukan.(Yogi Making)
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2014/02/kisah-petani-sukses-ketika-padang-kritis-jadi-lahan-produktif/#sthash.1RijklAn.dpuf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit

KISAH PELAYAN MENJADI MANAGER JARINGAN HOTEL DUNIA