Pendidikan Dasar yang Terlantar, Sebuah Ironi di Pelosok Negeri
Mengikuti pendidikan dasar merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayainya. Begitulah kira-kira isi yang tercantum dalam UUD 1945, Pasal 31. Jadi dengan kata lain, pemerintah mengharuskan warganya untuk mengikuti pendidikan dasar. Kini, pemerintah sudah mensubsidi pendidikan dasar dengan program BOS (Bantuan Operasioal Sekolah) nya. Ditambah lagi adanya BSM (Bantuan Siswa Miskin) yang akhir tahun ini sudah bisa dicairkan. Kesejahteraan guru juga sudah mulai diperhatikan. Saat ini guru PNS sudah memiliki penghasilan yang cukup layak.
Namun, apakah program-program seperti itu sudah cukup membantu bagi seluruh warga negara Indonesia? Bagi sebagian, mungkin cukup membantu tapi bagi yang lain tidak. Bagi anak-anak di pedalaman Manggarai ini, meja dan bangku yang kokoh, buku pelajaran yang memadai, dan ruang kelas yang layak masih menjadi impian. Impian yang tak kunjung terwujud. Meja reyot, bangku kurang, kelas berantakan, sangat menyedihkan. Itulah kondisi ruang kelas yang saya lihat saat mengunjungi salah satu SD di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kondisi yang tak jauh berbeda juga ditemui di beberapa SD lain dalam satu kabupaten tersebut.
Sekolah memang sudah gratis* (*belum termasuk uang komite, seragam, buku tulis, sepatu, dan perlengkapan sekolah lain), namun satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu akses menuju sekolah. Akses dalam hal ini adalah jarak antara rumah dan sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah relatif jauh. Ditambah dengan kondisi infrastruktur jalan yang masih buruk, semakin menyulitkan anak untuk bersekolah. Bahkan di daerah Sumba, jarak tempuh dari rumah ke sekolah bisa sampai dua jam jalan kaki. Beberapa orangtua siswa berpendapat pentingnya dibangun semacam asrama siswa di dekat sekolah agar anak tidak harus nglaju dari rumah ke sekolah. Namun, itu baru sebatas harapan saja.
Tenaga pendidik pun juga mengalami masalah yang disebabkan oleh keterbatasan. Sepertinya anggaran pendidikan sebesar 20% masih kurang untuk mencukupi kebutuhan akan pendidikan yang layak. Di daerah pelosok masih mengalami kekurangan tenaga guru (PNS). Bahkan di beberapa sekolah hanya kepala sekolah saja yang berstatus sebagai PNS, sisanya adalah guru honorer. Guru honorer biasanya dibiayai dari uang komite atau dari sebagian dana BOS. Guru honorer tidaklah setara dengan PNS, mungkin lebih tepat dikatakan relawan. Mengenai kesejahteraan, tentu sangat jauh dibanding guru PNS. Di salah satu SD, gaji guru honorer hanya sebesar Rp250.000 sebulan dibandingkan dengan guru PNS di SD yang sama lebih dari Rp2000.000. Contoh kasus tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, namun cukup dapat dijadikan sebagai gambaran tingkat kesejahteraan guru honorer di daerah pelosok.
Masalah lain timbul ketika tenaga pendidik terkesan malas-malasan dalam mengajar. Di suatu sekolah, guru sering meninggalkan muridnya dengan tugas yang harus dikerjakan. Tanpa pengawasan dari guru, akhirnya anak-anak pun hanya bermain di dalam kelas atau kadang main keluar kelas. Sebelum pulang, guru pun datang memeriksa tugas, mengajar sebentar, lalu memimpin doa. Lain lagi ceritanya di sekolah ini, guru biasanya hanya mengajar 2-3 kali seminggu. Selebihnya, siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada kegiatan belajar mengajar. Hal ini sempat dikeluhkan oleh beberapa orangtua siswa tapi sampai pertengahan tahun 2013 tidak ada perkembangan berarti. Sekali lagi, contoh kasus ini tidak dapat digeneralisasi. Namun dikhawatirkan terjadi juga di banyak sekolah lain. Dalam hal ini, tak sepenuhnya kita menyalahkan guru. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya motivasi guru dalam mengajar. Kesejahteraan bisa jadi merupakan faktor utama masalah tersebut.
Di balik, semua keterbatasan itu ada secercah harapan dari pelaku pendidikan itu sendiri. Meski dengan segala keterbatasan yang dihadapi, tak menyurutkan semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Panjangnya jalan, bukit-bukit terjal, maupun padang sabana tanpa batas mereka tempuh untuk menuntut ilmu. Orang tua mereka juga sangat mendukung perjuangan anak-anaknya. Kebanyakan orang tua, terutama di daerah Manggarai Timur ingin agar anaknya sekolah setinggi mungkin. Meski hidup sederhana tapi mereka ingin anaknya bisa jadi sarjana. Masa depan yang lebih baik, itulah harapan orangtua untuk anak yang disekolahkan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang berharap anaknya bisa jadi guru dan kelak kembali ke kampungnya untuk mengabdi. Seperti yang dialami salah seorang guru honorer di Manggarai Timur. Dia rela meninggalkan kehidupannya yang cukup mapan di kota lalu kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru. Mengabdi untuk kemajuan pendidikan di kampungnya, itulah pilihan hidupnya. Kini, dia tinggal bersama istri yang juga sebagai guru honorer dan anak-anaknya di rumah sederhana di dekat sekolah.
Itulah sebagian kecil dari potret pendidikan di Indonesia. Penuh dengan ironi, keterbatasan seolah menjadi pemakluman terhadap masalah-masalah yang terjadi. Semoga saja pemerintah bisa segera berbenah. Mengurai benang kusut yang sudah akut.
Sumber Gambar: Dokumentasi Tim M_arapu
Komentar