Kisah Anak Petani Dari Balige


Pekerja Keras yang Tekun Belajar dan Berdoa. “Saya ini mau jadi apa?” Pertanyaan ini terus saja menggelayut dalam hati Setia Mangunsong, anak petani dari Balige, mengingat kondisi ekonomi keluarga.
Setia Mangunsong terlahir sebagai anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Ayah Sori Melanthon Mangunsong dan Ibu Emelia br. Siahaan. Ayah mereka ini merupakan anak siampudan atau bungsu dari tujuh bersaudara, seorang diantaranya perempuan Balandina br. Mangunsong.
Ketika masih tinggal di Medan Sang Ayah bertugas sebagai tentara, pejuang daerah yang turut mengangkat senjata sejak jaman Jepang, merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga aksi polisional kedua Belanda. Sedangkan Sang Ibunda telaten mengelola rumahtangga, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Setia praktis numpang lahir saja di Medan menghabiskan satu tahun pertama usianya. Sebab, tak lama kemudian, sejak tahun 1950 keluarga mereka hijrah dan menetap ke kampung halaman Lumban Bul-Bul, sebuah desa pertanian kecil yang damai, dikelilingi pohon bambu terletak persis di tepian pantai Danau Toba yang terkenal indah itu. Desa Lumban Bul-Bul masuk ke wilayah Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, sekitar 235 kilometer arah selatan Medan, dapat ditempuh lima jam perjalanan darat dengan kendaraan roda empat.
Keseharian hidup Setia Mangunsong sangat akrab dengan dunia pertanian dan perikanan. Sebelum menjadi pakar dan birokrat perikanan ia sudah menggeluti apa yang kini dikenal dengan istilah keren perikanan budidaya. Sehari-hari ia memelihara ikan mas di kolam. Demikian pula perihal perikanan tangkap, bersama keluarga ia memiliki sampan kecil (solu) untuk menangkap berbagai jenis ikan seperti mujahir, ikan mas, pora-pora, bulan-bulan dan sebagainya dari Danau Toba yang luasnya terbesar kedua di dunia itu. Konon, danau ini terbentuk sekitar 6.000 tahun lalu melalui sebuah ledakan vulkanik raksasa hingga getarannya terasa sampai ke benua Eropa.
Sang Ayah, yang mantan tentara, begitu menetap di kampung halaman beralih profesi menjadi Pegawai PLN. Sang Ibunda mendapatkan tambahan tugas bertani dan menternakkan sedikit hewan peliharaan. Ibunda begitu pandai memobilisasi Setia Mangunsong dan seluruh saudara untuk bekerja banting-tulang di sawah, beternak, serta memelihara dan menangkap ikan, bertindak layaknya seorang manajer sebuah perusahaan multinasional yang gesit.


Mencuri Waktu Untuk Belajar
Setia Mangunsong menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD), yang ketika itu masih bernama Sekolah Rakyat (SR), di SR No. 3 Balige antara tahun 1956-1962, dan pendidikan SMP Negeri 2 Balige (1962-1965). Hingga menamatkan SMP belum terbersit sedikitpun cita-cita mau jadi apa dirinya kelak. Barulah ketika hendak menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Balige, Jurusan Paspal (1965-1968), seolah tersentak ia harus bersikap dan menentukan sendiri masa depan. Tapi kondisi keuangan keluarga sangat tak memungkinkan.
Ia lalu bertanya-tanya dalam hati, apa gunanya kepandaian yang dimiliki hingga selalu menjadi juara kelas sepanjang SD, SMP, dan SMA bahkan berkesempatan memperoleh hadiah-hadiah menarik untuk semua itu. Juga, apa gunanya harus mencuri-curi waktu untuk belajar di persawahan, di balik kegelapan malam, atau tekun mendengar penjelasan guru di depan kelas yang membuatnya dikenal sebagai murid yang pandai, jujur dan rajin belajar.
Berbagai pikiran dan pertimbangan bergejolak dalam diri. Mangunsong muda berprinsip harus dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi apapun kejadiannya.
Prinsip ini sesungguhnya tak memperoleh tempat di tengah-tengah keluarga, sebab dua kakak lelaki tertua Basri Mangunsong dan Budi Mangunsong sedang kuliah di ITB Bandung. Sementara, empat orang adik-adik sedang duduk di bangku SD dan SMP menunggu untuk juga dapat melanjut. Padahal Sang Ayah hanya pegawai biasa di PLN, demikian pula Ibunda hanya ibu rumahtangga biasa yang terpaksa terjun ke sawah menjadi petani demi menghidupi keluarga. Semua sangat tak mendukung prinsip Setia untuk hidup harus maju.
Tapi pertanyaan saya ini mau jadi apa terus saja menggelayut. Sempat muncul pertimbangan, kalaulah nanti memaksakan diri kuliah, melanjut ke perguruan tinggi seperti kedua abangnya, apa orang tua masih sanggup membiayai. Tentu saja ia sudah tahu jawabannya, pasti tidak. Tetapi, bersamaan itu semakin kukuh pulalah ia untuk memegang prinsip harus melanjutkan sekolah tinggi apapun kejadiannya.
“Saya terpikir, apapun kejadiannya saya harus sekolah, melanjut.” Tekad baja ini disemangati oleh nasehat Ayah-Ibunda, yang selalu berpesan, walau keduanya sadar tak kuasa mewujudkan sekolah tinggi bagi ketujuh anak, tak akan mewariskan apa-apa selain ilmu dan pengetahuan sebagai warisan yang paling berharga. Bukan warisan harta, atau sawah, sebab itu tak dimiliki.
Spirit itulah yang membentuk karakter Setia, juga semua saudara kandung sehingga menjadi siswa yang rajin belajar, tekun bekerja, dan menjadikan olahraga sepakbola sebagai salah satu hiburan terbaik dalam hidup. “Sambil belajar saya sambil bantu orangtua. Jadi, dari kecil kita sudah terbiasa disiplin bekerja membantu orangtua. Itu selalu yang dipesankan orangtua, tidak ada warisan yang kami berikan kecuali kalian sekolah semua,” urai Mangunsong.

Pada akhirnya memang terbukti mereka bertujuh rata-rata dapat menyelesaikan pendidikan sarjana S-1 hingga master S-2, bahkan Setia adalah kandidat doktor yang hendak menyelesaikan S-3 di IPB Bogor.
Penanaman spirit dan kedisiplinan mengena kepada Setia dan kakak adik. Sebelum berangkat sekolah setiap pagi mereka dituntut untuk terlebih dahulu membantu Ibunda membereskan berbagai pekerjaan di rumah dan sawah. Demikian pula sepulang sekolah, sama saja, mereka harus segera bergerak cepat membantu. Satu-satunya cara untuk dapat berprestasi di sekolah adalah mencuri-curi waktu untuk belajar, dengan membaca buku di rumah atau di setiap kesempatan yang memungkinkan untuk itu.
“Karena hampir tidak ada waktu untuk belajar, sibuk bekerja semua. Paling-paling kalau di sekolah kita perhatikan betul penjelasan guru, dan membaca buku. Waktu untuk belajar sempit sekali karena harus membantu Ibu,” kata Setia.
Testing Masuk Akabri
Sebagai manusia cerdas Setia tidak kehilangan akal mencari sekolah lanjutan yang bisa dimasuki. Ia aktif mencari tahu apa saja nama perguruan tinggi atau akademi yang dibiayai pemerintah. Ia ingin melamar ke sekolah mana saja yang berbiaya gratis agar tak harus membebani orangtua, tak membuat kuliah kedua abang terkatung-katung, atau pendidikan adik-adik terhenti di tengah jalan.
Ia kemudian mengetahui ada sejumlah perguruan tinggi seperti akademi perpajakan, akademi pelayaran, dan yang lebih populer namun orang bilang susah masuknya, Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).
Setia Mangunsong yang anak mantan tentara, memiliki badan tegap, dan tubuh atletis, menjatuhkan pilihan pada Akabri. Ia mencoba masuk dan ikuti testingnya. Ia gencar mencari tahu apa saja persyaratan. Seperti tinggi badan, itu bisalah dia cukupi. Kesehatan fisik yang harus bagus juga oke sebab ia memang rajin olahraga lari pagi dan bermain bola sepak.
Ia merencanakan masuk Akabri seorang diri tanpa diketahui siapapun, termasuk kedua orangtua dan sanak saudara. Karena tak memiliki uang ia mencari tumpangan, supaya dapat berangkat dengan gratis menuju Medan. Caranya, mendekati agen-agen bis yang beroperasi di Balige, hingga sampailah ia ke tempat penerimaan pendaftaran di Poldasu (ketika itu masih bernama Komdak Sumatera Utara). Agen bis bersedia memberi tumpangan gratis karena mengetahui betul, lelaki muda berwajah tampan ini masihlah anak sekolahan dan terpelajar pula.
Begitu menginjakkan kaki di rumah salah seorang kerabat di Jalan Sei Ular No. 134, Medan, pagi itu Abangnya yang melihat terkaget-kaget bukan kepalang. Ketika ditanya, mau apa datang ke Medan, dengan enteng dijawab liburan sekolah, sembari menunggu pengumuman tamat SMA.

Tak seorangpun mengetahui persis apa maksud dan agenda perjalanannya ke Medan. Orang lain juga tak mengetahui kalau dari Balige ia sudah melengkapi semua berkas lamaran yang diperlukan. Dari rumah menuju Komdak lumayan jauh jaraknya, itu Setia tempuh dengan berjalan kaki sambil membawa-bawa map.
Ia termasuk calon yang diperkenankan mengikuti testing tertulis. Semua ujian yang menyangkut pengetahuan umum, kewarganegaraan, dan segala macam berhasil diikuti dengan mudah. Demikian pula testing fisik.
Semua ia lakukan diam-diam tanpa diketahui orang. Ketika pagi-pagi pukul enam berangkat testing ada anggota keluarga bertanya, mau kemana, hanya dijawab mau jalan-jalan. Demikian pula ketika pulang di sore hari, jawaban atas pertanyaan dari mana, sama saja, juga dijawabnya dengan habis jalan-jalan.
Padahal di pagi hari itu ia sudah mempersiapkan barang bawaan sebagai bekal makan siang. Ia tak punya uang untuk membeli makanan di luaran. Bahkan ongkos bis untuk jarak yang lumayan jauh pun ia tak punya, hingga terpaksa ditempuhnya dengan berjalan kaki. Orang baru mengetahui ia mengikuti testing setelah menemukan nama Setia Mangunsong di koran-koran dan radio. Media itu memuat nama-nama yang lulus dan berhak melanjutkan testing lanjutan masuk Akabri, termasuk nama Setia tercantum diterima.
Dialog Pantaphir
Setia masih sempat kembali ke Balige mengikuti pengumuman lulus SMA, sekaligus untuk melengkapi berkas yang masih diperlukan ke Sukabumi. Ia kemudian meninggalkan pelabuhan Belawan pada tanggal 30 Desember 1968, menumpang kapal Airud 513 menuju pelabuhan Tanjung Priok.
Setiba di Tanjung Priok ia bersama rombongan dibawa sebentar ke Markas Besar Kepolisian RI, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan kemudian melanjutkan perjalanan ke Sukabumi.
Begitu sampai tujuan mereka digunduli, mengikuti testing lanjutan sambil melakukan latihan-latihan layaknya taruna akademi militer. Di saat Penilaian Tahap Akhir (Pantaphir), dengan didasari kejujuran dan keluguan seorang anak desa, serta ketidaktahuan bagaimana bentuk ÔpermainanÕ memasuki Akabri, pada malam harinya ia didatangi oleh seseorang. Terjadilah dialog yang tak akan Setia lupakan sepanjang hidup.
Orang itu mencoba mengenali Setia dengan mengajukan pertanyaan pembuka, “Kamu adiknya si ini, ya?”Dijawabnya, “iya”.
“Kamu, ada diberangkatkan nggak dari sana?”
Setia menjawab dengan balik bertanya, “Maksudnya apa?”
ÒYa, pokoknya diberangkatin nggak?”
“Ya, tentu saja diberangkatin,” ujarnya.
Rupanya maksudnya dengan diberangkatin adalah dengan “sesuatu”, sehingga kontan ia membalas dengan jujur dan polos bahwa kalau mengenai hal itu tidak ada. “Saya dengar, kalau masuk ke sini, kan nggak perlu itu?”
Demikianlah adanya, sesuai tekad terdahulu ia memang berniat mencari pendidikan yang dibiayai pemerintah, agar tak harus mengeluarkan uang melanjutkan sekolah. Di sebuah pagi hari di bulan Januari tahun 1969 para siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Mereka dibagi ke dalam beberapa rombongan bis tanpa mengetahui kemana tujuan perjalanan masing-masing. Rombongan Setia menuju Jakarta. Dan mereka yang berada di dalam rupanya adalah siswa yang diyatakan tidak lulus masuk Akabri. Siswa yang lain tetap bermukim di Sukabumi melanjutkan pendidikan.
Temukan Akademi Perikanan
Berada di Jakarta Setia bimbang. Ia tak tahu harus menuju ke mana. Tak mengenal satupun sanak saudara. Tak sempat mengerti liku-liku jalan di Jakarta, sebab hanya numpang lewat saja sebelum menuju Sukabumi. Tak menyangka akan begini, ia tak sempat mempersiapkan diri jika berada dalam kondisi emergensi.
Namun kebimbangan terbesar bagaimana kelak pendidikan selanjutnya. Ia mengetahui ada anggota keluarga di Jakarta namun tak mengantongi alamat lengkap. Ia lalu bermukim sebentar di bilangan Ciputat, di selatan Jakarta mengikuti seorang teman bermarga Siregar
Dari situ ia naik angkutan umum menuju rumah abang si kawan tadi. Ia lalu diberitahu ada seseorang bermarga Mangunsong yang tinggal di Jalan Sultan Agung No. 11, Jakarta Selatan. Setia membalas, itu adalah keluarga yang sedang dicari-cari. Ia kemudian diantar ke sana sambil membawa koper pakaian.
Ia kemudian memperkenalkan diri, sebab saudara tadi rupanya tak lagi mengenali. Di Sultan Agung Setia tinggal untuk sementara waktu sambil mencari tahu kelanjutan sekolah. Ia tetap teguh memegang prinsip untuk tidak pernah mau menganggur di tanah rantau. Ia harus sekolah. Ia berkirim surat ke Medan, memberi kabar tidak diterima masuk Akabri Kepolisian.
Keluarga membalas dengan memberi saran agar lekas pulang, Akademi Perpajakan di Medan sedang menerima mahasiswa baru. Tetapi surat balasan tak sampai-sampai ke Jakarta. Walau tertulis jelas alamat tujuan surat Jalan Sultan Agung No. 11, namun karena tertulis kota Medan, bukan Jakarta, surat tak kunjung tiba.

Sehari-hari Setia aktif membaca iklan di koran, mencari dimana sekolah tinggi ikatan dinas yang dibiayai oleh pemerintah yang masih buka. Seorang teman menasehati agar menyerah saja, menunggu testing masuk Akabri tahun depan. Sebab perguruan tinggi umum saja sudah tutup semua. Namun pada kesempatan lain ada teman yang memberitahu, sebuah akademi sedang buka penerimaan mahasiswa baru, namanya Akademi Usaha Perikanan (AUP). “Coba, kamu cek,” saran teman itu.
Setia bergerak cepat dan menyaksikan model pendidikan AUP tak berbeda jauh dengan Akabri. Sama-sama berkepala plontos, berikatan dinas, tinggal di asrama, dan biaya pendidikan ditanggung pemerintah. Sejumlah persyaratan yang diminta sama pula. Yang membedakan hanya seragam.
Tapi untuk masuk ke sini ia bimbang. Ia tak lagi memiliki dokumen yang diperlukan untuk melamar. Semua sudah dicurahkan ke Akabri, sebab sama sekali tak menyangka akan kalah, dan tak menyangka pula harus diberangkatkan dengan “sesuatu”.
Ia mendengar saran untuk mendatangi Mabes Polri saja, barangkali berkas lama masih tersimpan. Begitu tiba di sana ia kaget bertemu kembali dengan petugas yang notabene merupakan instruktur selama di Sukabumi.
Petugas yang termasuk tim penguji itu memberitahu, Setia tidak lulus Akabri hanya di psikotes saja. Karena itu disarankannya agar Setia mengulang lagi masuk tahun depan, melalui Jakarta, pasti akan diterima.
“Ya, tapi untuk menunggu satu tahun, tolonglah, kalau bisa berikan berkas-berkas saya yang dulu, saya mau melamar di sana (AUP),” Setia memohon dengan sangat. Ia diperbolehkan membawa pulang semua berkas lamaran.
Ia sangat serius mempersiapkan diri, sampai-sampai meminjam buku seorang teman lama sesama SMA yang telah lebih dahulu berada di Jakarta. Testing masuk akademi ini sama persis dengan Akabri. Perbedaan hanya pada mata pelajaran yang diujikan.
Dari ribuan lebih pelamar nama Setia termasuk salah seorang yang diterima mengisi 50 bangku yang disediakan. Mereka masuk sebagai Angkatan Kelima. “Saya diterima lulus di sana, dan langsung masuk asrama.”

Memenuhi Panggilan Dinas
Diterima di Akademi Perikanan tak membuat Setia kehilangan impian memasuki Akabri. Hingga satu semester pertama kuliah, tawaran melamar lagi tahun depan, dan pasti akan diterima, terngiang-ngiang terus di kepala. Ia bimbang, padahal Akademi ini menerapkan sistem gugur. Bila tidak lulus ujian semester, termasuk kesempatan mengulang her satu kali siswa terkena sanksi harus keluar atau drop out.
Ujian semester pertama bersamaan waktunya dengan pengumuman penerimaan Akabri membuatnya semakin bimbang. Janji tahun depan pasti akan diterima terus bertiup kencang. Keraguan berpengaruh buruk pada hasil ujian. Ia dinyatakan tidak lulus. Untung ia segera berubah sikap, membulatkan tekad untuk hanya menggeluti dunia perikanan, serta melupakan janji tahun depan pasti diterima masuk Akabri. Ia berkonsentrasi penuh dan serius mengikuti her hingga akhirnya dapat lulus ujian semester.
Setia kemudian berhasil menikmati dunia baru Akademi Perikanan. Dalam proses ia diperkenankan memasuki Jurusan Teknik Pengolahan Ikan. Dengan nikmat ia menjalani masa-masa kuliah. Secara bergantian ia mengikuti kuliah di depan kelas, di lain waktu menjalankan praktek lapangan seperti mengunjungi pabrik pengolahan ikan, melaut mengikuti kapal penangkap ikan, atau memasuki laboratorium pengujian kualitas mutu perikanan.
Enam bulan menjelang tamat ia dikirim menjalankan praktek akhir di pabrik pengolahan ikan. Ia mulai dididik bekerja secara mandiri. Kebetulan sekali masa itu adalah mula berdirinya pabrik-pabrik pengolahan ikan di Indonesia. Ia memilih berpraktek di Jakarta sambil memperoleh honor sebagai gaji.
“Saat itu kita sudah dilepas, karena memang saat masuk hingga semester ke-5 kita sudah kuliah-praktek kuliah-praktek terus. Jadi, kalau masuk ke pabrik sudah tidak asing lagi,” ujarnya.
Ia menjalani praktek dengan hasil yang cukup lumayan. Honor sangat berarti bagi mahasiswa ikatan dinas yang tinggal di asrama semacam dirinya. “Belum begitu tamat, tapi tinggal menunggu wisuda, waktu itu enak sekali,” kenangnya.
Begitu tamat kuliah di tahun 1972 ia diperkenankan untuk memilih, walau hanya untuk sementara waktu, mau menjadi profesional perikanan sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta. Tergiur gaji pegawai swasta lebih enak ia memilih di sini, kendati sejumlah Dinas Perikanan daerah meminta tenaganya.
Ia mempunyai perhitungan sederhana. Gaji pegawai negeri hanya Rp 4.700 perbulan, sementara saat menjalankan praktek sudah diberi honor sebesar Rp 10.000 perbulan belum termasuk tempat penginapan.
“Wah, ini gaji Rp 4.700, nanti cari tempat kos lagi, saya pilih swasta,” ucapnya. Ia sempat enam bulan mempertebal pundi-pundi sebelum instansi yang menyekolahkan memanggil pulang untuk mengabdi. Ia bersedia meninggalkan perusahaan swasta sebab terikat kontrak ikatan dinas untuk bersedia ditempatkan dimana saja. Hanya enam bulan saja ia bebas berkeliling ke perusahaan-perusahaan swasta, memupuk pengalaman langsung bekerja di pabrik pengolahan ikan.

Pemanggilan bertepatan waktunya dengan pembangunan sebuah proyek perikanan terbesar pertama di Indonesia, berlokasi di Riau. Di sana direncanakan akan dibangun empat pelabuhan perikanaan berukuran besar dilengkapi empat unit pabrik pengolahan ikan, cold storage, pabrik es, dan 100 kapal penangkap ikan dari berbagai jenis.
“Saya dipanggil, diberitahu, kamu masuk di proyek ini. Ya sudah, memang konsekuensinya begitu. Saya pamit ke pimpinan perusahaan karena mereka juga tahu saya ikatan dinas, jadi harus saya lapor,” kata Setia. Pimpinan perusahaan menjawab, “Oke, tapi nanti kalau ada apa-apa kembali ke sini.”
Setia memulai kehidupan yang lebih baru sebagai profesional dan praktisi perikanan di empat proyek yang kelak menjadi cikal bakal pendirian perusahaan BUMN perikanan bernama PT (Persero) Karya Mina. Terbukti, setelah selesai dikerjakan keempat proyek berubah status menjadi empat cabang dari PT Karya Mina.
Setia pernah berkesempatan memimpin sebagai Kepala Cabang di dua cabang, Indragiri Hulu dan Singkep. Ia mengoperasikan 25 buah sarana dan prasarana penangkapan ikan antara lain kapal trawl, 20 buah kapal gillnet, 1 unit pengolahan, cold storage, pabrik es, serta pelabuhan perikanan. Ketika Pemerintah melahirkan kebijakan baru penghapusan kapal trawl, yang membuat perusahaan tak lagi dapat mengoperasikan kapal-kapal ikannya, pada tahun 1980 Setia ditarik ke Jakarta dipercaya memimpin sebagai Kepala Perwakilan PT (Persero) Karya Mina, di Jakarta, hingga 1982
Pegawai BUMN perikanan ini akhirnya bersedia menerima tawaran menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ditempatkan sebagai Staf Ditjen Perikanan (1982-1985). Tugas utama sebagai PNS justru untuk melaksanakan kebijakan penghapusan kapal trawl, yang sebelumnya telah mematikan kegiatan perusahaan tempatnya bekerja.
Kendati hanya menempati posisi sebagai staf Setia kerapkali diutus mewakili Ditjen Perikanan untuk mengadakan rapat-rapat teknis yang penting di Bina Graha, bersama dengan para petinggi pemerintahan lainnya. Setia dari awal sudah membentuk sosok dan jatidiri sebagai PNS yang kreatif dan inovatif serta lebih mengejar prestasi daripada status.

Ora et Labora and Ora et Study”
Setia Mangunsong sejak masa muda memiliki prinsip untuk harus maju dalam hidup. Sebuah foto kenangan yang sudah tersimpan selama 36 tahun, dibuat saat usia dia baru 21 tahun berhasil mengungkapkan fakta bagaimana profil Setia Mangunsong hidup di masa mudanya. Fakta ini terungkap secara tak sengaja, setelah menemukan kata-kata manis tulisan tangan di balik selembar foto kenangan hitam-putih yang ia buat pada tanggal 23 April 1970.

Foto menunjukkan ia sedang berpose di depan Wisma Thunnus, saat menempuh pendidikan ikatan dinas di Akademi Usaha Perikanan (AUP) Jakarta.
Di balik foto yang lama terpendam itu tertulis catatan khusus hasil goresan tangan Setia Mangunsong. Bunyinya, masih dalam ejaan lama, adalah, “Masa muda adalah untuk beladjar. Ingatlah orangtuamu di tempat jang sudah djauh darimu.”
Putra bangsa dari desa Lumban Bul-Bul, Balige, ini menuliskan di balik foto sebuah filsafat hidup pribadi. Ia menambahkan kata “Ora et Study” (Bekerja Sambil Belajar) di belakang filosofi klasik “Ora et Labora” (Bekerja Sambil Berdoa), sehingga menjadi tertulis, “Ora et Labora and Ora et Study”.
Inilah rupanya filosofi hidup Setia di kala muda,”Bekerja Sambil Berdoa, dan Bekerja Sambil Belajar”. Setia memiliki filosofi hidup untuk harus bekerja sambil berdoa dan belajar.
Di atas semua filofofi itu Setia sudah pula mempunyai roh yang menyala-nyala, yang membuatnya merasa sangat dekat dengan Tuhan. Ia turut menuliskan garis keimanannya dalam foto, yakni, sebuah kalimat yang menjadi kata kunci dalam menjalani hidup. Ia menuliskannya dalam bahasa Batak, “Tamiang do dalanna!” yang, jika diletakkan secara kontekstual memiliki arti doa adalah jalan untuk dapat bekerja dan belajar

KESIMPULAN
1>.walaupun kondisi ke uangan keluarganya tak memungkinkan dia Selalu belajar dengan   rajin untuk mengejar cita citanta.dan jujur
2>.memiliki modal nekat untuk melajutkan impiannya.
3>.tidak membuang waktu untuk belajar,karna untuk meraih suatu prestasi kita harus lebih giat belajar
4>.selalu berusaha dan tidak putus asa untuk meraih cita-citanya walaupun tidak lulus akbri dia selalu berusaha untuk mencari pekerjaan lain
5>.walaupun hidumnya sederhana Bapanya hanya pegawai PLN dia slalu tabah dan menghadapi semuanya dalam mengejar cita-citanya.
6>.Bapanya selalu memberikan motivasi kepada anaknya supaya anaknya dengan semangat melakukan dan mengejar cita-citanya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Yang Sudah Berlalu Tak Perlu Disesali"

Kisah-Kisah Sukses Petani Sawit

KISAH PELAYAN MENJADI MANAGER JARINGAN HOTEL DUNIA