Anakku
Anak sulung saya, perempuan 10 tahun, yang walaupun sudah dijelaskan panjang lebar bahwa saya mau ketemuan dengan teman2 yang kesemuanya emak2, tidak ada yang bawa anak kecil, kamu pasti nanti bosan, bla bla bla...akan tetap merengek, "Bunda, aku ikuuuuttt..."
Mendadak saya terbayang 5 tahun lagi dia yang akan menolak diajak pergi, 5 tahun lagi dia yang menghilang setiap weekend untuk hangout dengan teman2nya dan sayalah yang merengek, "Bunda mau ikuuuttt..."
.
.
Anak bungsu saya, laki-laki 5 tahun, yang hampir setiap hari sukses mendekorasi rumah mulai dari pintu depan hingga pintu belakang dengan berbagai macam mainan yang bertaburan, yang berulang kali harus ditegur untuk mengecilkan suara TV saat menonton kartun kesayangannya, selalu sukses membuat saya frustrasi memikirkan harus membersihkan rumah dari awal lagi.
Setengah jalan membereskan rumah, tetiba saya tertegun, jangan2 10 tahun lagi saya akan selalu mengetuk2 pintu kamarnya yang senantiasa dikunci, berharap dia mau bermain sambil menemani saya memasak atau menyetrika, karena saya tidak sanggup menerima betapa heningnya rumah ini nanti.
.
.
Anak perempuan saya, masih saja membuat lemarinya berantakan saat mencomot salah satu pakaian yang ingin dikenakannya. Setiap kali itu terjadi, saya selalu mengganjarnya dengan tugas membereskan seluruh isi lemari kecilnya.
Mendadak saya membayangkan, 10 tahun dari sekarang mungkin dia sedang menyusun pakaian2nya ke dalam koper untuk kembali ke kota lain tempatnya menuntut ilmu kelak. Tinggallah saya yang nanti akan menimang2 gaun2 mungil itu sendirian sambil menahan air mata.
.
.
Anak laki2 saya adalah pemuja nomor satu masakan saya. Semua dilahapnya dengan berselera, sambil selalu meminta dibuatkan lagi dan lagi.
Tak sanggup saya bayangkan suatu hari nanti saya akan sendirian duduk di meja makan, menghabiskan sesendok demi sesendok masakan kesayangannya karena mungkin kelak dia akan tinggal nun jauh dari saya, dan entah kapan saya bisa menyuapinya lagi.
.
.
Masya Allah, mengapa saya seringkali kalah dengan emosi? Padahal waktu saya tidak banyak untuk dapat mengumpulkan kenangan manis bersama mereka, sebelum kaki2 kecil itu kokoh dan melangkah keluar dari rumah ini. Sebelum tangan2 mungil itu menguat dan melepaskan rangkulannya dari pelukan saya.
Ah, biarlah dia mengekori saya kemanapun saya melangkah, agar dapat saya kenang betapa manisnya bergenggaman tangan dengannya saat saya kemana2 sendirian saja nanti.
Biarlah rumah ini identik dengan kapal pecah, agar nanti saya ingat betapa bahagianya dia menghamburkan mainannya, kelak saat saya bingung untuk apa membersihkan rumah yang selalu apik 24 jam ini.
Biarlah lemari pakaian itu tak senantiasa tertata rapi, agar saya bisa mengenang betapa menggemaskan wajahnya yang khawatir saat membuat ambruk susunan baju2nya.
Biarlah saya harus memasak masakan yang sama seminggu berturut2, agar kelak lidahnya mampu membawanya pulang kembali ke meja makan ibunya.
Nikmati, syukuri, kumpulkan kenangan.
Kenangan manis yang akan membuat saya tersenyum sambil memejamkan mata memutar ulang tingkah laku mereka di hari tua saya nanti.
Copas tulisan Kak -Cut Cynthia Sativa-
Komentar